kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
" "Saya rasa kami bukan penjahat, karena jika memang iya, pastilah kami dua penjahat paling menyedihkan dan paling tolol sepanjang sejarah.” Kalimat di atas, penutup cerita novel Monster Kepala Seribu karya Laura Santullo, saat Dario anak Sonia Bonet berada di ruang persemayam pribadi—Hakim memberikan kesempatan khusus untuk Sonia dan Dario beserta keluarganya untuk memberikan doa terakhir sebelum di kubur. Di dalam ruang itu, Sonia Bonet menyalakan lilin untuk suaminya. Ia duduk di samping Dario. Namun tak boleh berbicara karena dikawal oleh Polisi. Dokumen administrasi telah lengkap bahkan dijamin oleh seorang spesialis, termasuk bukti lainnya. Namun persetujuan tidak pernah turun. Jawaban yang mereka berikan terus berubah-ubah,”kadang mengulur-ulur, kadang membatasi, tapi pada dasarnya secara sistematis mereka menolak kami mendapatkan layanan asuransi yang semestinya bisa kami gunakan untuk menanggung biaya kesehatan kami. Polis yang terus kami bayar selama lima belas tahun lebih!” kata Sonia Bonet. Sonia Bonet menggunakan semua cara legal untuk mendapatkan persetujuan dari Alta Salud, perusahaan asuransi. Ia berkonsultasi dengan pengacara, mengejar-ngejar agen asuransi, bertemu dengan salah seorang anggota dewan yang punya pengaruh di Badan Perlindungan Konsumen. Badan itu sudah mengesahkan klaim Sonia sebagai konsumen hanya bisa keluarkan surat rekomendasi karena tidak berwenang untuk menindak perusahaan-perusahaan swasta. Tetap juga ditolak oleh Alta Salud karena keluarga Sonia Bonet memiliki rumah. “Memiliki rumah? andai pun kami bisa menjualnya, rumah itu sudah terbebani dua hipotek yang kami gunakan untuk membayar biaya pemeriksaan kesehatan yang Alta Salud menolak untuk menanggungnya karena alasan tak mendasar.” Hampir dua bulan Sonia berjuang untuk kesembuhan suaminya yang terbaring di rumahnya. Suatu malam di rumahnya ia tertidur. Tiba-tiba hempasan Memo terjatuh dari tempat tidur membangunkan Sonia di tengah malam. Memo meringkih memeluk kedua lututnya di atas lantai, dengan mulut kering dan kedua mata terpejam erat. Sonia hendak memindahkan, Memo tak mau. “Bak seekor hewan terluka, tidak bisa mendengar, tidak mengerti apa yang berusaha saya sampaikan kepadanya. Noda pipis melebar di celana piyamanya, saat melihatnya saya tahu bahwa saya tengah menyaksikan saat-saat yang sangat menakutkan ketika dia mulai kehilangan kontrol atas tubuhnya.” Sonia menjerit. Dario dan Monica—adik Memo—bergegas turun dari lantai atas. Mereka mencoba mendirikan Memo dan menyelipkan bantal di bawah kepalanya untuk memberinya rasa nyaman. Mereka menelepon unit gawat darurat. Mobil UGD datang dan memberi obat penenang, tapi deritanya tidak segera mereda. Mereka duduk mengelilinginya. “Kurasa anda tidak tahu, dan kuharap anda tidak akan pernah tahu, bagaimana rasanya melihat seseorang yang anda cintai menggelepat-gelepar akibat siksaan yang tak kunjung berhenti.” Sesuatu mendorongnya. Ia kumpulkan semua berkas. Dan mendatangi Alta Salud. Peristiwa marah-marah pada resepsionis di hari Jumat itu, Sonia Bonet bersama anaknya Dario memulai di luar kehidupannya selama ini yang bahagai bersama suaminya, barangkali, menjadi penjahat. “Baik kadang negara maupun Alta Salud tidak ada yang mau mendengarkan kami, dan birokrasi hanyalah jebakan untuk membuang-buang waktu kami, waktu yang tidak kami miliki,” kata Sonia Bonet. Dari rumah sakit ia mendatangi dokter Villalba, dokter koordinator untuk kasus suami Sonia yang sedang sakit parah. Sonia meminta penjelasan Villalba menolak perawatan suaminya. Villalba mengusir Sonia jika tidak dia akan telepon polisi. Tiba-tiba Sonia mengeluarkan pistol milik suaminya menodongkan ke Villalba. Villalba akhirnya menjelaskan pada Sonia; para dokter koordinator, diberi tugas oleh perusahaan, mereka harus menemukan motif untuk menolak perawatan-perawatan berbiaya mahal. Sakit yang memang sudah diderita sebelumnya, kesalahan dalam permohonan, diagnosa yang tidak konsisten, apa saja yang bisa membuat mereka meminimalkan pengeluaran asuransi. Atas kasus-kasus itu mereka berargumen bahwa prosedur yang diminta tidaklah wajar. Setiap koordinator perlu mengesahkan penolakan dalam jumlah tertentu demi mempertahankan jabatan, dengan begitu mereka mendapatkan imbalan berupa kenaikan gaji, perjalanan liburan sesekali, promosi, hal-hal yang terkait dengan gaya hidup. Bonet mendapat persetujuan dengan ancaman pistol dari Villalba. Namun, Bonet harus mendapat persetujuan dari dokter lainnya. Ia mendatangi tuan Sandoval di club sauna. Bonet musti menembak salah satu kawan Sandoval. Ia mengancam Sandoval untuk menyetujui permohonanya. Di tengah perjalan mereka, Sandoval bercerita. “Alta Salud adalah perusahaan multinasional dengan ribuan pegawai, dan untuk mengurus semua karyawan itu kami butuh perusahaan bekerja dengan baik, perusahaan yang bertanggungjawab. Jika tidak ada laba, modal akan kabur ke tempat lain, pada direktur berhenti bekerja dan semua karyawan di PHK. Bagi mereka tidak penting bagaimana kami memperoleh uang, yang penting hanya dapat uang atau tidak,” kata Sandoval. Sandoval menilai diantaranya terdapat sejumlah tes kecocokan genetika antar anggota keluarga, yang telah dibuat untuk memastikan bahwa transplantasi mungkin dilakukan. Ternyata tes itu belum dilakukan Alta Salud. Perusahaan asuransi menolak mengadakan tes karena menganggapnya tidak relevan, tapi dari uang hasil menggadaikan rumah mereka mendapatkan hasil tes dengan cara-cara lain, mereka juga sudah membayar setengah lusin analisa dan konsultasi ke spesialis yang mendukung mereka. Bonet menjelaskan saudara perempuan Memo telah terbukti sebagai pilihan donor terbaik dan ia siap dioperasi kapanpun diminta. “Jelas nyonya Bonet benar atau setidaknya sebagian. Prosedur yang mereka inginkan untuk suamina punya cakupan yang bisa dipertimbangkan dan kemungkinannya berhasil, tapi Alta Salud bahkan tidak punya keinginan untuk mempertimbangkannya,” kata Sandoval. Sandoval merasa iba pada Bonet. Ia membantunya dengan memberi bukti-bukti pada Bonet: dokumen-dokumen, fotokopi memorandum, surat edaran resmi perusahaan, kontrak internal, semua yang ia butuhkan untuk membuktikan secara terbuka bahwa hal itu dilakukan demi memenuhi laba finansial perusahaan alih-alih memberikan perhatian yang cukup untuk suaminya, dan lebih dari itu bahwa ini bukanlah ketidaksengajaan melainkan bagian dari kebijakan politik perusahaan asuransi.” Bonet mash butuh mendatangi pengacara untuk membuat akta, lalu butuh bertemu seorang perempuan lagi. Saat bertemu dan menodongkan pistol pada Morgan, saat itulah ia dapat kabar dari rumah sakit: ayahnya Dario telah meninggal. Dari jauh, tembakan polisi mengenai Bonet. Drama penangkapan Bonet dan Dario dan petualangan mencari keadilan berakhir sudah. Ah, sungguh asyik cara Santullo menceritakan kejahatan korporasi. Bagi saya, cerita ini bermakna: kejahatan korporasi menjadikan seorang istri dan ibu dari seorang anak rela melakukan kejahatan demi suaminya yang terbaring sakit di rumah sakit. Namun, jauh dari itu kejahatan korporasi juga mendidik warga sesungguhnya melakukan kejahatan. Apa yang akan Dario lakukan kelak? Ayahnya Guillermo–Memo–meninggal di rumah sakit terkena kanker parah yang gara-gara Alta Salud. Meski ceritanya hanya sampai penggalan kalimat pembuka di atas, saya kira, meski hayalan, patut direnungkan perubahan Sonia Bonet: “Pengalaman selama beberapa bulan terakhir menyadarkan saya kalau saya tidak mungkin bisa menggugah orang lain dengan kata-kata, tidak juga dengan permohonan sewajarnya, atau dengan diagnosa medis tersusun rapi. Mereka mendepak saya dari dunia yang rasional, dari kepercayaan kepada masyarakat beradab. Dan seekor binatang buas yang disudutkan tidak akan merintih, dia menggigit.” Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/03/monster-kepala-seribu/#more-2351https://madealikade.wordpress.com/2017/11/03/monster-kepala-seribu/#more-2351
0 Comments
Cukil kayu, atau woodcut, atau xylografi, merupakan teknik cetak kuno yang dikenal manusia. Di Asia, teknik ini berkembang di Cina dan Jepang belasan abad yang lalu. Di Eropa, teknik ini berkembang di tahun 1400-an, sebelum kemudian Gutenberg membuat mesin cetak. Di Indonesia -saya belum mendalami alasannya- gambar yang dicetak dengan teknik ini banyak saya temukan dalam poster-poster propaganda. Yang paling mudah saya ingat adalah poster-poster bikinan komunitas Taring Padi, Yogyakarta.
Teknik cukil kayu ini juga disebut sebut sebagai asal muasal terciptanya komik-komik jepang atau kita kenal dengan manga. Meski kemudian komik yang banyak kita kenal dan baca sekarang dibuat dengan teknik cetak modern, bukan berarti bahwa pembuatan komik dengan teknik cukil kayu ini ditinggalkan sama sekali. Tahun 1918, Frans Masereel di Perancis membuat sesuatu dengan teknik cukil kayu yang disebutnya sebagai wordless novel berjudul 25 Images of Man’s Passions, yang mana benda ini memiliki semua persyaratan untuk disebut sebagai sebuah komik. Ada juga Lynd Ward, membuat wordless novel, juga dengan teknik cukil kayu, berjudul God’s Man, tahun 1929. Nah, bagaimana keadaannya di ranah komik tanah air? Di tengah keberagaman genre dalam kebangkitan kembali komik Indonesia, komik cukil kayu turut mengambil tempat. Berikut saya himpun beberapa komik yang dibuat dengan teknik cukil kayu yang berhasil saya dapatkan: 1. Hidup dan Mati di Tanah Sengketa Komik karya Redi Murti ini diterbitkan oleh Milisi Fotocopy, sebuah kolektif komik di Surabaya. Setebal 64 halaman, komik ini mengangkat kisah muram kehidupan orang orang miskin kota, komunitas Peranakan Tionghoa miskin di salah satu daerah bernama Tambak Bayan, Surabaya. Ilustrasi dengan teknik cukil kayu ini menurut saya membuat kesan yang unik, menyatu dengan tema yang diangkat. Bentuk komik yang memisahkan teks dan gambar di mana satu halaman terdiri dari satu gambar dan narasinya, mengingatkan kita pada model model cergam cina jaman dulu. Saya tidak mengkonfirmasi ke Redi mengenai ini, tapi menurut saya ia memang terpengaruh dari model komik seperti itu. Kesan itu saya tangkap ketika menjelajahi blog pribadinya. 2. McClown Komik ini pernah dipamerkan di acara Retrospektif Komik Indie yang diadakan di Jakarta tahun 2014 oleh Akademi Samali. Tidak seperti komik bikinan Redi di atas, komik karya Dodi Irwandi ini sama sekali tidak menggunakan teks maupun balon kata. Sebuah komik bisu murni. Hanya gambar gambar, setiap halaman terdiri dari satu gambar, yang tersusun membentuk suatu cerita yang utuh. 3. Atom Jardin Atom Jardin adalah karya Yudha Sandy, dari Jogjakarta. Sebenarnya, komik ini dibuat dengan teknik papercut, bukan woodcut, tapi yasudahlah, kumasukkan saja ke dalam daftar ini. Sebagai informasi, komik ini pernah memenangkan Kosasih Award tahun 2015 untuk cerita terbaik dan komik terbaik. “Atom Jardin means The Park of Atom Bomb. A bomb whose radiation exists although its explosion is over. Like a garden, it seems peaceful, quiet, and forgiving, but that might be an illusion. There is both vertical and horizontal conflict in it. There is a systematic conflict without we realize about it. It is not only about us and the ruler but also about us and the other people. A group of people acts like itself is the most pure one or another group acts like a hero”. Itu yang dikatakan Sandy tentang komiknya. Bercerita tentang Jardin dan Stopie di sebuah tempat bernama The Tree Kingdom, komik ini benar benar unik. Berbeda dengan dua komik yang kita bahas sebelumnya, di komik ini panel panelnya tersusun bebas, satu halaman bisa terdiri dari beberapa panel gambar dan teks. Narasinya pun juga unik, dan cukuplah untuk membuat anda mengerenyitkan kening. Selain itu, komik setebal 140 halaman ini menggunakan bahasa Inggris. Itu tadi tiga judul yang berhasil saya temukan dalam jagat komik nasional. Jika anda mengalami kejenuhan akan komik industri, anda perlu sedikit melirik kepada komik komik alternatif ini. Woodcut dan papercut jelas bukan merupakan kebaruan, bahkan di komik, tapi setidaknya bagi saya yang awam, tiga komik itu adalah pemberantas kebosanan yang cukup baik. (Nov 2016) Oleh : Chandra Agusta. Penulis adalah pembaca sedikit komik, kadang-kadang menulis untuk sekuensi.com *) Tulisan ini tidak berpretensi menjadi ilmiah atau apalah, hanya mencoba mengeluarkan apa yang ada di dalam kepala menjadi suatu pewartaan yang mungkin tidak berarti. Sangat terbuka untuk kritik dan masukan *) Foto Atom Jardin diambil dari blognya Yudha Sandy. Foto lain adalah koleksi pribadi *) Bahan bacaan: Wikipedia.com; yudhasandy.wordpress.com; sekuensi.com Sekilas melihat buku berjudul "NUKU" karangan E. Katoppo ini di sebuah toko buku loak "Sarang Buku" di bilangan Kuningan, saya hanya melihat sosok yang tergambar di sampul buku sepintas lebih mirip Pattimura. Cuma sedikit berpose agak miring, hampir mirip Monalisa sudut pengambilan gambarnya... tetapi ternyata bukan... NUKU, si nama tokoh utama buku ini, ternyata adalah pria. Pria pejuang dari Maluku Utara bernama asli Sultan Saidul Jehad Muhamad El Mabus Amirudin Syah Kaicil Paparangan, seorang Sultan Tidore dengan riwayat perjuangan melawan Kompeni Belanda sekitar masa 1780-1805. Sebuah nama yang tidak begitu dikenal....(walaupun dulu pernah ada) bahkan pada bagian pendahuluan buku ini di halaman 19...mempersoalkan..."apa sebabnya Nuku tidak dikenal oleh turunan Indonesia dewasa ini, sungguhpun buku-buku Belanda dalam abad XIX dan XX mengandung cukup bahan berita sejarah mengenai Nuku, misalnya yang paling akhir Encyclopaedie van Ned. Indie, deel VIII, Supplement, blz. 1566 ......". Dan ini adalah buku cetakan kedua, tahun 1984...perkiraan semacam ini menggambarkan sosoknya sudah hilang dari ingatan. Entah sekarang...., pun jika saya tidak menemukannya di toko loak, saya pun tak pernah tahu... Lain hal yang membuat takzim adalah penyematan sebutan kepada begundal satu ini, ya Nuku layaknya penjahat bagi Kompeni Belanda kala itu. Dan ini yang membuat saya tertarik untuk membacanya,... di antara banyaknya sebutan terhadapnya, penyematan sebagai "Aartsrebel" atau "Pemberontak Agung" membawa saya ke zaman ketika saya masih agak lebih muda..., ketika saya tergila-gila dengan sosok Alexander the Great. yang kemudian menginspirasi nama judul blog pertama saya "www.umexthegreat.blogspot.com" (:D)..., Saya tak malu, label "Pemberontak Agung" membangkitkan memori saya tentang sesosok pangeran yang membela rakyat jelata. Bukan pangeran tampan yang mencari putri jelita, tetapi pangeran yang rela "memaksa" dirinya keluar dari istana, dan menjelajah, dan bergumul dengan manusia-manusia lainnya, tanpa kemewahan.....dengan penuh yakin. Walaupun sebenarnya si Alexander juga tidak begitu menjatuhkan dirinya pada "kasta" terendah...toh karena dia masih mampu menunggang kuda, begitu juga dengan Pangeran Diponegoro..........dan Nuku juga dengan kora-koranya..... Ahhh sudahlah, prolog ini terlalu panjang.......... Nuku, segelintir cerita tentang kepahlawanan yang ternyata agak berbeda. Sebutan lainnya sebagai "Aartroover" atau "Bajak Agung" (lagi-lagi Agung....hihihi), tentu saja menggambarkan bagaimana dia mengarungi samudera dengan bahteranya....berjuang melawan Kompeni Belanda. Singkatnya, hikayatnya benar-benar mewakili sosok yang sejati dari bumi maritim......Nuku menjadi representasi perjuangan dari lautan. Jika divisualisasikan, mungkin nampak seperti kisah bajak laut lainnya. Tapi ada yang menarik, keterikatan Nuku dan Irian...lebih tepatnya sebagian besar Kepulauan Raja Ampat..., dan mungkin dari sinilah daratan Papua dianggap menjadi bagian dari Nusantara...karena dulunya bagian dari kekuasaan Kesultanan Tidore. Dari sini cerita bermula rupanya. Terdapatlah sebuah pulau, Pulau Gebe namanya. Pulau idaman banyak suku bangsa; Makassar, Mangindanao, dan Sulu.........tentu pula Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol, dan Tionghoa, karena banyaknya kapal-kapal berlabuh yang berarti banyak transaksi perdagangan terjadi. Pulau ini juga layaknya "jembatan", penghubung antra pulau Halmahera dan Irian; terutama Kepulauan Raja Ampat atau "de Papoesche eilanden" dengan 4 pulau besarnya; Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, dan Pulau Misool. Bernama Raja Ampat karena dahulu di bawah kuasa 4 orang Raja; Raja Waigeo, Raja Salawati, Raja Waigama, dan Raja Misool. Baik Raja Waigama dan Raja Misool bertempat di Pulau Misool juga. Mereka di sebut raja-raja Papua. Dan Nuku yang berkedudukan di Waru (di Seram Besar), selaku Sultan Tidore mengontrol wilayah-wilayah kekuasaannya, termasuk pantai-pantai Irian Barat berikut raja-raja tersebut. Jauh sebelum Nuku menjadi Sultan, sama halnya yang berlaku di tempat-tempat monopoli Belanda lainnya, cengkeh hampir habis diekstirpasi, yang akibatnya adalah kemelaratan. Perjuangan Sultan Tidoree dan raja-raja lain yang di bawah Kesultanan Tidore untuk melawan dominasi Belanda (mungkin karena Tidore sekutu Spanyol, sehingga mereka melawan Belanda, dibandingkan Ternate) dimulai dengan mengontrol harga cengkeh. Belanda pun mengancam Spanyol dengan dalih bahwa Tidore itu bagian dari Ternate yang merupakan bagian dari kekuasaan Belanda. Demikian, Spanyol dilarang bersekutu dengan Tidore jika tak hendak diserang. Dari sini awal mulanya kesultanan Tidore dengan pasukan kora-koranya berperang. Dan menang...tetapi...pergantian raja-raja dimanfaatkan benar oleh Belanda... sehingga mereka bisa masuk dan pelan-pelan mereka mulai menguasai perdagangan rempah-rempah. Nuku, merupakan raja yang terbuang. Kematian ayahnya, dan tahta yang direbut oleh Patra Alam (anak wakil Sultan yang melakukan kontrak dengan Belanda), menyebabkan dirinya menjadi seorang Bajak Agung secara tidak sengaja. Nuku beserta Istri, anak dan pengikutnya, melarikan diri dengan kora-kora. Nuku dengan dukungan (baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi) dari raja-raja lainnya di pantai-pantai Papua Barat, mengatur siasat melawan Patra Alam dan Belanda. Sejak inilah Nuku menjadi Sultan Tidore, seorang "prins-rebel" atau Pangeran Pemberontak. Tidak luput hanya masalah seputaran Tidore, Pada Bab XVIII, dikisahkan bahwa Nuku menyerang Ternate dan Belanda, dan pada akhirnya berhasil merebut Ternate. Tentunya pada saat ini Nuku bersekutu dengan Inggris. Uniknya persekutuan ini murni persekutuan, Nuku sebagai Sultan Tidore tidak mau tunduk pada Inggris. Paska perjanjian perdamaian antara Ternate dan Tidore, Tidore membayar semua dukungan senjata dari Inggris dengan hasil bumi tanpa mau mengadakan perjanjian kontrak dalam bentuk apapun. Terlepas dari semua cerita tentang Nuku sendiri, terdapat beberapa poin menarik:
Setidaknya bila kemudian para pembaca pergi ke pasar malam atau ke pusat permainan semacam Dunia Fantasi, silahkan kunjungi wahana permainan perahu kora-kora. Ceritakanlah kisah Nuku dan kora-kora nya,, dia bukan hanya pahlawan, tetapi jiwa baharinya adalah murni dari negeri maritim. Oleh: Umi Purnamasari Penulis juga mempunyai web blog jurnal www.pejalankaki.weebly.com Hingga 27 Oktober 2017, Relawan Abdon Nababan sudah mengumpulkan 400 ribu dari 1 juta KTP. KTP itu berasal dari 96 posko yang tersebar di 33 Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara. KTP yang sudah terkumpul setara dengan 50 persen lebih dukungan yang ditetapkan KPU Sumut untuk jalur independen 764.578 KTP. Mereka masih punya waktu mengumpulkan satu juta KTP sebelum menyerahkan pada KPU SUMUT untuk verifikasi pada 22 November 2017. Perjuangan mengumpulkan KTP, barangkali, satu diantaranya, hasil blusukan Abdon Nababan di Sumatera Utara. “Kini, 3 bulan sudah Abdon mengelilingi berbagai pelosok Sumatera Utara, dari pintu ke pintu, dari kedai ke kedai, dari kampung ke kampung. Ngobrol, nongkrong, silaturahmi, berada bersama orang-orang dan kampung halaman yang disayangnya. Direstui, ditugasi, dibekali oleh tokoh-tokoh dan orang-orang biasa, tua-muda, laki-perempuan, miskin dan kaya. Sekitar 400 ribu KTP pendukung telah dikumpulkannya, berarti hampir 50% dari target telah tercapai,” tulis Ruwi di linimasa FB Andon Nababan. “Semuanya baik-baik saja. Yang kurang adalah uang. Mari gotong-royong mengumpulkannya.” Pada 30 Juni 2017 di acara Adat Batak Karo untuk Maria Br Sitepu istri Bang Abetnego Tarigan, saya bertemu bang Abdon Nababan. Bang Abdon masih seperti dulu, sejak saya kenal: pakaian sederhana, berkacamata dan ceria berdiskusi. Usai menjadi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sejak 2007, Abdon dipercaya mengisi Dewan AMAN Nasional. Abdon Nababan tidak lepas dari dunia memperjuangkan masyarakat adat di Indonesia sejak 24 tahun lalu. Atas baktinya pada masyarakat adat, penghujung Agustus 2017 di Filipina, Abdon diberi penghargaan Raymon Magsaysay 2017 untuk kategori Community Leadership di seluruh Asia. Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi yang menggantikan Abdon Nababan resmi mendukung Abdon Nababan maju menjadi Gubernur SUMUT. Apakah dukungan resmi AMAN bagian, dari strategi AMAN bakal mendirikan atau menjadi partai politik kelak? Pertanyaan itu saya ajukan setelah membaca Buku Dari Adat ke Politikkarya Nur Iman Subono terbitan Marjin Kiri. Nur Iman Subono, sesudah mengkaji gerakan adat di Bolivia dan Ekuador, menilai gerakan dari adat ke politik di Indonesia,“Kelihatannya jalan untuk masuk ke arena politik elektoral bagi gerakan sosial masyarakat adat (Indonesia) masih jauh dan sejauh ini belum memperlihatkan tanda-tanda akan coba dilakukan,” kata Nur Iman Subono menelaah di samping AMAN, Walhi dan KPA yang pernah mencoba mendirikan Partai Hijau sebagai alternatif atas partai-partai politik oligarkis yang selama ini ada, belum juga menunjukkan wujudnya. Di Bolivia dan Ekuador melalui gerakan sosial organisasi masyarakat adat mendirikan partai politik lalu memenangkan elektoral pemilihan presiden. Perbandingan masyarakat adat di Amerika Latin dan Indonesia dari sisi sejarah hingga kemerdekaan tidak ada yang berbeda: selalu dipinggirkan secara politik, namun diberi ruang saat elektoral. Sebagaimana di Bolivia dan Ekuador, menurut Nur Iman, masyarakat di Indonesia juga berada dalam posisi marjinal secara ekonomi dan subordinat secara sosial politik,”mereka layaknya “orang lain” di negeri sendiri. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia juga demikian, dicirikan dengan penaklukan dan pengambilalihan wilayah-wilayah adat dan wilayah kelola adat, dengan satu asumsi, wilayah itu pada dasasrnya tidak bertuan (doktrin “Terra Nullius”). Peran masyarakat adat sangat berkaitan dengan tanah, sumberdaya alam, hutan dan keberlangsungan lingkungan. Kehidupan mereka harmonis dengan alam. Namun, kolonialisme dan kapitalisme hingga pemerintah telah merusak kehidupan masyarakat adat di Indonesia dengan cara merampas hutan tanah mereka sebagai “hak menguasai negera” lalu diberikan pada korporasi dalam bentuk lisensi, izin dan konsesi. Cerita itu juga terjadi di Amerika Latin, dimulai dari penjajah Spanyol menghabisi sekitar 95 persen populasi masyarakat adat. Setelah kolonialisme, kapitalisme global berkolaborasi dengan pemerintah suatu negara, juga menghancurkan keberadaan masyarakat adat. Di tengah itu, perlawanan masyarakat adat, dari gerakan sosial hingga merebut kekuasaan politik melalui pemilihan elektoral yang resmi. Bagaimana perjuangan dari adat ke politik yang mencengangkan dunia di Amerika Latin? Nur Iman Subono, menarasikan dengan baik dan mudah dipahami. Tahun 1990-2000 an terjadi perubahan politik di Amerika Latin, ketika gerakan masyarakat adat mulai dari Meksiko, Nikaragua, hingga terutama Bolivia dan Ekuador, yang menampilkan diri sebagai subjek kekuatan politik yang menentukan dalam proses-proses politik yang sedang berlangsung, bahkan mereka juga mampu masuk dalam struktur kekuasaan melalui pendirian partai politik berbasis etnik dan politik elektoral. Kajian-kajian ilmu politik selama ini hanya berfokus pada masalah-masalah elit politik, kekuatan bisnis ekonomi, kalangan oligarki, kudeta militer dan kekuatan buruh, instabilitas politik dan krisis ekonomi hingga demokrasi, tanpa memberikan tempat pada peran dan posisi penduduk asli dalam proses-proses politik yang sudah dan sedang berlangsung kecuali sebagai objek politik yang pasif, mudah diatur dan terbelakang. “Namun semuanya berbalik 180 derajat,” kata Nur Iman Subono dalam kata pengantar yang tertarik melihat fenomena yang tidak dipikirkan oleh para pengkaji politik. Dengan mengumpulkan literatur lantas membingkai dengan pendekatan Struktur Politik, Struktur Mobilisasi, Proses Pembingkaian dan Menuju Pendekatan Integrasi Gerakan Sosial, Nur Iman mengajak kita melihat gerakan sosial dari era kolonial hingga kini perjuangan masyarakat adat khususnya di Bolivia dan Ekuador. Nur Iman mengutip dalam Colonial Latin America, menghamparkan bagaimana sejarah masyarakat adat di Amerika Latin bisa dibilang sebagai “sejarah hitam” yang penuh penderitaan, kematian, epidemi, pengusiran, dan bencana. Penaklukan oleh bangsa Eropa, khususnya Spanyol dan Portugis pada abad ke-15 dan ke-16, setelah kedatangan Columbus pertama kali pada 1492, bisa dibilang sebagai malapetaka bagi sekitar 50-100 juta masyarakat adat yang mendiami tempat yang lantas dijuluki sebagai “dunia baru”. Para peneliti modern menyebutnya “malapateka demografi” yang dihadirkan oleh berbagai penyakit baru seperti cacar, campak, tifus, penyakit kotor, dan influensa yang tanpa sengaja dibawa oleh para penjajah Eropa dan memusnahkan sebagian besar masyarakat adat yang ada. Selama kolonialisme Eropa, mereka mengalami dispossession (tercabut hak miliknya), exploitation (penghisapan), dan oppression (penindasan). Nur Iman membagi tiga politik dan masyarakat adat di Amerika Latin: masa kolonialisme, masa kemerdekaan dan kebangkitan gerakan masyarakat adat. Di tiap masa itu pemberontakan masyarakat adat selalu ada, namun berhasil ditumpas. Pun di era kemerdekaan, masyarakat adat tetap berada di bawah timbunan paling bawah dalam struktur masyarakat nasional, dan elit kreollah yang mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi di Amerika Latin. Hanya elitnya saja yang mengalami sirkulasi pergantian, tanpa mengubah struktur masyarakat. Lalu, apa yang baru dari gerakan masyarakat adat di Amerika Latin? Menurut Donna Lee Van Cott adanya transformasi gerakan dari yang tadinya hanya “pihak luar” yang cuma memiliki kapasitas untuk memengaruhi kemudian berkembang menjadi aktor politik kolektif yang efektif dan berkuasa yang dapat mempertahankan kehadirannya baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. “Untuk pertama kalinya pueblos (rakyat jelata) tampil sebagai aktor politik baru, yang masuk dalam politik dengan agenda-agenda perjuangan mereka sendiri,” kata Lucas Savino. Sama seperti organisasi AMAN, gerakan sosial adat di Bolivia dan Ekuador dimulai dari sebuah organisasi untuk memperjuangakan hak adatnya. Conaie di Ekuador dan Cocaleros di Bolivia. Conaie di Ekuador. Konfederasi Nasional Masyarakat Adat Ekuador (Conaie). Ia terbesar di Ekuador berdiri pada 16 November 1986, representasi dari penduduk asli terdiri dari suku Shuar, Achuar, Siona, Secoya, Cofan, Huaorani, Zaparo, Chachi, Tsachila, Awa, Epera, Manta, Wancavilca dan Quichua. Ia juga representasi tiga federasi regional terdiri dari konfederasi masyarakat adat amazon ekuador yang mewakili wilayah timur amozon atau oriente, konfederasi masyarakat Quichua Nasional Ekuador yang mewakili wilayah pegunungan Andes dan koordinasi organisasi-organisasi masyarkat adat dan kulit hitam pesisi ekuador yang mewakili wilayah pantai. Conaie satu-satunya organisasi di seluruh Amerika Latin yang bisa menyatukan semua organisasi penduduk asli sampai ke tingkat regional, nasional bahkan internasional. Conaie pada 1995 mendirikan partai politik Movimiento de Unidad Plurinacional Pachakutik-Nuevo Pais (MUPP-NP) agar bisa terlibat dalam proses elektoral. Cocaleros di Bolivia. Cocaleros (Petani Koka) hanya muncul dan berkembang di dua tempat Los Yungas di departemen La Paz dan El Chapare di departemen Cochabamba. Dua tempat itu markas besar gerakan Cocaleros. Ia sering juga disebut “generasi kedua” gerakan sosial masyarakat adat di Bolivia, karena jauh sebelumnya sudah ada banyak organisasi dan gerakan sosial yang cukup mengemuka di Bolivia: Konfederasi Sindikalis Tunggal Buruh Tani Bolivia dan Konfederasi Masyarakat Adat Bolivia. Namun Cocaleroslah yang paling menarik, karena: Pertama, visi aksi gerakan sosial perlawanan terhadap globalisasi neoliberal dan perjuangan kelas melawan kekuasaan negara. Ia membangun basis strategi kehidupannya di tingkat lokal dalam melakukan perlawanannya terhadap kebijakan negara, sekaligus mengaitkannya dengan gerakan lebih luas dalam melakukan perlawanan terhadap globalisasi dan neoliberal. Kedua, melalui partai politiknya Movimiento Al Socialismo (MAS) dibantu dan beraliansi dengan berbagai pihak, pada akhirnya mampu menjadikan ketuanya Evo Morales dari suku Aymara sebagai presiden pada 2015 dengan perolehan suara sekitar 53,7 persen. Morales adalah presiden pertama di Bolivia, bahkan di Amerika Latin, yang berasal dari penduduk asli. Neoliberalisme berdampak besar pada kaum buruh dan tani (termasuk petani adat), bukan hanya terjadi pemotongan besar-besaran anggaran untuk subsidi pertanian dan akses kredit, tetapi ideologi dan kebijakan neoliberalisme—dalam bentuk privatisasi dan sertifikasi individu—secara langsung mengancam hak adat atas tanah komunal yang merupakan konsep kewilayahan utama penduduk asli. Pada titik inilah, menurut Nur Iman, wacana anti-neoliberalisme menjadi semacam amunisi pencetus atau daya ledak gerakan penduduk asli. Dua organisasi masyarakat adat itu berhasil memenangkan elektoral dengan caranya sendiri. Nur Iman juga menceritakan konflik internal di dalam dua organisasi itu sebelum memutuskan mendirikan partai politik hingga berhasil memenangkan elektoral Presiden. Buku dari Adat ke Politik ini hendak saya narasikan semua di sini, namun lebih seru bila membacanya langsung: emosi anda akan terbawa untuk melakukan perubahan. Persis seperti pertanyaan Nur Iman di atas. Lantas bagaimana dengan gerakan masyarakat adat di Indonesia? Dari Amerika Latin, apakah berdampak pada gerakan masyarakat adat Indonesia? Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2014. Jokowi jadi presiden ketujuh. AMAN mendesak Jokowi segera membentuk Satgas Masyarakat Adat, mendorong UU Masyakarat adat, dan Jokowi memberi sertifikat reforma agraria kepada masyarakat adat. Meski AMAN terus mengkritik Jokowi karena tidak sepenuhnya memenuhi tuntutan AMAN. Itu satu gerakan politik. Lantas, Abdon Nababan Calon Gubernur SUMUT dari jalur independen dan dukungan resmi AMAN kepada Abdon Nababan, akan menuju ke dari adat ke politik? atau barangkali “tanda-tanda yang dicoba masyarakat adat Indonesa”? Yang jelas, Abdon Nababan sedang berjuang di jalur politik elektoral menjadi Gubernur Sumut periode 2018-2023. “Semuanya baik-baik saja. Yang kurang adalah uang. Mari gotong-royong mengumpulkannya.” Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/02/dari-adat-ke-politik/#more-2321 ZADIG jadi budak Setok di Mesir. Ia dibeli Setok setelah dihukum penguasa Mesir karena terbukti membunuh Kletofis–meski niatnya membunuh hendak menolong seorang perempuan bernama Missuf yang disiksa oleh Kletofis. Menurut hukum Mesir Zadig harus dihukum menjadi seorang budak. Dua ekor unta Zadig dijual, hasil penjualan masuk kas kota, seluruh emas Zadig mereka bagi-bagikan untuk seluruh penduduk kota. Zadig ditelanjangi di muka umum. Setok saudaragar arab membawa Zadig dengan kaki dirantai menuju ke gurun Arabia. Tiba di tujuan, Setok menagih lima ratus ons perak yang dipinjam oleh seorang Yahudi yang disaksikan dua orang. Namun, dua orang saksi itu meninggal. Si Yahudi bersikeras tidak mau mengembalikan uang Setok. Setok menceritakan pada Zadig. “Di mana Tuan melakukan transaksi dengan si pelanggar hukum itu?” tanya Zadig. “Di atas sebuah batu besar,” jawab Setok,”di dekat Gunung Horeb.” “Bagaimana sifat Yahudi itu?” tanya Zadig lagi. “Licik,”jawab Setok. “Yang hamba ingin tahu adakah dia giat atau tidak, dan berhati-hati atau tidak.” “Diantara semua penunggak hutang, dia adalah yang paling giat.” “Baiklah, izinkan hamba membela Tuan di depan hakim.” Zadig menyebut nama si Yahudi di pengadilan. Pada hakim ia berkata: ”O Telinga Keadilan, hamba datang, atas nama Tuan Hamba, untuk menagih hutang sebesar lima ratus ons perak yang si pengutang tidak mau bayar.” “Kau punya saksi?” kata si hakim. “Tidak, mereka berdua sudah mati, tapi masih ada sebongkah batu besar di mana perak itu dihitung, dan bila yang mulia berkenan, hamba mohon Yang Mulia sudi kiranya bila hamba mengutus orang untuk mengambil batu tersebut. Hamba harap batu itu bisa menjadi saksi. Hamba dan si Pengutang akan menunggu batu tersebut datang; Tuan hamba, Setok, akan membayar orang untuk mengambil batu itu.” “Baiklah,” balas si Hakim, yang kemudian beralih menangani urusan-urusan lain. Setelah beberapa lama, si Yahudi menoleh pada Zadig. “Jadi,” katanya,”apakah batumu belum juga sampai?” Si Yahudi sambil tertawa kecil. “Yang Mulia, ditunggu sampai besok pun mungkin batu itu belum akan sampai; tempat itu berjarak lebih dari enam mil dari sini, dan mungkin dibutuhkan lima belas orang untuk mengangkut batu itu.” “Nah,”kata Zadig,”seperti hamba bilang, batu itu dapat dijadikan saksi, karena pria ini tahu di mana letaknya—dengan begitu, ia telah mengakui bahwa di sanalah perak itu dihitung.” Si Yahudi kebingungan dan terpaksa mengakui semuanya. Hakim memutuskan si Yahudi akan dihukum dengan diikat di batu itu tanpa diberi makan dan minum bila tak membayar hutangnya. Si Yahudi memilih membayar lima ratus ons perak pada Setok. Adakah Zadig di sekitar kita? Cerita Zadig adalah karya Voltaire yang terbit pertama kali 270 tahun di Perancis berjudul Zadig, ou la Destinee: Histoire Orientale. Versi Indonesia berjudul Zadig diterbitkan oleh OAK pada 2015. Dan saya membacanya seharian penuh pada Oktober 2017 di Jakarta. Dalam cerita ini ada sepotong nama Tidore dan Ternate. Dari mana Voltaire tahu nama-nama itu? Padahal lebih dari 270 tahun lalu. Sepenggal nama-nama itu tertera dalam penggalan,”si Pendeta tinggi menggunakan sisa hari itu untuk mandi, lalu ia meminum minuman yang terbuat dari kayu manis dari Sri Lanka dan rempah-rempah dari Tidore dan Ternate, dan menunggu kemunculan bintang Sheat.” Ia cerita seorang Almona, yang hendak menyelamatkan Zadig karena dianggap menghina kepercayaan. Membaca Novel Voltaire dengan 21 petualangan anak muda bernama Zadig, membawa kita pada realita kehidupan yang penuh satire, emosi, jenaka, meski dongeng ala Voltaire. Cerita 270 tahun itu “masih hidup” dan bahkan hadir di tengah-tengah kita karena ia bercerita tentang keadilan dan kasih sayang. Namun, untuk meraih keduanya Zadig melewati kesialan, derita, intrik politik bahkan rencana pembunuhan atas jiwanya atas perintah Raja Babilonia. Cerita petualangan Zadig dimulai di Babilonia, di bawah kekuasaan Raja Moabdar, dengan kesialan pertama dalam hidupnya: Zadig akan menikahi Semira gadis cantik, kaya dan diidamkan di seluruh Babilonia. Zadig mencintai Semira setulus hati. Semira amat mencintai Zadig. Tiba-tiba mereka di datangi orang-orang bersenjatakan pedang dan panah, anak buah Orkan, keponakan Menteri. Orkan marah pada Semira karena tidak memilihnya menjadi pasangan hidup. Penculik itu mengambil paksa Semira dari Zadig. Semira berteriak, dan Zadig bersama dua orang budaknya berhasil mengusir penculik. Semira berdarah dan tak sadarkan diri. “O Zadig, sebelumnya aku mencintaimu sebagai suamiku, tapi kini aku mencintaimu sebagai penyelamat hidup dan kehormatanku.” Luka Zadig lebh parah saat perkelahian dengan penculik. Sebilah panah yang menancap di dekat matanya meninggalkan luka yang dalam. Mata Zadig berair setiap kali melihat Semira. Mata Zadig bengkak bernanah yang membuat wajahnya menakutkan. Semira merasa jijik pada Zadig. Zadig pergi berobat dan sembuh. Ketika dia mengetahui Zemira menikahi Orkan karena tidak suka dengan mata satu Zadig,”betapa kejamnya gadis bangsawan, kini aku harus menikahi seorang gadis dari kalangan warga biasa.” Zadig akhirnya menikah dengan Azora, gadis paling bijak di desanya. Selama sebulan kehidupan mereka bahagia, namun Azora kurang baik budinya. Ujian cinta yang diberikan Zadig pada Azora yang berpura-pura mati, membuktikan Azora tidak mencitai Zadig. Karena kebijakannya, Zadig diangkat menjadi Perdana Menteri Babilonia. Ia perdana menteri termuda di Babilonia. Semua pejabat istana marah. Ia menegakkan hukum di seluruh Babilonia tanpa menonjolkan marwahnya sama sekali. Ia tidak melawan kehendak majelis negara, dan ia memperbolehkan setiap wazir berpendapat sebagaimana mestinya. Ketika mempertimbangkan sebuah urusan, ia memakai pertimbangan berdasar hukum dan bukan sekedar keinginan pribadinya. Ia percaya hukum ada untuk menolong warga, bukan mengancam mereka. Bakat utamanya menemukan kebenaran yang semua manusia coba sembunyikan. Seorang saudagar mati di Hindia dan berwasiat akan mewariskan hartanya kepada dua orang anak laki-laki setelah adik perempuan mereka nikahkan, dan akan mewariskan tiga ribu keping emas pada anak laki-lakinya yang menyayanginya. Si Sulung membangun makan megah untuk ayahnya. Anak kedua menyisihkan sebagian dari warisannya untuk pernikahan adik perempuannya. Kabar itu beredar di masyarakat Babilonia. “Jelas Si Sulunglah yang lebih menyayangi ayahnya, karena si anak kedua lebih menyayangi adiknya, si Sulung yang pantas mendapat tiga ribu keping emas.” Untuk membuktikan siapa yang berhak, Zadig mengundang dua pemuda bersaudara itu satu persatu. “Ayahmu masih hidup; ia sembuh dari penyakitnya dan akan kembali ke Babilonia,” kata Zadig pada Si Sulung.“Ya Tuhan,” balas Si Sulung,”tapi makam yang ku bangun untuknya sangat mahal harganya!” Zadig kemudian mengatakan hal yang sama pada anak kedua. “Ya Tuhan, aku akan memberikan seluruh hartaku pada ayahku, tapi aku tidak akan meminta kembali apa yang telah kuberikan pada adik perempuanku.” “Kau tidak perlu memberikan hartamu pada siapapun,” kata Zadig,”dan kau berhak atas tiga ribu keping emas peninggalan ayahmu: kaulah anak ayahmu yang paling menyayanginya.” Itulah kebijakan seorang Zadig. Masalah lainnya ia selesaikan dengan cara ala Zadig di setiap petualangannya. Ia tak lepas dilanda kesialan. Ia hendak dibunuh oleh Raja karena cemburu Baginda Ratu Astarte mencintai zadig, begitu juga dengan Zadig. Astarte adalah perempuan kesayangannya dan cintanya. Ia hendak dibunuh Raja. Ia melarikan diri ke Mesir. Sejak saat itu ia tak bertemu lagi dengan Astarte, perempuan yang ia cintai sepenuh hati. Petualangan di Mesir, Basra berlanjut dengan kearifan dan kebijakan Zadig hingga ia diangkat jadi penasehat penguasa setempat dan saudagar karena mampu menyelesaikan persoalan sosial. Dan, kesialan berikutnya terus berlanjut: didenda karena dikira melihat seekor anjing lewat; hampir disula karena grifon; hampir disiksa karena menulis sajak yang memuji Baginda Raja; hampir dibunuh karena baginda Ratu mempunyai pita rambut berwarna kuning dan menjadi budak karena seorang pria kejam memukuli kekasihnya,” kata Zadig saat di Mesir. KARANGAN Voltaire mengajarkan kita bahwa untuk membuktikan keburukan butuh kebijakan, kearifan, kesabaran dan punya panduan. Zadig mempercayai kitab Zharatusta. Membuktikan perbuatan buruk dan baik dengan cara Zadig, butuh—seperti kata Voltaire: kecendiakaan dan budi pekerti yang baik, belajar memperbaiki diri, meski kaya mengekang hawa nafsu, tak suka pamer, mengerti kekurangan orang lain, tak pernah menjadi ingin menjadi yang paling benar. Zadig sosok mengherankan: meski cerdas dan dan berwawasan, ia tak pernah menghina atau bahkan sekedar mengejek orang-orang yang melibatkan diri dalam cengkerama-cengkerama tak jelas, basi, dan kacau, dalam kalimat-kalimat lancang penuh fitnah, dalam kesimpuian-kesimpulan bodoh tak berdasar, dalam lelucon-lelucon murahan, dalam pengucapan kata-kata tak berguna yang orang sebut percakapan di Babilonia. Cintalah yang membuat Zadig, barangkali, menjadi bijaksana. Cintanya pada Astarte, menjauhkannya pada hal-hal buruk. Bila kau dicintai oleh seorang wanita cantik,”kau akan selalu menemukan jalan keluar dari masalah-masalahmu,” kita Zarathusta. Kitab yang jadi pedoman Zadig. Kitab Zarathusta mengajarkan Zadig, juga pengalaman Zadig selama bertualang: “Kesempatan berbuat jahat datang seratus kali dalam sehari, tapi kesempatan berbuat baik hanya datang sekali setahun.” “Orang yang tidak mampu menemukan salah dalam dirinya sendiri, biasanya tidak bernasib baik.” “Orang bilang, kesedihan kita akan berkurang apabila kita tidak bersedih sendirian. Orang yang sama-sama bersedih akan saling menghibur, bagaikan dua belukar rapuh yang saling menopang untuk menghadapi kencangan badai.” “Kita tidak bisa menilai sesuatu secara keseluruhan bila kita hanya mengerti bagian-bagian kecil dari sesuatu itu.” Aku suka dialog Zadig dengan Malaikat Jesrad, ketika Zadig merasa kesialan adalah hidupnya. “Apakah dunia ini benar-benar membutuhan kejahatan dan kesedihan? Dan kenapa kesedihan justru lebih sering mengampiri orang-orang baik?” tanya Zadig. “Orang-orang jahat tidak pernah berbahagia: mereka diciptakan hanya untuk menguji orang-orang baik yang amat sedikir jumlahnya, dan tidak akan ada kebaikan yang lahir dari kejahatan.” “Tapi, apa yang terjadi andai hanya ada kebaikan tanpa kejahatan di dunia ini?” tanya Zadig. “Itu tidak mungkin—dunia ini akan menjadi lain apabila itu terjadi. Di dunia seperti itu, rantai peristiwa akan menjadi bagian dari sebuah tatanan yang bijaksana dan sempurna, dan itu hanya bisa ada di loka abadi tempat tinggal Tuhan, tidak bisa dicemari kejahatan. Ia telah menciptakan jutaan dunia yang sama sekali berbeda satu dari yang lain. Keberagaman itu adalah tanda dari kekuatanNya yang tak terbatas. Sebagaimana tidak ada dua helai daun sepenuhnya sama di muka bumi ini, tidak ada dunia yang sepenuhnya sama di alam semesta yang tiada terbatas ini, dan semua yang terjadi di atas duniamu yang hanyalah sebutir pasir dalam luasnya gurun semesta ini sudah ditentukan waktu dan tempatnya oleh Tuhan. Orang-orang berpikir bahwa nyonya rumah kita jatuh ke sungai karena kebetulan, dan bahwa tuan rumah kita terbakar karena kebetulan juga. Tapi tidak ada kebetulan di alam semesta: semua hal yang dialami manusia adalah ujian, hukuman, ganjaran atau pertanda. O Manusia fana! Jangan pernah lagi menentang Dia yang harus kau sembah!” “Aku harus mengetahui nasib Astarte. Aku tidak peduli kesialan macam apa lagi yang akan menimpaku,” kata Zadig. Dan pertemuannya denga Astarte sama sekali tidak terduga. Namun untuk bersatu dengan Astarte, Zadig harus melewati ujian bertarung dan menjawab teka-teki dari Magi Babilonia. Aku mulai dua pertanyaan, yang juga ditanyakan oleh Kepala Magi Kerajaan Babilonia saat memberi teka teki pada Zadig dan Itobad. Yang bisa menjawab teka-teki itu menjadi Raja Babilonia juga menjadi Istri Baginda Ratu Astarte yang cantik. Teka-teki Pertama: Apakah hal yang paling panjang tapi juga paling pendek, paling cepat tapi juga paling lambat, paling terbagi tapi juga paling utuh menghampar, paling disia-siakan tapi juga paling dirindukan, yang tanpanya tidak ada yang bisa kita lakukan, yang membinasakan semua yang sepele tapi memberi hidup pada semua yang hebat? Kedua: Apakah hal yang kita terima begitu saja tanpa kita syukuri, yang kita nikmati tanpa mengetahui bagaimana cara menikmatinya, yang kita bagikan meski kita tidak tahu dari mana asalnya, dan yang meninggalkan kita tanpa terasa? Dua teka-teki itu, juga sesungguhnya gambaran kehidupan Zadig. Dua jawaban itu mempersatukan Zadig dan Astarte. Jawabannya ada pada jelang halaman terakhir petualangan Zadig. CERITA Zadig karya Voltaire yang dicetak 270 tahun lalu di Perancis, terasa hidup dan relevan di dunia millenial saat ini. Ia pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Dan Voltaire, sama seperti kita, mengimpikan, seperti tertera di akhir kalimat: masa kekuasaan Zadig adalah masa paling indah di dunia, karena pemerintahannya di dasari keadilan dan kasih sayang. Ya, Keadilan dan Kasih Sayang! Yang hilang di dunia politik sekitar kita. Aku merenung di tengah beton beton kekuasaan; mahakarya politik. Oligarki beton-beton itu merasuk hingga ke daerah-daerah di Indonesia. Di tengah instrik politik perebutan kekuasaan kita harus belajar pada Zadig. Yang hilang di tengah kehidupan ini: membuktikan baik dan buruk dengan kebijakan dan cinta. Bagaimana seorang Voltaire menciptakan seorang Zadig? Aku tentu tak tahu jawabannya, apalagi cerita itu ia ciptakan 270 tahun lalu. Voltaire, barangkali, tak pernah membayangkan novelnya hadir dan hidup di tengah generasi milenial. Andai saja, kasus si Yahudi terjadi di era milenial, saya membayangkan si Yahudi, akan membantah tuduhan Zadig. “Yang mulia, saya bisa menjawab letak sebuah batu besar di Gubung Horeb berdasarkan panduang google. Yang Mulia juga bisa mengeceknya.” Karena tidak ada “dua alat bukti”, Yang Mulia pasti membebaskan si Yahudi. Untuk seorang sahabat, adakah Zadig di sekitar kita? Oleh: Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/01/zadig/#more-2296 |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |