kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
Ini kisah kelabu dari dua orang sejoli yang berpisah saat sedang cinta-cinta nya, tapi bukan juga cerita tentang seorang kekasih yang tidak bisa Move on lalu meringgis tangis menggaruk-garuk dinding. Kisah ini dituturkan seorang pendongeng tersohor di warung yang selalu minta rokok dan ngutang segelas dua gelas kopi. Gaya tutur pendongeng yang aduhai, membacanya seakan kita mendengarkan cerita. Jadi sebelum membaca tulisan ngawur ini ada baiknya menyediakan kopi dan remah tembakau terlebih dahulu, jika tak suka tembakau pisang goreng pun nikmat jua. Mari kita sesap sari novel ini. Seperti kapuk randu tipis dan tak terpakai yang terbang melayang ke mana angin membawa. Enteng. Teng! Kosong tubuhnya, kosong pula kepalanya. Mat Dawuk jelas tak menyadari manakala ia berlari melesat membelah jalan desa. Ketika ia menabrak Pintu UGD, ia melonglong-longlong “Tolong Istriku! Tolong anakku!, Tolong! Tolong...!” Mat Dawuk tokoh utama novel ini seorang lelaki buruk rupa, seburuk-buruknya yang pernah dilihat oleh manusia. Melihatnya bagaikan sebuah kesialan. Namun, cinta yang diam-diam dia sembunyikan pada seorang kembang desa Inayatun mengubah segalanya, hidup yang kian tragis dan pilu. Sebagai seorang pembunuh dan petarung hebat bisa kiranya Mat Dawuk melonglong merintih. Tapi sesungguhnya kesedihan yang ia bawa sampai mati ini bukan karena cinta, namun karena struktur yang terjadi di masyarakat, norma dan nilai yang dianggap baik oleh segolongan orang, serta anggapan kebahagian adalah milik mereka yang cantik ataupun rupawan. Inayatun seorang gadis yang tumbuh dan disukai banyak pria, tapi bikin pusing keluarganya. Ia seorang anak dari pamong desa yang kawakan dengan pengetahuan agama yang mendalam. Inayatun pandai mengaji, tapi sepandai itulah ia merayu laki-laki. Bacaan arabnya fasih, sefasih ia berbicara kotor dan memaki. Petualangannya dengan lelaki memang tidak berkesudahan, petualangan yang membawa Inayatun menjadi TKI di Malaysia dengan cibiran “paling-paling hanya bisa jualan susu”. Suatu waktu lelaki yang ia “singgahi” tergila-gila padanya, tak mau melepas Inayatun. Lelaki itu berbuat kasar, menyisakan tanda lebab dan darah. Saat melarikan diri Inayatun bertemu dengan seorang lelaki mengerikan, wajah penuh luka. Mat Dawuk, orang yang dianggap tidak ada di kampungnya. Mat Dawuk menolong Inayatun, awalnya ia pun ketakutan. Perlahan pembicaraan mereka mengalir, dan dari sana Inayatun tahu bahwa sedari dulu ternyata Mat Dawuk memperhatikannya. Mat Dawuk mengetahui segala kesenangan dari Inayatun dan ia menyimpan semuanya dengan rapi. Ketulusan membuat mereka berbicara dengan cinta sekaligus meneruskan nya pada lakon purbakala. Hubungan mereka yang bahagia ingin mereka lanjutkan layaknya sepasang suami istri yang membangun mahligai rumah tangga. Mat Dawuk dan Inayatun memutuskan pulang ke Rumbuk Randu. Dua manusia yang dianggap sampah ini kembali, dengan menebar rasa cemburu ke seluruh sudut kampung hingga ke belantara hutan. Dua orang yang mengambil jalan damai dengan cara pulang masih saja mendapat nyinyiran dari semua penduduk, meski mereka telah memilih tinggal di rumah bekas kandang sapi yang separuh halamannya masuk dalam kawasan Perhutani. Halaman ini lah yang nantinya menyerap semua bahagia dari gubuk mereka. “Mandor Har datang, ia tanya-tanya soal lahan hutan yang kita garap, ditanami apa, apakah kau sudah terima jatah gancu atau belum, apakah bibit sengon cukup atau tidak, dan hal-hal semacam itu. Termasuk tanah pekrangan yang bagian tanah Perhutani ” Mandor Har pengangum Inayatun. Ia tidak yakin Ina telah berubah, apalagi dengan menikahi Mat Dawuk yang kuman saja enggan melihat wajahnya. Inayatun memang selalu mendaku, seperempat laki-laki di Rumbuk Randu pernah merayunya dan setidaknya separoh dari itu ia ladeni. Dan ia mengenal para lelaki itu lebih baik dibanding istri-istri mereka. Setelah menikah dengan Mat Dawuk, ia berjanji untuk tak lagi gampangan. Tapi ia masih suka keceplosan membicarakannya, bahkan membanggakannya. Karena itu perempuan di Rumbuk Randu masih menaruh curiga padanya, namun diakui atau tidak mereka belajar menjadi perempuan yang lebih bahagia, lebih bangga atas dirinya dari Inayatun. Ina menjadi ilham sekaligus bencana bagi kampungnya. Kembali ke Mandor Har, ya Mandor Har yang masih terbayang-bayang mencicipi tiap jengkal tubuh Inayatun. Sebagai orang Perhutani, Mandor Har memiliki status sosial yang tinggi di Rumbuk Randu, seburuk apapun perangainya. Banyak orang bergantung padanya, termasuk para Blandong pencuri kayu hutan yang sering bermain drama tangkap-menangkap. Rekan drama Mandor Har adalah Blandong Hasan, seorang pencuri kayu yang selalu “berbagi” dengannya. Orang-orang Rumbuk Randu memang menaruh sebagian hidupnya dengan hutan. Tak mungkin jadi nelayan karena terlalu jauh dari pantai, nanggung juga kalau disebut petani secara turun temurun mereka hanya pesanggem, penggarap ladang hutan. Rumbuk Randu adalah kampung dengan hutan jati, kayu terbaik di dunia. Tapi semua orang tahu orang Jawa hanya jadi penebangnya saja. Jati membawa penderitaan bagi mereka, pada saat belanda memutuskan menghubungkan seluruh jawa dengan besi yang berbantalkan kayu jati mereka menjadi buruh yang hanya dibayar setengah. Mereka menyeret gelondongan-gelondongan jati dari dalam hutan hingga ke jalan raya atau bahkan ke galangan-galangan kapal sembari dicambuk. Ratusan tahun penindasan itu tidak berakhir, dari orang asing hingga kepenjajahan saudara se tanah kelahiran. Ketergantungan pada hutan membuat mereka menjadi lahan penindasan baru oleh penguasa hutan yang dibekali oleh negara, Mandor Har salah satu nya. Siang yang kelabu Mandor Har tahu, jadwal Mat Dawuk pergi ke Alas menggarap tanah hutan yang ia tanami. Ditengah perjalanan Mandor Har bersama Blandong Hasan mencoba mengintimidasi. Ia ditawari untuk menjadi pencuri kayu oleh Blandong Hasan di depan Mandor Har. Ia tahu ini hanyalah sebuah penghinaan, dan Mandor Har kembali mengingatkan soal rumah kandangnya yang masuk ke tanah Perhutani. Melihat Mat Dawuk menuju hutan Mandor Har dengan Blandong hasan memacu motor trail-nya menuju kampung, rumah kandang tepatnya. Mandor Har dan Blandong Hasan yang setengah mabuk memaksa masuk ke dalam rumah kandang. Inayatun seorang diri di dalamnya. Mandor Har berbasa-basi menanyakan tanah hutan yang mereka garap dan rumah kandang yang masuk ke lahan Perhutani. Pertanyaan yang terus diulang oleh Mandor Har. Inayatun pergi ke dapur untuk menunjukkan ketidaksukaan pada tamunya, namun Mandor Har membuntuti. Mandor Har mencoba mendekap. Inayatun memberikan perlawanan. Perlawanan kuat yang membuat Mandor Har dan Blandong Hasan kewalahan. “Sekuat apapun kau berteriak tidak akan ada yang medengarmu” ucap Mandor Har diikuti ketawa keras dari Blandong Hasan. Dua bajingan tengik ini terus mencoba memerkosa Inayatun, perlawanan yang kuat akhirnya membuat Blandong Hasan mengeluarkan kapak besar dengan harapan Inayatun melemah. “aku sedang hamil” Inayatun mengiba, namun dua orang ini malah tertawa “kami harus ikut berbagi, agar wajah anakmu tak seburuh wajah bapaknya” Mat Dawauk yang telah mendapat pertanda berlari sekencang mungkin dari dalam hutan, ia hanya membayangkan Inayatun. Ia merasa bersalah karena tidak menuruti kemauan istrinya yang untuk ikut ke dalam hutan sambil digendong. Ia belari, hampir terbang. Ia dobrak pintu dan mendapati istrinya tersungkur di pojok, ketakutan. Dan dua orang laki-laki bengis yang sedang memegang Kapak. Blandong Hasan langsung menyabitkan kapak ke arah Mad Dawuk namun, kapak itu justru mengenai perut Inayatun, perut yang di dalamnya sedang meringkuk anak dari cinta tulus ia dan Inayatun. Mat Dawuk. Diam. Blandong Hasan kembali mengangkat kapaknya hendak membacok, Mat Dawuk dengan siga[ menhhindar dan kapak itu malah menancap di dada Mandor Har. Blandong Hasan membunuh teman sejatinya. Mat Dawuk berlari menuju puskesmas di kecamatan. Seperti kapuk randu tipis dan tak terpakai yang terbang melayang ke mana angin membawa. Enteng. Teng! Dengan menggendong jenazah seorang perempuan yang sedang mengandung bersimbah darah Mat Dawuk berlari membelah desa, semua orang ketakutan. Di siang bolong Mat Dawuk bagai hantu yang menakutkan. “Tolong Istri dan Anak saya dok” Dokter menjawab sambil ketakutan. “Istri dan anak bapak sudah tiada” “Tiada!” Mat Dawuk mengulangi jawaban dokter tadi. Dengan tenang dan sudah tidak lagi ketakutan, si dokter melanjutkan “iya pak istri dan anak bapak sudah meninggal” “tiada!” Di depan puskesma seluruh penduduk Rumbuk Randu yang ingin meleyapkannya sudah berkumpul. Mat Dawuk, Pembunuh Istri dan calon Anaknya. Ia dihakimi oleh seluruh penduduk desa. Semua peralatan menggarap hutan menancap di badannya. Mat Dawuk bertambah buruh dengan tubuh yang ringsek. Di antara gerombolan yang menhajharnya dia melihat Blandong Hasan yang berteriak ia juga telah membunuh Mandor Har yang dihormati sekaligus penolong Rumbuk Randu. Mat Dawuk diam. Tubuhnya dinaikkan kedalam truck pengangkut barang seperti mayat. Ia dibawa ke Polsek. Ia diam. Tidak Mati. Bertahun kemudian, setelah melewati masa-masa di penjara Mat Dawuk pulang ke rumah kandang yang sebagian Tanahnya milik Perhutani. Mengenang Inayatun. Ia putarkan lagu India kesukaan mereka berdua. Pada suatu malam kesunyiannya terganggu. Seluruh penduduk desa setelah bermusyawarah di surau mendatanginya, meminta Mat Dawuk menyerah untuk dihabisi. Dengan rela ia diikat di tiang dalam rumah kandang, ia dibakar hidup-hidup. Di ujung tenggorokan yang sudah hampir meleleh ia bersenandung lagu india parau, lagu cinta yang benar-benar menyedihkan. Ia hangus bersama rumah kandang yang sebagian tanahnya milik Perhutani. Oleh : Iqbal Damanik
0 Comments
Ketika berbicara tentang Land Reform, Reforma Agraria atau Land Tenure Reform, maka semua referensi dan literature terkait hal tersebut merujuk pada bahan bacaan yang teoritis, konseptual, komprehensif, empirik dan ilmiah. Karena pada dasarnya, Land Reform merupakan sebuah gagasan atau ide yang sangat penting bagi sebuah bangsa yang pernah berada dibawah kuasa kolonial dan sistem kerajaan yang feodal, untuk merombak sistem dan struktur pengusaan sumber-sumber agraria yang lebih adil dan berpihak pada rakyat serta petani kecil. Berbeda dari hal tersebut, buku yang berjudul asli PO-ON ini merupakan sebuah karya sastra yang menceritakan sejarah perjuangan masyarakat Filipina untuk meraih kemerdekaannya. Buku ini dengan magis membawa pembaca untuk kembali mengingat sejarah perjuang rakyat Indonesia yang berjuang melawan tirani Belanda berabad-abad lamanya juga Jepang. Seperti yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis dalam pengantar buku tersebut; “Tetapi membaca buku ini membawa kita kembali pada suasana perjuangan bangsa kita sendiri, dari zaman penjajahan hingga perang Dunia II…”. Buku ini memberikan sedikit gambaran tentang pola penguasaan tanah oleh Tuan tanah besar yakni perwakilan raja-raja Spanyol yang menjadi petinggi Gereja Katolik selama periode kolonialisme di Filipina. Dan menjadi sebuah komparasi tentang masalah agraria untuk kita pelajari di Indonesia yang hingga saat ini masih berada dalam arus perjuangan. Novel ini menangkap berbagai momen dalam kurun waktu kebangkitan nasionalisme rakyat Filipina yang memperjuangkan hak-hak sipil, kebebasan dan kemerdekaannya dari penjajahan Spanyol. Namun belum usai dengan Spanyol, upaya ini segera diikuti oleh penyerbuan tentara Amerika yang bertujuan untuk menumpaskan bangsa Spanyol tetapi malah menimbulkan konflik baru antara kelompok nasionalis Filipina dan tentara Amerika itu sendiri, sehingga perang dan korban tidak bisa terhindarkan. Hal lainnya yang menarik dari karya Franciso Sionil Jose ini adalah bagaimana penulis menggambarkan karakter tokoh-tokoh yang terdapat dalam buku tersebut dengan sangat kuat. Seperti Romo Jose petinggi Gereja asal Spanyol yang sedang menjalankan tugas sebagai sorang misionaris dan menjalankan misi-misi pembangunan oleh bangsa Spayol untuk merebut kemerdekaan Filipina. Namun hati nuraninya sendiri menentang tugas-tugasnya sebagai seorang pastor, ia lebih menikmati tugasnya sebagai seorang guru bagi masyarakat sekitarnya, dan guru pribadi bagi tokoh utama novel ini, yakni Eustaqio Salvador (Istak). Berbeda dengan pastor muda yang kemudian menggantikan posisinya, pastor muda ini mewakili watak asli raja-raja Spanyol yang ingin menguasai Filipina. Kisah perjuangan rakyat Filipina ini dinarasikan oleh penulis melalui pengalaman seorang tokoh utama dalam novel tersebut yakni Istak. Seorang petani miskin dari desa yang bernama Po-on dan bercita-cita menjadi pastor. Istak merupakan wajah berjuta petani kecil yang tidak memiliki tanah barang sejengkalpun di Filipina. Istak dan keluarganya merupakan kaum tunakisma di desanya yang mengerjakan tanah bukan milik mereka, tetapi bekerja dengan sistem bagi hasil dengan tuan-tuan tanah, termasuk Gereja. Ayah Istak yang juga sebagai petani kecil yang menghidupi sebuah keluarga dengan 1 orang isteri dan 3 orang anak lelaki tidak sanggup membayar bagi hasil kepada pemilik tanah akhirnya dihukum dengan cara yang mengenaskan. Seorang pastor muda pengganti Romo Jose menghukumnya dengan mengikat dan menggantungkan lengan kanan ayah Istak dengan seutas tali sampai darah dilengannya berhenti, membusuk dan harus diamputasi. Cara-cara penghukuman seperti ini biasa terjadi terhadap petani-petani kecil yang tidak sanggup membayar bagi hasil terhadap tuan tanahnya dan Gereja. Mereka para tuan tanah ini tidak percaya alasan-alasan petani yang tidak sanggup membayar bagi hasilnya, apakah itu karena hama, kemarau dan lain sebagainya. Sehingga di Filipina saat itu memang terlihat banyak petani-petani kecil yang buntung lengan kanannya. Untuk kedua kalinya Ba-ac, Ayah Istak tidak mampu membayar bagi hasil tananhya kepada Gereja, maka dengan amarahnya karena menemukan sosok yang dihadapanya saat itu adalah pastor yang memotong tanggannya, ia lantas membunuh pastor muda itu sampai mati. Dari sinilah awal migrasi keluarga Istak dan beberapa tetangga lainnya yang berasal dari Desa Po-on pergi mencari lahan baru untuk bertempat tinggal, sebuah tempat yang jauh dari Gereja dan penguasa Spanyol. Dalam perjalanan inilah dapat terlihat bagaimana kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh rakyat Filipina. Dibeberapa wilayah pedalaman hutan, mereka menemui beberapa suku-suku asli rakyat Filipina yang masih belum merasakan satu darah, satu bangsa dan senasib dengan suku lainnya. Seperti suku Ilokano dan suku Pengasinan, sehingga memang sulit menyatukan gerakan akar rumput untuk melawan sebuah musuh yang sangat besar, yakni penjajah. Belum lagi ditambah dengan perbedaan watak dan karakter masing-masing suku, ada sekelompok suku yang terkenal dengan watak munafik dan pembelot, ada suku Igorot yang terkenal sebagai kelompok yang suka menjarah dan membegal serta ada suku yang dikenal sebagai sekelompok orang asli orang Filipina yang paling dapat dipercaya, jujur, rajin dan mimiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga, yakni suku Ilokano, keluarga besar Istak. Selama proses migrasi ini, saya mencatat upaya yang dilakukan oleh Istak dan keluarga besarnya untuk melanjutkan hidup sebagai seorang petani kecil yang berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Mereka bertahan hidup dengan cara membuka ladang berpindah dan menanam tanaman pangan, sampai akhirnya ia menetap disebuah desa yang bernama Rosales. Di Rosales, Istak dan keluarga besarnya mendapatkan kesempatan untuk membuka hutan atas izin seorang pribumi Filipina yang merupakan tokoh penting di Rosales, yakni Don Jancito. Beliaulah yang selama ini membeli dan memasarkan komoditi pertanian yang dihasilkan oleh rakyat Rosales. Beliau memiliki kedekatan yang cukup baik dengan para penguasa Spanyol di Filipina sehingga ia memiliki kesempatan untuk menjadi pribumi yang dapat mengelolah tanahnya sendiri. Meskipun Don Jancito juga harus membayar upeti yang cukup besar kepada penguasa Spanyol tersebut. Kepada Istak, Jancito memberikannya lahan untuk digarap dan seluruh hasil garapanya diserahkan kepada Jancito. Dari Jancito itu juga Istak mengenal tokoh nasionalis Filipina yang kemudian memberikannya tugas untuk menyampaikan sebuah pesan kepada Sang Prisiden. Dalam perjalannya menyampaikan pesan tersebut, ia melewati banyak situasi yang mencekam seperti ratusan tentara Amerika yang menyerang sebuah desa hingga tidak ada seorang pun yang tersisa bahkan warga desanya sendiri. Hal ini menimbulkan konflik batin bagi Istak, kenapa ia harus melakukan pembelaan terhadap negeranya, kenapa ia mesti menantang nasib hidupnya yang sudah aman menjadi petani kecil dan tabib di desa barunya ? Yang baginya sudah cukup untuk menjadi seorang manusia, yang bekecukupan sebagai petani dan menyembuhkan bagi masyarakat yang sakit. Namun, pada akhirnya Istak memilih untuk bertarung di medan perang, antara tentara Amerika dan tentara nasional Filipina di perhentian terakhir Jendral Gregorio Del Pilar pegunungan Tirad. Ia bertarung bukan lagi sebagai seorang Eustaqio Salvador, melainkan sebagai bagian dari Filipina. Ia berjuang bukan hanya atas kematian Ayahnya dan penderitaan keluarganya, melainkan untuk dirinya sebagai seorang yang telah bebas dari segala nafsu, tuntutan, impian dan harapan. “Aku telah dibutakan, sebagaiman juga banyak diantara kita, oleh keperluan-keperluan sendiri. Aku hanya memikirkan keluarga ku sendiri. Dari puncak gunung ini, aku dapat melihat banyak hal lain. Aku tidak lagi Eustaqio Salvador. Demikianlah aku akan memasang dagingku yang empuk melawan baja penguasa baru. Aku dapat berbuat ini karena darah ku mengalir lebih cepat, karena aku telah bebas” Walaupun mengalami banyak pertentangan, sebuah karya sastra yang baik selalu mencerminkan sebuah zaman, peradaban dan manusianya. Sastra memang bukan tulisan sejarah dan tidak juga bisa digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Namun sastra merupakan salah satu alat kritik sosial terhadap suatu fenomena yang terjadi didalam masyarakat. Sastra memberikan cara yang berbeda dalam menuliskan sejarah, lebih detil dan subtil, sehingga mampu mengkawinkan antara pembaca dan cerita dalam buku tersebut untuk masuk keranah intim, dimana pembaca dapat betul-betul merasakan setiap lekuk peristiwa yang terjadi. Menurut Lukacs, sastra ditulis berdasarkan pandangan (gagasan) tertentu. Gagasan tersebut menurut Lukacs merupakan humanisme sosialis, ia bersifat objektif terhadap setiap masalah. Dan penciptaan karya sastra tidak bisa dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam proses kreatifnya. Bahwa karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi dan refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi disekitarnya tanpa kekosongan budaya. Karya sastra bisa merubah tatanan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat, karna ia dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Dan karya sastra adalah ekspresi dari zamannya sendiri, sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi sosial yang tengah dihadapi oleh pengarangnya. Dan novel Po-on ini boleh jadi salah satu pustaka agraria yang cukup baik untuk mengamati perbedaan-perbedaan masalah agraria di negara-negera lain selain Indonesia. Seperti bukunya Arundhati Roy yang berjudul The Cost of Living yang menceritakan tentang ekspolitasi sumber daya alam yang merusak ruang hidup masyarakat adat di India. Yang berkedok pembangunan waduk serta proyek-proyek lainnya yang mengatasnamakan pembangunan demi kesenangan segelintir orang. Juga karya sastra anak bangsa Indonesia yang sangat melekat dalam ingatan kita sebagai bangsa yang pernah melalui masa kelam dan dijajah oleh Belanda serta Jepang; yakni karya sastra dari Pramoedya Ananta Toer, sebuah Tretalogi Pulau Buru yang juga menyingung persoalan agraria di Indonesia. Dan masih banyak lagi karya sastra nusantara lainnya yang menarasikan persoalan agraria sacara emik. Meskipun novel ini belum seutuhnya menangkap seluruh perjuangan rakyat Filipina dan fenomena yang khususnya berkaitan dengan isu Land Reform, namun narasi yang sangat deskriptif dan emik dalam novel ini memberikan gambaran yang lengkap tentang konflik dan kondisi realmasyarakat yang berhadapan dengan konflik tersebut. Tabik ! Oleh : Pramasty Ayu Kusdinar Tulisan ini juga dapat dibaca di https://serindangbulan.wordpress.com/2017/11/11/menyigi-land-reform-dari-po-on-resensi-buku-sebuah-desa-yang-bernama-po-on/ Membaca Kahlil Gibran, di tengah kejahatan perubahan iklim yang aktornya adalah kapitalisme korporasi, bisa jadi satu cara kuno untuk melawan ketidakadilan dengan cara,”mengagungkan kehidupan sederhana, menjalani kehidupan ala lingkungan pedesaan, jauh dari distraksi dan mesinisasi gaya perkotaan,” kata Barbara Young—Karya Laki-laki dari Lebanon Sebuah Studi Khalil Gibran—“Kehidupan semacam inilah yang ingin ditawarkan Gibran tawarkan kepada umat manusia. Kahlil Gibran bukan saja bersyair dan berprosa soal romantikan cinta pada kekasih, ibu dan pernikahan, juga tentang alam, ketidakadilan dan kemiskinan hingga kekuasaan yang korup, tiran dan perbudakan. Di sebuah Ladang Pada waktu istirahat siang aku duduk di sebuah ladang, melakukan percakapan dengan Alam, ketika manusia beristirahat dalam damai di bawah selimut mimpi. Aku berbaring pada rumput hijau dan bermeditasi pada pertanyaan-pertanyaan ini: “Apakah kebenaran itu indah? Apakah keindahan berarti kebenaran?” Dan di dalam pikiranku aku menemukan diriku sendiri dibawa menjauh dari umat manusia, dan imajinasiku mengangkat selubung materi yang telah menyembunyikan jiwa abadi di dalam diriku. Jiwaku mengembang dan aku dibawa mendekat pada alam dan rahasia-rahasianya, dan kedua telingaku menjadi terbuka untuk bahasa keajaibannya. Ketika aku jauh berada dalam pikiranku, aku merasakan angin sepoi menerobos dahan-dahan pohon, dan aku mendengar dahan seperti dahan seperti anak hewan kehilangan induknya. “Mengapa kau mendesah, wahai angin sepoi?”tanyaku. Dan angin menjawab.”Karena aku telah datang dari sebuah kota yang terasa panas akibat sinar matahari, dan bibit penyakit juga kontaminasi memegang erat jubah suciku. Apakah kau bisa menyalahkanku untuk duka laraku? Kemudian aku melihat wajah berurai air mata milik bunga-bunga, dan mendengar ratapan lembut mereka. Dan aku bertanya,”Mengapa kalian mengangis, bunga-bungaku yang cantik?” Salah satu kembang itu mengangkat kepalanya dengan perlahan dan berbisik,”Kami menangis karena manusia akan datang dan memotong kami, dan menawarkan kami dalam penjualan di pasar kota.” Dan bunga yann lain menambahkan,”Pada malam harinya, ketika kami mulai layu, dia akan membuang kami ke dalam timbunan sampah. Kami mengangis karena tangan kejam manusialah yang mencerabut kami dari tempat tinggal asal kami.” Dan aku mendengar sungai berduka seperti orang janda menangisi anaknya yang meninggal dan aku menanyainya,”Mengapa kau mengangis, sungaiku yang jernih?” Dan sungai menjawab,”Karena aku dipaksa pergi menuju ke kota tempat manusia merendahkanku dan menolakku demi minuman yang lebih keras dan membuatku menjadi seakan-akan predator yang selalu lapar dan sampah-sampahnya, mencemari kemurnianku, dan mengubah kebaikan menjadi racun.” Dan aku mendengar burung-burung berduka, dan aku menanyai mereka,”Mengapa kalian menangis burung-burungku yang cantik?” dan salah satu dari mereka terbang mendekat, dan hinggap di ujung dahan kemudian berkata,”Anak cucu Adam akan segera datang menuju ladang ini dengan senjata mereka yang mematikan dan menyerukan perang melawan kami seakan-akan kami adalah musuh bebuyutan bagi mereka, kami sekarang saling berpamitan satu sama lain, karena kami tidak tahu yang mana dari kami akan bisa meloloskan diri dari kegusaran manusia. Kematian mengikuti kami kemana pun kami pergi.” Sekarang matahari muncul dari puncak gunung, dan menyepuh ujung-ujung pepohonan dan koronanya. Aku menikmati keindahan ini dan menanyai diriku sendiri,”Mengapa manusia harus menghancurkan yang telah dibangun oleh Alam?” Inspirasi di atas berasal dari ikatan kuat akan persahabatan dan nilai kemanusiaan Kahlil Gibran. Inspirasi alam selalu berasal dari tanah kelahiran Gibran di Lebanon. Ia lahir pada 6 Januari 1883 di Besharri, Lebanon. Ia terlahir dengan nama Gibran Khalil Jubran. Namanya berubah ketika mendaftar sekolah pada usia 12 tahun di Boston Amerika Serikat menjadi Kahlil Gibran. Dari kampung terisolir di Timur, ia menetap di Barat. Dua budaya yang berbeda. Dari Amerika dia bejalar di Paris. Gibran merantau bersama Ibunya—karena ayahnya dituduh korupsi dan suka mabuk dan judi, dan tidak mau meninggalkan Lebanon—karena kemiskinan. Bukan saja kemiskinan, saat Lebanon dikuasai kerajaan Ottoman, Lebanon dicekam kemiskinan, kesengsaraan, jurang yang dalam antara miskin dan kaya, pertentangan agama, dan perebutan kekuakasaan di antara kerajaan-kerajaan besar. Keadilan di Bumi ini akan menyebabkan para jin mengangisi penyalahgunaan kata tersebut, dan seandainya mereka yang mati menyaksikannya, mereka akan memperolok keadilan di dunia ini. Ya kematian dibagi-bagikan pada para pelanggar hukum ringan Sementara penghargaan, kekayaan, dan kehormatan penuh diberikan kepada pembajak kawankan. Mencuri sekuntum bunga kita sebut jahat,merampok ladang adalah kekesatriaan Yang membunuh raga maka dia harus mati, Yang membunuh jiwa, dia boleh bebas Di manakah tempat keadilan yang berdaulat ketika ia membunuh para pembunuh dan memenjarakan para perampok tapi kemudian menyerang tetangga-tetangganya dan membantai dan menjarahnya besar-besaran? Karya-karya Gibran adalah perlawanan: Ara’is al-muruj (1906) perlawanan terhadap lembaga pernikahan dan korupsi pada lingkungan kependetaan. Spirits Rebellious (1908) sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya, dan karya lainnya. Juga tentang kebebasan. Kita semua menuntut kebebasan berbicara dan kebebasan media walaupun kita tak punya apa-apa untuk dikatakan dan apapun yang layak untuk dimuat Kotanya yang dilanda kemiskinan di Lebanon, Gibran menghibur mereka melalui sepuah sajak. Seorang petani berkata, “Bicaralah pada kami tentang pekerjaan.” Dan dia menjawab: kalian bekerja untuk menyelaraskan diri dengan bumi dan jiwa bumi. Karena bermalas-malasan membuatmu asing bagi musim-musim, dan keluar dari pawai kehidupan, arak-arakan dalam kebesaran dan kebanggaan akan kepatuhan terhadap yang maha tak terhingga. Ketika kalian bekerja, kalian adalah seruling yang ditiup oleh sang pemilik hati mengubah waktu menjadi musik, siapa diantara kalian yang akan menjadi buluh yang membisu sepi ketika yang lain bernyanyi bersama serentak? Selalu dikatakan pada kalian bahwa bekerja adalah sebuah kutukan dan memburuh adalah sebuah kesialan. Tetapi kukatakan pada kalian bahwa ketika kalian bekerja kalian mengisi bagian dari mimpi terjauh dari bumi, yang ditugaskan kepada kalian saat mimpi itu lahir dan di dalam menjaga diri kalian untuk selalu bekerja kalian berada dalam kehidupan cinta sejatidan mencintai hidup melalui bekerja membuat kalian intim dengan rahasia terdalam kehidupan Dan apakah bekerja dengan cinta itu? Adalah menenun pakaian dengan benang-benang yang ditarik dalam hatimu seakan-akan kekasihmu yang akan memakainya adalah membangun sebuah rumah dengan kasih sayang seakan-akan kekasihmu yang akan menempatinya adalah menabur benih dengan kelembutan dan menuai panen dengan riang seakan-akan kekasihmu yang akan menikmatinya Dan jika kalian tak bisa bekerja dengan cinta melainkan dengan kebencian maka lebih baik kalian meninggalkan pekerjaan dan duduk di gerbang kuil untuk menerima sedekah dari mereka yang bekerja dengan riang karena jika kalian memanggang roti dengan acuh tak acuh kalian akan menghasilkan roti pahit yang hanya memenuhi setengah lapar dan bila kalian dengan ogah-ogahan memeras anggur kalian menyuling racun di dalam minuman dan apabila kaolin bernyanyi seindah para malaikat tapi tanpa cinta, kalian hanya menutupi telinga manusia dari suara-suara hari dan suara-suara malam Gibran pindah ke Boston, Amerika Serikat pada usinya ke 12 tahun (1894) dan tinggal di sana hingga meninggal pada usia 48 tahun. Selama 36 tahun hanya dua kali Gibran kembali ke Lebanon. Gibran amat mencitai Besharii. Ia terletak di dataran tinggi di tepi salah satu ngarai terdalam Wadi Qadisha. Zaman Girbran kecil hanya ada jalan setapak kecil menuju gunung, melalui pinggiran kota, kemudian turun menuju pintu masuk kota yang padat dengan rumah-rumah, yang dibangun dari batu yang sewarna gading dan atap genteng merah tua. Di dekat rumah Gibran ada hutan cedar. Ia sering berjalan-jalan, tidur, dan bermeditasi di bawah pohon cedar. Ia membaca tentang dewa-dewa purba dan sejarah tentang cedar. Kayu cedar dan pohonnya digunakan di dalam istana kerajaan kuno Abbyria Babylonia, dan di kuil-kuil Jerusalem, dan peti mati raja. Karena ketika cinta merindukan kampung halaman, ia akan mengikis ukuran waktu dan kedalaman Agaknya, membaca Kahlil Gibran, meredakan sejenak atau melupakan sejenak penyakit dan derita yang sedang kita alami di tengah kita sedang berjuang menyelamatkan makhluk ekologis. Oleh : Made Ali Tulisan bisa juga dapat dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/09/kahlil-gibran/#more-2428 Terdapat 66 puisi dalam buku Sabio Carebest ini. Menariknya hampir sebagian besar bersenandung tentang hujan, perenungan, pencarian, kopi, dan kebangkitan. Menemukan buku ini di deretan rak buku Bookopi Kalibata, ibarat dahaga yang terpuaskan. Patut saya ambil sebuah sajak yang memang menjadi judul buku ini: Mata kita tambah redup Tapi jiwa kita menyala Berkobar di malam larut Esok kita tak peduli Kita terkutuk pada pagi Dikutuki para penakut Tapi kita burung rajawali Pengembara malam Tuan bagi kesepian sendiri Mata hati kita terpejam Hati kita berjarak Pemberani kerap sendiri Seperti para penyair, yang tak lagi menulis puisi Tapi dalam hati Terukir bahasa-bahasa Sebagai puisi sunyi Bagi jiwa yang sepi Nasib kita malam ini Bukan nasib kita subuh nanti Selagi sepi memberi arti Kita mau tambah merasuk Dalam puisi- yang ditulis dengan luka jiwa untuk dibaca para pengelana yang jiwanya bebas kembara O para penyair Tergeletak di ranjang Dadanya menyesak Jiwanya berontak Ingin ke luar Menembus dinding Barangkali rembulan Menitip salam dari kejauhan Rindunya yang dulu Cintanya yang lalu Jiwa kanak-kanaknya ambigu Kenangan yang tak henti pergi Pada waktu yang telah jadi abadi Wahai para penyair Sesekali menjauhlah Berhenti dalam rasa ngeri Dalam segelas kopi Barangkali ada kanak-kanak Serupa kau dahulu... Pun membaca sajak di atas, saya merasa adakalanya manusia pernah menjadi pujangga setidaknya sekali dalam hidupnya. Dalam diri saya, sajak-sajak bisa tercipta pada titik nol pada kesepian ataupun pada tingkat kontemplasi, dan pada puncak bahagia yang membuncah. Aneh ....... rasa marah tidak menghasilkan apa-apa..... dia hanya memberi sesat pikir dan "sumbu pendek" yang tidak sarat makna. Cenderung menjerumuskan, dan hanya meluap-luap. Pun akhirnya saya mengerti, sajak-sajak itu adalah kehidupan itu sendiri yang berputar, dengan jiwa kita sebagai tuasnya. Dan jika kau tuliskan ....... itu akan menjadi sajak yang terbaca oleh pengelana. Oleh : Umi Purnamasari Kunjungi juga web blog www.pejalankaki.weebly.com Antonio Jose Bolivar Proano mencopot gigi palsunya, membungkusnya dengan sapu tangan. Sambil menyumpahi bule yang bertanggungjawab atas tragedi ini, menyumpahi pak Walikota, menyumpahi para pendulang emas, menyumpahi semua orang yang telah melacurkan perawan Amazonnya, ia menebas sebatang ranting tebal dengan parangnya. Bertongkatkan ranting itu ia berangkat menuju El Idilio, menuju gubuknya, menuju novel-novelnya yang membicarakan cinta dengan kata-kata yang demikian indah sampai kadang membuatnya lupa akan kebiadaban manusia. Deskripsi di atas, kekesalan Antonio Jose Bolivar setelah bertarung melawan seekor harimau yang anaknya dibunuh oleh para pemburu. Ia bersedia melakukan tugas itu setelah Pak Walikota memaksanya ikut bersama rombongan mencari harimau yang membunuh penduduk El Idilio di tengah hutan Amazon. Ia sebenarnya tak mau ikut, lantaran Pak Walikota berkuasa di daerah itu, dan gubuknya juga bagian dari kekuasaan Pak Walikota, ia terpaksa ikut. Hanya dia yang tahu jejak harimau dan jago memburu. Hutan-hutan Amazon ditebang oleh pendatang, dan hewannya diburu oleh pemburu dan ditambang oleh penambang. Di tengah hutan Amazon itu, masyarakat adat terpaksa merangsek masuk ke dalam hutan menjauh dari sungai. Hewan-hewan juga begitu. Namun, seekor harimau membalas dendam terhadap pembunuh anaknya. Namun bagaimana pertempuran antara harimau dengan Antonio Jose Bolivar, padahal bukan dia yang membunuh harimau itu? Dan mengapa Antonio Jose Bolivar bisa sampai tinggal di El Idilio? Siapa sebenarnya Antonio Jose Bolivar yang “diangkat” menjadi suku shuar hutan Amazon? Pak tua di dalam gubuk di tengah hutan El ildilio. Gubuknya dekat dari sungai. Ia tinggal di dalam gubuk bambu sepuluh meter persegi tempatnya mengatur perabotan yang amat sedikit: ranjang gantung dari goni, krat bir untuk penyangga kompor minyak, dan sebuah meja yang tak nyana tingginya. Gubuk itu ternaungi ata ilalang dan punya satu jendela menghadap sungai. Handuk koyak disampirkan dekat pintu, di sebelah sabun batangan yang ia ganti setahun dua kali. Di dinding yang satu, menghadap ranjang, tergantung sebuah foto yang digarap seniman pegunungan, menggambarkan pasangan muda. Si Pak tua itu, Antonio Jose Bolivar Proano, tinggal di dalam gubuk yang dibangunnya sendiri. Di dalam gubuk itu, ia membaca sebuah kisa dalam buku. Meski hidup di dalam gubuk, pikirannya terbang jauh. Pak tua sedikit tidur: lima jam semalam dan jam istirahat siang. Ia habiskan waktunya untuk membaca novel, merenungkan rahasia cinta, dan membayangkan tempat-tempat di mana kisah-kisah ini berlatar. Sebuah novel yang ia baca dibuka dengan awal bagus: Paul menciumi gadis itu penuh nafsu sementara si pengayuh gondola, kaki tangan perbuatan nekat temannya itu, pura-pura menoleh ke lain arah, dan gondola yang dijajari bantal-bantal empuk itu pun meluncur gemulai sepanjang kanal-kanal venesia. Apa yang dibayangkan Pak tua itu? Buku kecil setebal 133 halaman ini sayang bila anda tidak membacanya. Ia cerita seorang tua yang kesepian, meski membaca terbata-bata mencintai buku. Buku adalah kehidupan baginya, di tengah usianya yang tua di dalam sebuah gubuk reot. Ia bukan hanya tentang Pak Tua membaca buku, juga cerita pak Tua yang pendatang itu karena keluar dari kampungnya karena satu peristiwa memalukan, berjuang menyelamatkan hutan alam Amazon. Membaca kisah cinta di dalam gubuk reot, di tengah hutan, di pinggir sungai. Ia lupa akan kebiadaban manusia? Oleh : Made Ali Tulisan ini bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/08/pak-tua-membaca-kisah-cinta/#more-2423 ada Oktober 2017, Prof Hariadi Kartodihardjo setuju buku terbarunya berjudul “Di Balik Krisis Ekosistem” terbitan LP3ES dilaunching bersamaan dengan buku EoF berjudul “Mata Tajam Eyes On The Forest”. Karena dua buku itu diberi Kata Sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kami merancang agar buku itu langsung di luncurkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada 13 Oktober 2017 kami—Saya, Nursamsu, Riko Kurniawan, Afdhal Mahyudin dan Elviriadi—bertemu Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup. Dalam pertemuan itu hadir jua Prof Hariadi dan Chalid Muhammad (Bang CM). Dalam pertemuan itu, kami dari Riau menyampaikan sikap penolakan atas RTRWP Riau 2017-2037 karena bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi, satu diantaranya luasan lindung gambut Riau hanya dialokasikan 21 ribuan ha dari 2,4 juta hektar yang mustinya menjadi kawasan lindung gambut di Riau. Berkurangnya luasan gambut ini tentu saja menguntungkan korporasi Hutan Tanaman Industri dan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang selama ini merusak gambut dalam dan menebang hutan alam. Usai menerangkan penolakan itu, kami mengundang dan meminta kesediaan waktu untuk meluncurkan dua buku tersebut. Ibu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup bersedia hadir dan mengapresiasi atas launching tersebut pada 23 Oktober 2017. Sebelumnya Bang CM membantu proses jelang launching. Bang CM berperan besar memberikan ide acara. Ide tokoh inspirasi dan pembicara dari kalangan selebriti adalah ide bang CM. Tim EoF juga dibantu mbak Nunung dari MFP 3 dan Kehati. Karena waktu tinggal 10 hari, pontang-panting dan tegang-tegang jadi kerjaan tim EoF—rencana awal peluncuran buku awal November. Untung saja usai peluncuran tidak ada yang terkena penyakit kejang-kejang, hahahhahahaha. Pada 23 Oktober 2017 di depan sekira 350-an undangan, ibu Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka secara resmi ditandai dengan penandatanganan cover buku peluncuran dua buku tersebut. Dalam sambutannya, dia mengapresiasi dua buku itu dan memerintahkan jajaran KLHK untuk membacanya. Dia juga memberikan buku pada tiga tokoh inspirasi yang semala ini berjuang untuk ekologis: Prof Bambang Hero Saharjo (Guru Besar IPB, Ahli karhutla memasukkan banyak korporasi ke pengadilan), Rahdini Ikaningrum (jurnalis TV, waktu di Metro Realitas kerap menyuarakan kejahatan kehutanan di Riau) dan Abdul Manan alias cik Manan (warga Tohor yang berhasil menghadirkan Jokowi tahun 2014 ke Riau untuk hentikan karhutla). Sambutannya dalam buku EoF, Ibu Siti Nurbaya mengatakan pekerjaan pemantauan hutan yang dilakukan koalisi EoF di hutan Sumatera merupakan satu contoh bagaimana masyarakat sipil bisa bergerak dan mengabdikan pekerjaanya demi upaya perlindungan hutan alam. Diantara aktifitas itu, ialah pemantauan terhadap kinerja perusahaan dalam operasi dengan prinsip kelestarian. ”Upaya penemuan adanya operasi industri kayu merupakan tindakan objektif berdasar pada fakta lapangan yang dilaporkan, bukan merupakan judgement dan prejudice,”katanya,”profesionalitas EoF dengan kerja-kerja akurat dan kredibel serta menasional dengan pusat kegiatan di Riau, Jambi dan Kalimantan, diantaranya menjadi salah satu sumber utama KLHK dalam menghimpun berbagai substansi untuk artikulasi kebijakan berkaitan dengan tata kelola hutan, perijinan, penataan ruang, perhutanan sosial dan lain sebagainya. Dalam artikulasi itu, kami percaya akurasi dan kredibilitas kerja, data dan laporan EoF sebagai masukan atau bahan dasar terutama berkaitan dengan urusan Hitan Tanaman Industri.” Bagi saya itu apresiasi khusus untuk pendiri dan mereka yang pernah dan sedang terlibat di EoF: pengurus Jikalahari, Walhi dan WWF dari tahun 2014 hingga kini. Dan para investigator pemberani yang di lapangan maupun yang membuat laporan. Bahkan bagi saya, dia apresiasi khusus juga untuk kepala rumah tangga di EoF: para pembuat kopi, teh, dan membeli gorengan serta sebungkus nasi di kala tim EoF kehausan dan kelapangan (hahahhahaha). Bagi saya, ikut terlibat dalam peluncuran buku dan kerja-kerja EoF sejak 2011 satu kebanggaan, kehormatan dan sepotong sejarah dalam perjalanan hidup saya. Satu postulat yang kerap saya ingat dalam hukum pidana—ini kerap dilontarkan Prof Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana UGM: In Criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores. Maknanya, dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Ya, bukti harus lebih terang dari cahaya. Saya kita itu yang dilakukan oleh EoF. Untuk membuktikan kejahatan terorganisir yang dilakukan aktor korporasi dan non koporasi (cukong, pemodal) EoF juga melakukan serangkaian kegiatan terorganisir. Investigasi dirancang dengan teliti. Data awal jadi panduan: (1) tim investigator di lapangan mulai bekerja dibekali dengan pengetahuan tekhnis investigasi: observasi, interview, tracking, surveilance hingga penyamaran. Tekhnik-tekhnik itu juga dipakai penegak hukum. (2) tim menuju lapanga: di tengah hutan yang jarak tempuhnya sangat jauh dari ibu kota, hingga mengarungi sungai, laut dan membelah ke dalam hutan. Setidaknya sepuluh hari tim berada di tengah hutan untuk menemukan: apa, siapa, bagaimana, mengapa dan kenapa. (3) Tim lainya, melacak dan menelusuri dokumen di pusat-pusat kekuasaan. Untuk mendapatkan dokumen bukan perkara mudah, bekal tekhnik investigasi saja tidak cukup, butuh seni tersendiri. (4) Tim kembali berkumpul. Semua hasil investigasi dikumpulkan. Dibahas. Semua harus diteliti dan dianalisi. Hasil investigasi disebar ke publik melalui web http://www.eyesontheforest.or.id, berbahasa inggris dan Indonesia. Ini juga untuk mengingatkan pembeli di Eropa dan Cina agar tidak membeli produk mengandung kejahatan ekologis. Kadang juga, hasil investigasi langsung diserahkan ke pihak-pihak terkait untuk mendapat respon. Melawan kejahatan terorganisir, tidak mudah, juga tidak sulit. EoF membentuk “manajemen investigasi terorganisir” yang dikembangkan oleh Jikalahari, Walhi Riau dan WWF Riau. Tujuannya untuk menemukan alat bukti dan barang bukti. EoF juga memakai alat bukti konvensional—di dalam KUHAP—dan modern di dalam UU khusus Lingkungan Hidup dan lainnya. Juga mengembangkan model pembuktian lainnya. Selebihnya, bukan hanya tim yang solid dan kreatif, cara kerja mengedepankan pembuktian, juga didukung peralatan yang modern dan jejaring yang tersebar di mana-mana di dunia ini. Saya kerap berdiskusi dengan tim investigator yang di lapangan maupun tim yang memburu bukti-bukti lainnya. Intinya, mereka selalu bilang, investigasi tak punya standar, meski standar investigasi ada tapi belum tentu dapat dipraktekkan di lapangan. Investigasi adalah seni. Misal, untuk masuk ke konsesi perusahaan yang dijaga ketat oleh tim pengaman, tak semua investigator bisa masuk ke dalam perusahaan. Untuk menelusuri kayu-kayu dan sawit-sawit illegal dari kawasan hutan butuh kesabaran mengikuti truk-truk hingga masuk ke perusahaan. Untuk mendapatkan dokumen resmi pemerintah tentu tak semudah memasukkan surat, butuh cara tersendiri mendapatkannya. Cerita mereka penuh jenaka, ketegangan dan kekonyolan. Selain seni, mereka menyebut investigator harus punya pengetahuan dan koneksi di lapangan, selain peralatan yang canggih, dan paling penting keberanian. Buku setebal 377 halaman full warna berat hampir dua kilo ini berisi kumpulan 38 hasil investigasi lapangan terkait isu penebangan hutan alam, kebakaran hutan, tambang dalam kawasan hutan, kebun sawit dalam kawasan hutan, sawit illegal masuk dalam pabrik perusahaan hingga tipu-tipu komitmen perusahaan terkait kelestarian. EoF menemukan korpoasi dan cukong telah melakukan tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup, perkebunan dan pertambangan dalam kawasan hutan. EoF sudah menemukan modus dan pola kejahatan dari lapangan dan menemukan predicate offencenya. Namun, apakah temuan itu mengandung pencucian uang? Menurut Yenti Garnasih ahli pencucian uang, tindak pidana pencucian uang dimaknai sebagai the Proceed of Crime Offence atau tindak pidana hasil kejahatan. Pengertian ini mengandung makna bahwa dalam sebuah tindak pidana pencucian uang selalu ada dua unsur penting, yaitu predicate offence/kejahatan utama dan follow up crime/kejahatan lanjutan. EoF perlu mengejar kejahatan lanjutan kejahatan korporasi yaitu pencucian uangnya. Ia penting, menurut Yunus Husein mantan Ketua PPATK, hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus tititk terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit dilakukan. Melawan korporasi jangan tanggung-tanggung, bila hanya kejahatan asalnya diproses oleh penegak hukum, tanpa menelusuri “life blood of the crime”, korporasi akan terus melakukan kejahatan. Oleh karenanya, EoF musti juga mengembangkan investigasi “follow the money” musti jauh lebih sulit dibanding investigasi lapangan. Tapi perlu dicoba: In Criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores. Bagaimana caranya? Investigasi adalah seni. Oleh : Made Ali Tulisan ini juga dapat dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/07/seni-mata-tajam-eof/#more-2395 Ide ecocracy, seolah “membangunkan” Mas Achmad Santosa—lebih dari 30 tahun mengabdi sebagai aktifis, dosen dan peneliti lingkungan hidup—untuk memanfaatkan ide itu.”Belum terpikirkan oleh saya untuk mengembangkan gagasan ini dan pentingnya memperjuangkan green constitution,” kata Mas Ota—sapaan akrab—dalam Kata Sambutan buku Green Constitution karya Prof Jimly Asshiddiqie, ahli tata negara Indonesia. “Dalam wacana tingkat global pun, komunitas hukum lingkungan masih sibuk dengan menormakan pembangunan berkelanjutan ke dalam peraturan perundang-undangan (legislasi),” kata mas Ota,”krisisi daya dukung ekosistem dan lingkungan hidup yang dihadapi Indonesia sangat nyata, konstitusionalisasi norma hukum lingkungan menjadi sangat diperlukan seiring dengan ikhtiar kita memperkuat demokrasi dan negara hukum, serta tata pemerintahan yang baik.” Saat ini konsep ketatanegaraan constitutional democracy (demokrasi konstitusi) dan democratische rechstaat (negara hukum yang dmokrasi/nomokrasi) sama pentingnya dengan ecocracy. Ecocracy adalah kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Oleh karenanya, perlu mengembangkan gagasan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan atau green constitution. “Gagasan ini dapat menjadi salah satu upaya yang efektif mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ke dalam arus politik pembangunan nasional,” kata Mas Ota. Menurut Prof Jimly konsep green constitution dan ecocracy di belahan dunia perdebatan dan diskusi mengenai dua tema itu menjadi isu sentral di Portugal, Spanyol, Polandia, Perancis dan Ekuador. Dua alasan penting dua tema itu untuk dipahami di Indonesia: Pertama, kondisi lingkungan hidup amat memprihatinkan. Sudah saatnya kita meletakkan dan memperkuat kembali dasar-dasar konseptual mengenai persoalan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dengan berwawasan lingkungan. Kedua, UUD 45 sebagai the supreme laws of the land pada disarray telah memuat gagasan dakar mengenai kedaulatan lingkungan dan ekokrasi yang dapat disetarakan pula nilai-nilainya dengan demokrasi economy dan nomokrasi. Norma-norma hukum lingkungan hidup yang ada di dalamnya, secara tegas telah mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan dan kebijakan di pelbagai sektor pembangunan untuk patuh dan tunduk kepadanya. Sayangnya, hingga kini belum banyak yang mampu menerjemahkan maksud dan nilai-nilai lingkungan hidup yang terkandung di dalam UUD 45. Wacana konstitusi hijau di indonesia merupakan fenomena baru di dunia hukum. “Bahkan para sarjana hukum tata negara sendiri rata-rata belum mendengar istilah green constituon,” kata Prof Jimly. “Sarjana hukum kita kurang up to date perkembangan hukum di dunia. Sarjana hukum kita kebanyakan terpaku pada cara berpikir yang sangat positivist yang menyebabkan mereka hanya berkutat dengan kata-kata yang terdapat dalam hukum positif yang berlaku kini dan di sini.” Istilah green constituon, sebagai anekdot ketika pimpinan dan anggota Mahkamah Konstitusi berkunjung ke pimpinan DPD RI pada Agustus 2008. Hakim Konstitusi Prof Ahmad Sodiki mengutarakan pentingnya mengadopsi gagasan “green constitution” ke dalam gagasan kemungkinan perubahan kelima UUD 45. Para peserta banyak terkejut karena belum pernah mendengar istilah green constitution, meski semua menyetujui ide itu. “Bahkan ketua MK Prof Mahfud MD sambil tertawa menyimpulkan bahwa pertemuan itu sangat produktif sampai-sampai muncul istilah green constitution,” kata Prof Jimly. Dalam buku setebal 208 halaman yang terbit pada 2009 ini, Prof Jimly membandingkan perjalanan konstitusi hijau di negara Portugal, Spanyol, Polandia dan Ekuador, lalu melihat prinsip kedaulatan UUD 45. Prof Jimly menceritakan awal mula munculnya konsepsi kedaulatan yang dikenal dalam hukum tata negara di dunia dan perjalanan hingga masuk ke Indonesia dan melahirkan UUD 45. Ajaran-ajaran Kedaulatan awalnya pertama kali muncul konsesi Kedaulatan Tuhan, Tuhanlah yang merupakan sumber kekuasaan sebenarnya. Semua manusia harus tunduk kepada Tuhan. Muncullah istilah ajaran teokrasi. Lalu muncul ajaran kedaulatan Raja, Hukum, Rakyat dan Negara. Lalu, perkembangan dunia terkait krisis lingkungan hidup, ide kedaulatan lingkungan hidup penting menurut Prof Jimly. “Jika konsepsi kedaulatan Tuhan dapat dikaitkan dengan doktrin Teokrasi, kedaulatan rakyat berkaitan dengan demokrasi, kedaulatan hukum berkaitan dengan nomokrasi, kedaulatan raja terkait dengan monarki, maka konsep kedaulatan lingkungan dapat kita kaitkan dengan istilah ekokrasi atau kekuasaan ekologi.” Lebih jauh, Prof Jimly menjelaskan, gagasan ekokrasi dan kedaulatan lingkungan dapat dikembangkan dalam konteks kekuasaan yang dikonstruksikan dalam mekanisme hubungan antara Tuham, Alam dan Manusia. Di zaman modern, relasi kekuasaan hanya dipandang sebagai persoalan manusia atau antroposentrisme yang menempatkan kehidupan terpusat pada manusia. Sikap ini melahirkan kehancuran dalam diri alam semesta. “Sekarang barulah orang sadar, lingkungan hidup perlu mendapat perhatian, dilindungi, dan dijaga kelestariannya untuk kelangsungan hidup umat manusia. Dalam hubungannya dengan sistem kekuasaan negara, alam semesta harus dipandang pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan.” Dalam konstitusi Indonesia, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, dan kedaulatan lingkungan harus seimbang baik dalam segi konsep maupun operasionalnya di dalam kehidupan bernegara. Intinya, Ekokrasi dan kedaulatan lingkungan, pada alam diakui adanya kekuasaan dan hak asasinya sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun (inalienable rights). Alam diakui memiliki kedaulatannya sendiri. Di samping rakyat sebagai manusia yang dianggap berdaulat, alam juga berdaulat. Inilah yang dimaksud dengan prinsip kedaulatan lingkungan yang juga terkandung dalam UUD 45. “Kita dapat mengatakan bahwa UUD 45 juga merupakan konstitusi hijau (green constitution).” Meski UUD 45 masih jauh dari hijaunya warna konstitusi Portugal, Spanyol, Polandia, Perancis dan Ekuador. Konstitusi hijau Indonesia kian penting diterapkan karena perubahan iklim yang terjadi tidak hanya berakibat bagi masyarakat manusia di suatu negara, melainkan seluruh dunia. Nuansa hijau dalam UUD 45 paska amandemen terlihat dalam pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4). “Setia orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” dan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Prof Jimly juga memperingatkan pentingnya dalam memahami roh UUD 45 tidak boleh terpaku pada bunyi teksnya, dan juga tidak boleh hanya berhenti pada pengertian-pengertian yang dipikirkan oleh the framerssebagai the origin intent. Spirit undang-undang harus berkembang (evolving constitution),” bahkan UUD 45 juga dapat berubah melalui mekanisme yang disebut verfassungs wandelung, berubah melalui praktek-praktek kenegaraan di kemudian hari, meskipun tidak secara resmi diubah menurut prosedur formil yang diatur sendiri oleh konstitusi yaitu, verfassung anderung.” Menarik membaha ide soal Ekokrasi dalam setiap pembuatan undang-undang, meski sulit ketika masuk dalam legislasi yang diisi oleh anggota parlemen dari ragam partai, yang orang-orangnya terlibat dalam perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Belum lagi, birokrasi tua warisan orde baru yang terkoneksi dengan antek-antek Soeharto sering pro pada pengusaha perusak dan pencemar lingkungan hidup dengan membuat aturan tekhnis yang justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kehidupan sosial masyarakat di kampung-kampung. Ekokrasi menurut saya sudah hidup di tengah-tengah masyarakat hukum adat dan masyarakt di kampung-kampung yang punya kearifan lokal. Ide Ekokrasi sebaiknya juga bermula dan berakhir dari kampung-kampung yang hutan tanah dan alam semestanya dirusak oleh korporasi yang difasilitasi oleh rezim berkuasa. Di Kota yang serba pragmatis, adakah yang memikirkan Ekokrasi? Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/06/konstitusi-hijau/#more-2383 Buku Para Pelacurku Yang Sendu karya Gabriel Garcia Marquez mengingatkan tentang, hidup ada batasnya. “Usia bukanlah masalah berapa umurmu, tapi bagaimana kau merasakan ketuaan itu,” kata Profesor Camacho Y Cano, pemeran utama dalam buku itu. “Tak peduli apapun yang kau lakukan, tahun ini atau seratus tahun lagi, kau tetap akan mati selama-lamanya.” Namun, bagaimana kematian datang? Di usia berapa? Yang kusukan dari Gabriel Garcia Marquez, seperti biasanya: bercerita kehidupan sosial yang muram di tengah kekuasaan, dengan caranya sendiri yang kadang alurnya sulit ditebak. Ia mengajak kita untuk berpikir dan merenung tentang kehidupan sosial, kali ini di Kolombia: kemiskinan melahirkan pelacuran. Kekuasaan juga melahirkan pelacuran. Sejarah kolonialisme Spanyol di Amerika Latin, melahirkan kemiskinan hingga tubuh pun jadi komoditi. Petualangan profesor di tanah kelahirannya di Kolombia bermula dan berakhir karena sebuah usia: "Di usia ke sembilan puluh, ia hendak menghadiahi dirinya dengan satu malam bersama seorang perawan dewasa. Setelah dua puluh tahun menghilang, ia kembali menelepon Rosa Cabarcas, pemilik rumah terlarang yang menyediakan para pelacur." Dari usia yang ke sembilan puluh tahun itu, ia membawa kita pada kehidupan profesor: tinggal di sebuah rumah bergaya kolonial di tepi taman San Nicolas, tempat ia menghabiskan sisa usia tanpa istri maupun kekayaan. Rumah itu warisan dari kedua orang tuanya: Florina de Dios Gargamantos. Ia anak manja dengan ibu yang memiliki banyak bakat yang meninggal karena sakit paru-paru di usia 50 tahun, dan seorang ayah formalitas yang tidak pernah mengakui kesalahannya dan meninggal di tempat tidurnya sebagai duda. Ia editor telegram di El Diario de La Paz untuk sastra, media mingguan. Gagal menikah dengan Ximena Ortiz meninggalkan Kolombia dan tidak kembali hingga 20 tahun kemudian, telah menikah dan punya tujuh orang anak. Ia penyuka musik klasik: Don Pedro Vargas, penyanyi tenor Amerika, menyanyikan bolero karya Miguel Matamoros, First Sonata for Violin and Piano karya Brahm, Allegretto Poco Mossosuites for uncompanied cello karya Johan Sebastian Bach, prelude nomor 24 karya chopin yang dimainkan oleh stefan askenase, sonata for violin and piano karya cesar franck, sonata karya schumann, rhapsody for clarinet and orchestra karya wagner, rhapsody for saxhophone karya debusy dan string quintet karya bruckner. Ia juga sering menonton konser dan film. Lagu, film dan konser salah satu resensinya sebagai kolumnis sastra. Kisah pertamanya bersinggungan dengan pelacur bermula di usia 12 tahun. Ia pertama kali ditiduri seorang pelacur terkenal bernama Castorina di sebuah hotel di Calle de Los Notarios. Sejak saat itu, di tengah rutinitas sebagai penulis kolom sastra, ia dengan mulai petualangan dengan pelacur sendu. “Belum pernah aku naik ke ranjang dengan seseorang perempuan yang tidak kubayar, dan beberapa perempuan yang tidak bekerja sebagai pramuria telah kubujuk, entah dengan alasan entah dengan paksaan, untuk menerima uang walaupun kemudian hanya dibuang ke tempat sampah,” katanya. “Ketika usiaku dua puluh tahun, aku mulai menyimpan catatan berisi nama, usia, tempat, dan catatan singkat tentang keadaan dan gaya bercintaku. Pada usiaku yang ke lima puluh, ada 514 perempuan yang setidaknya pernah bercinta denganku satu kali. Aku berhenti mengisi daftar itu ketika ragaku tidak memungkinkan lagi untuk bercinta dengan begitu banyak perempuan dan aku mencatatnya tanpa kertas,” katanya pada sebuah ingatan. Sejak saat itu ia mulai mengukur hidup bukan dengan tahun melainkan dengan dasawarsa,”usia lima puluh tahunku sangat menentukan karena aku menjadi sadar bahwa tiap orang ternyata lebih muda dariku. Usia enam puluh tahunku adalah yang paling menegangkan lantaran kecurigaan bahwa aku tidak lagi punya waktu untuk melakukan kesalahan. Usia tujuh puluh tahunku menakutkan lantaran kemungkinan dasawarsa itu adalah yang terakhir. “ “Tetap saja, ketika aku terjaga dan masih hidup pada pagi pertama usia sembilan puluh tahunku di ranjang Delgadina yang bahagia, aku tercengang oleh pikiran masuk akal bahwa hidup bukanlah sesuatu yang melintas seperti Heraklitus yang selalu berubah, melainkan sebuah kesempatan unik untuk terus memutar panggangan dan terus memanggang sisi lainnnya hingga sembilan puluh tahun lagi,” ia mengingat sisa ingatannya di usia 91 tahun. “Di bawah siraman matahari di sepanjang jalan, mulai kurasakan bebas usiaku yang kesembilan puluh, dan menghitung menit demi menit malam-malam yang tersisa sebelum aku mati,” ia meratapi saat kado ulang tahunnya di 91 tahun dengan seorang gadis belia yang ia beri nama Delgadina. Ia akhirnya menemukan cinta sejati dengan Delgadina di usia hingga satu abad. “Akhirnya, itulah kehidupan yang nyata, dengan hatiku yang tenteram dan dikutuk untuk mati karena cinta yang bahagia pada hari yang gembira, kapanpun, setelah hari ulang tahunku yang keseratus.” Usia, adalah awal dan akhir bagi si profesor, yang hidup sendirian tanpa anjing, burung dan hidup dari tulisan bersama seorang pembantu Damiana, justru menemukan cinta sejati di usia yang dia sendiri tidak tahu kapan akan mati. Mengapa Marquez, mengakhiri kehidupan Profesor dengan kebahagiaan? Barangkali, karena segala sesuatu akan berlalu pada saatnya, kita butuh kebahagiaan untuk lepas dari rutinitas sebab usia adalah batas awal dan akhir sebuah perjalanan kehidupan. Novel Marquez bikini tentang seks, tapi tentang kehidupan di usia tua menemukan cinta sejati. Aku ingat sepotong sajak, “Setelah hujan, panas akan datang kembali, setiap saat, setiap kali.” Begitulah kematian, juga kebahagiaan*** Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/05/para-pelacurku-yang-sendu/#more-2374 Jelang lepas landas menuju Jakarta dari Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim pada Oktober 2017, membuka-buka halaman koran Tempo, saya terhenti pada sepotong kalimat dari Zulkifli Hasan. “Sila pertama sekarang sudah diganti menjadi keuangan yang mahakuasa,” kata Zulkifli Hasan, Ketua Majelis Permusyawwaratan Rakyat di Makassar kemarin menegaskan bahwa sistem atau undang-undang pemilihan kepala daerah segera dibenahi agar sila pertama pancasila tidak berubah. (Koran Tempo edisi Rabu 11 Oktober 2017). Berkali-kali saya baca potongan kalimat Zulkifli Hasan “keuangan yang maha kuasa”. Saya mengulangi dalam hati: “keuangan yang maha kuasa”, “keuangan yang maha kuasa”, “keuangan yang maha kuasa”. Saya teringat buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara karya Yoshihara Kunio Guru Besar ilmu Ekonomi Universitas Kyoto Jepang. Buku yang terbit pertama kali 29 tahun lalu itu, dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1990 oleh LP3ES, Yoshihara Kunio menyebut setelah melakukan penelitian sejak 1970 menyimpulkan tipe kapitalisme ini sangat berbeda dari kapitalisme yang timbul di Barat dan Jepang, di mana kapitalisme telah mempelopori pembangunan ekonomi, paling tidak sejak revolusi industri. Kendati adanya kemajuan industri, peranannya jauh dari dinamis.”Agaknya, kapitalisme yang muncul di Asia Tenggara merupakan jenis baru: ersazt capitalism.” Kapitalisme Asia Tenggara disebut semu karena beberapa alasan. Bagi kaum fundamentalis Islam dan kaum nasionalis yang chauvinis, ia disebut semua karena ia didominasi oleh kaum kapitalis cina. Meskipun hal ini tidak begitu tepat di bawah berbagai kebijakan pemerintah yang mendorong kewirausahaan bumiputra, namun para kapitalis Cina masih tetap memegang kendali yang sesungguhnya atas kapitalisme asia tenggara (lebih tepat porsi non asingnya). Bagi para ekonom laissez-faire, kapitalisme asia tenggara disebut semu karena ia didominasi oleh para pemburu-rente (rent seekers). Sebenarnya, terdapat jenis-jenis kapitalis yang janggal seperti kapitalis konco (crony capitalist) dan kapitalis birokrat. Di samping itu, ada pemimpin-pemimpin politik, anak-anak dan sanak keluarga mereka, dan keluarga-kraton terlibat dalam bisnis. Apa yang mereka buru bukan hanya proteksi terhadap kompetisi asing, tetapi juga konsesi, lisensi, hak monopoli, dan subsidi pemerintah (biasanya berupa pinjaman berbunga rendah dari lembaga-lembaga keuangan pemerintah). Akibatnya, telah tumbuh subur segala macam penyelewengan. Buku setebal 367 halaman ini membahas masalah para kapitalis yang telah menciptakan kapitalisme semu di asia tenggara. Minat Yoshiara Kunio berawal pada 1970 saat ia mengunjungi Filipina. Ia mengumpulkan data mengenai ini. Lalu, ia ke Malaysia, Thailand, Singapura, lalu berada di LIPI selama tiga bulan di Indonesia. Ia melakukan riset dan mengumpulkan data dan informasi terkait kapitalisme semu. Namun, ia jua juga menemui rintangan karena langkanya infromasi tercetak, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang, di mana beribu-ribu bahan mengenai sejarah perusahaan dan biografi serta banyak jurnal dan surat kabar bisnis dapat diperoleh. Yang tersedia di Asia Tenggara seringkali dangkal dan tidak selalu dapat dipercaya. “Usaha untuk menutupi kekurangan ini melalui wawancara kerapkali gagal karena para usahawan terkemuka tak dapat dihubungi,” kata Yoshihara Kunio,” Hal ini berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh seorang Antropolog Sosial yang ingin mewawancarai para petani di sebuah desa (para petani selalu mempunyai banyak waktu bagi siapa saja yang ingin mewawancarainya),”katanya,”kalaupun para usahawan bersedia diwawancarai, mereka boleh jadi tidak selalu menceritakan hal yang sebenarnya, karena dalam perjalanan mereka mencapai sukses, secara sengaja atau tidak, mereka mungkin telah menempuh praktek-praktek yang diragukan kejujuranya.” Ersatz berasal dari bahasa Jerman yang berarti “subsitusi” atau “pengganti”. Dalam bahasa Inggris yakni “pengganti yang lebih inferior”, dengan demikian, menurut Arief Budiman dalam pengantar, ersatz berarti bukan kapitalisme yang tulen, kapitalisme subsitusi yang lebih inferior. Menurut Arief Budiman, Yoshihara secara singkat mengatakan kapitalisme semu asia tenggara karena dua hal: Pertama, di Asia Tenggara campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme tidak dinamis. Ini juga yang menimbulkan tumbuhnya pencari rente di kalangan birokrat pemerintah, sehingga wiraswastawan sesungguhnya tidak berkembang. Juga menimbulkan kekuatan ekonomi pengusaha-pengusaha keturunan Cina, yang melalui koneksinya dengan para birokrat negara, berhasil memperoleh fasilitas-fasilitas khusus bagi usahanya. Yoshihara sendiri tidak secara a priori menentang campur tangan pemerintah. Tapi, campur tangan pemerintah yang terjadi di asia tenggara sudah terlalu berlebihan, sehingga mematikan dinamika sistem kapitalisme sendiri. Kedua, kapitalisme di asia tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang memadai. Akibatnya tidak terjadi industrialisasi yang mandiri. Padahal, menurut Yoshihara, industrialisasi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk sebuah pembangunan ekonomi yang mandiri. Dia menyatakan, kekuatan ekonomi Jepang sekarang bukan terletak pada keahliannya di bidang perbankan, atau usaha real estate, atau usaha jasa lainnya (semua ini bisa dikerjakan secara sama baiknya oleh pengusaha-pengusaha asia), tapi pada penguasaan teknologinya yang tinggi. Kapitalisme di asia tenggara kebanyakan bergerak di bidang jasa. Inggris adalah negara pertama yang mengembangkan diri berdasarkan prinsip kapitalisme liberal yang diperjuangkan di dalam dan luar negeri. Inggris membangun pabrik tekstik dan pabrik mesin tekstil, dengan modal yang dihimpun dari perorangan, khususnya bangsawan atau para petani pemilik tanah kaya, tanpa bantuan lembaga perbankan dan pemerintah. Campur tangan pemerintah ketika itu hanya akan mengacaukan siapa saja apa yang sudah berjalan dengan baik, paling sedikit bagi kaum bangsawan. Sistem kapitalisme liberal adalah sistem yang memang sangat cocok dalam kondisi dengan swasta dan kewiraswastaan sebagai motornya. Di dunia internasional, Inggris adalah negara pertama yang melaksanakan revolusi industri. Tidak heran kalau Inggris menjadi pembela sistem perdangan bebas internasional, karena sistem ini menguntungkan bagi Inggris. Lalu, Jerman dan Perancis generasi kedua yang melakukan industrialisasi. Yang sama antara Kapitalisme dan Kapitaisme semu di asia tenggara, menurut Arief Budiman, yang sama cumalah bentuk-bentuk dasarnya, yakni bahwa dia didasarkan pada pemilikan pribadi alat-alat produksi, sistem pasar yang dipakai sebagai dasar pertukaran barang dan jasa, serta tenaga kerja menjadi komoditi yang diperjual belikan di pasar. “Mereka yang disebut kapitalis di Barat abad ke-18 atau Jepang, pada pokoknya merupakan “spesies” yang sama dengan mereka yang penulis sebut sebagai kapitalis di asia tenggara,” kata Yoshihara,”mereka menguasai sejumlah besar modal, menggenggam kekuasaan ekonomi, dan dapat bertindak sebagai pelopor modernisasi ekonomi.” Yoshihara membentang dalam bukunya sejarah awal masuknya kapitalisme di Asia Tenggara. Saya fokus pada Kapitalisme semu di Indonesia. Di Indonesa ia dimulai sejak masukanya VOC dan EEC seiring masuknya penjajahan. Pengusaha Belanda dan Inggris (atau modal Barat lainnya) menguasai bisnis melalui perusahaan-perusahaan perkebunan, peleburan timah, perusahaan pengerukan timah, bank, perusahaan dagang, Namun, perang pasifik mengubah dominasi kapitalisme Barat di Indonesia. Indonesia selain menasionalisasi perusahaan Belanda juga membangun perusahaan negara, Jepang mulai melakukan peran di Indonesia tahun 1960-an. Dengan perekonomian hancur di era Soekarno, pemerintahan orde baru tak mempunyai pilihan kecuali menawarkan insentif yang royal kepada investor asing. “Walaupun kapitalisme di asia tenggara diciptakan oleh modal Barat dan didominasi olehnya selama sekitar satu abad, tetapi situasi ini telah berubah secara dramatis dalam beberapa dasawarsa yang lalu,” kata Yoshihara sambil menunjukkan pada kita perkembangan kapitalis Barat, Cina dan Pribumi. Kapitalis Semu di Indonesia, menampak wujud seperti yang disebut Yoshihara pemburu rente dan spekulator. Ia membikin senarainya: Para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente (rent seekers) karena pada pokoknya mereka mencari peluang-peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya. “Rente” di sini didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati” pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima kepada pemerintah atau secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan (kalau ia tidak membayar sama sekali, maka seluruh nilai pasar adalah rente, atau lebih tepatnya, rente ekonomi). Asia tenggara masa kini mempunyai banyak pemburu rente, tak terkecuali di Indonesia. Yoshiara, membuat kategori-kategori kapitalis pemburu rente yang lain diciptakan berdasarkan cara mereka mengembangkan hubungannya dengan pemerintah: Kapitalis Kraton. Di Indonesia ada keluarga-kelurga keraton, para sultan dan keluarga mereka. Keterlibatan keraton dalam bisnis paling tidak signifikan di Indonesia, karena hanya sedikit sultan yang masih ada, di antara mereka hanya Sultan Yogyakarta, yang memiliki hampir separuh saham Bank Dagang Nasional Indonesia, salah satu bank dagang terbesar di Indonesia, dan memiliki atau memegang saham sejumlah perusahaan yang lain (seperti PT Duta Merlin, sebuah kompleks pertokoan di Jakarta). Keluarga Presiden. Presiden Soeharto melakukan investasi di bisnis pada perusahaan-perusahaan milik liem Sioe Liong, meski sulit dibuktikan, tapi keluarganya terlibat luas dalam bisnis: Probosutedjo, Sudwikatmono, Bernard Ibnu Hardjono, tiga putra presiden juga terjun dalam bisnis. Kapitalis Konco. Ia merupakan usahawan sektor swasta yang memperoleh keuntungan sangat besar dari hubungan eratnya dengan kepala negara. Lie Sioe Liong dan Bob Hasan punya hubungan erat dengan Presiden Soeharto. Hubungan Liem dengan Soeharto bermula sejak akhir 1950an ketika Soeharto memimpin Divisi Diponegoro, Jawa Tengah. Liem memperoleh kepercayaan Soeharto melalui hubungan bisnis, dan sesudah Soeharto berkuasa pada 1965, Liem memperoleh sejumlah monopoli dan menikmati hak-hak istimewa pemerintah. Liem terus membangun kerajaan bisnis terbesar di Indonesia dengan memiliki saham pada perbankan, bajaj, real estate, semen, kendaraan bermotor dan perdagangan. Bob Hasan juga teman baik Soeharto waktu di Divisi Diponegoro. Bob Hasan memperoleh sejumlah konsesi gelondongan kayu dan telah membangun sebuah kelompok bisnis kayu gelondongan dan pengolahan kayu. Ia terjun di bisnis pelayaran, manufaktur, perdagangan dan konstruksi. Kapitalis Birokrat. Pertama, mereka yang memenuhi syarat sebagai kapitalis birokrat pernah memegang atau masih memegang jabatan birokrat yang mereka gunakan untuk akumulasi modal awal mereka. Kedua, kalau mereka tidak lagi memegang jabatan birokratis, mereka mungkin masih mempertahankan hubungan yang erat dengan pemerintah dan memanfaatkannya untuk bisnis mereka. Ketiga, mereka mempunyai bisnis sendiri dan menjalankannya seperti yang dilakukan oleh kapitalis yang lain. Kondisi terakhir mengesampingkan banyak purnawirawan perwira militer di Indonesia dari grup kapitalis birokrat. Sesudah pensiun, untuk menambah uang pensiun mereka, para perwira tinggi militer (jenderal dan lain-lain) sering menjalin hubungan dengan orang Cina dan memperoleh pendapatan yang menarik dengan mendapatkan fasilitas dan pemerintah bagi para mitra Cina mereka. Mereka lebih bertindak sebagai Rentier: mereka dibutuhkan dab dibayar untuk pengaruh mereka terhadap pemerintah. Nama-nama kapitasli birokrat dari pensiunan tentara: Ibnu Sutowo, Soemitro, Andi Sose, dan lainnya. Politisi yang beralih menjadi kapitalis. Tak banyak politisi beralih menjadi kapitalis karena kekuasaan dibatasi. Di Indonesia tentara memainkan peranan sentral dalam pemerintahan, paling tidak dalam periode orde baru. Kapitalis yang beralih menjadi politisi. Di Indonesia, beberapa pengusaha pribumi memasuki dunia politik atau mengabdi pemerintah dalam suatu jabatan yang penting semasa pemerintahan Soekarno, walaupun jumlah mereka lebih sedikit dan kurang penting dibanding dengan tipe pemburu rente yang lain. Kapitalis lain yang berkoneksi dengan pemerintah. Ia mencakup semua kapitalis lain yang mempunyai koneksi dengan pemerintah dan memanfaatkannya untuk bisnis. Pemerintah dapat memberikan suatu hak monopoli, konsesi gelondongan atau pertambangan, atau lisensi yang banyak diincar, memberikan proteksi atas kompetisi asing, bantuan keuangan, dan suatu kontrak yang besar dari pemerintah, mengangkat leveransir khusus, memberikan pertimbangan khusus pada permohonan reklasifikasi hak guna tanah, dan menjual harta pemerintah dengan harga konsesi. Mereka yang mempunyai koneksi dengan para pejabat tinggi pemerintah, siap memanfaatkan hak-hak istimewa ini, karena memperoleh banyak keleluasaan dalam pengambilan keputusan. Di Bab Akhir bukunya, Yoshihara menambahkan lampiran daftar Investor-investor asing, Kapitalis Besar Cina dan Kapitalis Besar Pribumi di Asia Tenggara, khusus di Indonesia nama-nama mereka masih ada yang masih hidup hingga kini, dan ada yang digantikan oleh penerusnya. Lalu apa kaitan, Zulkifli Hasan dengan dalam kategori-kategori kapitalis di atas? Ceritanya begini, kurang dari sebulan menjadi Menteri Kehutanan rezim Presiden SBY, ia menerbitkan SK 673/Menhut-II/2014 tentang kawasan hutan propinsi Riau, yang isinya seluas 1,6 juta kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Saat menyerahkan SK itu bertepatan dengan ulang tahun Propinsi Riau. Ia mengatakan di depan Annas Mamun, Gubernu Riau, bila ada usulan perubahan lagi silakan diajukan ke Kementerian Kehutanan. Annas bergegas membuat perubahan usulan untuk mengeluarkan salah satunya kebun sawit milik Gulat (Dosen Pertanian Unri) dan Edison Marudut (polisi Demokrat Riau) serta perkebunan sawit perusahaan milik Darmadi (Duta Palma Grup). Semua kebun sawit itu berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK 673 termasuk TGHK Riau tahun 1986. Annas Mamun di OTT oleh KPK di Jakarta. Secepat kilat, dua minggu sebelum berakhir, Zulkifli Hasan menerbitkan SK Nomor SK.878/Menhut-II/2014, yang isinya hampir sama dengan SK 673. Hasll temuan Pansus DPRD Riau 2015 dan invesitasi Eyes On The Forest menemukan 104 perusahaan sawit diputihkan (otomatis legal) dalam SK 673/878. Artinya 104 perusahaan itu yang selama ini illegal karena berada dalam kawasan hutan, menjadi legal setelah dikeluarkan dari kawasan hutan berdasarkan SK 673/878 yang diteken Zulkifli Hasan. Ke 104 perusahaan itu terafiliasi dengan Wilmar, First Resources, Astra, Sinarmas Grup, Salim Grup, Provident Agro dan taipan sawit lainnya. Korporasi-korpoarsi sawit itu hidup sejak era Soeharto hingga kini. SK 673/878 juga diprotes Pemerintah Propinsi Riau, tahun 2015 mereka mengajukan ke Ombudsman. Ombudsman pada 2016 menyatakan Zulkifli Hasan telah melakukan mal administrasi PP tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Nah, masuknya Gubernur Riau Annas Mamun karena Zulkifli Hasan. Korporasi sawit berjumlah 104 perusahaan menjadi legal karena Zulkifli Hasan. Mengapa Zulkifli Hasan melegalkan 104 perusahaan itu jelang masa jabatan berakhir? Ujung ceritanya, kita tahu Zulkifli Hasan mencalonkan diri menjadi Anggota DPR RI dari Lampung. Zulkifli Hasan, kini menjadi ketua MPR dan ketua PAN. Semasa menjadi Menteri Kehutanan, dia sangat dekat dengan SBY. Kini, dia juga masih punya kekuasaan di dunia politik. Dan, perbuatannya di Riau, adalah cerminan dia pemburu rente. Yang memburu dengan gagah perkasa, meski rakyat Riau terkena dampak Solastalgia. Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/04/kapitalisme-semu-asia-tenggara/#respond Pencegahan dan Pemulihan bagi Perempuan terhadap Ancaman Kekerasan Seksual dalam Hukum Adat Rejang11/3/2017 Menurut Budi Darma dalam Warisan (1996), “Feminisme mengarahkan fokusnya pada penindasan laki-laki terhadap perempuan. Pengertian laki-laki tidak selamanya individu. Laki-laki berarti tradisi atau lebih luas lagi adalah kebudayaan, yang telah begitu lama didominasi oleh laki-laki. Karena itu feminisme menggempur “adat istiadat” dan hukum yang tidak adil membatasi kebebasan dan kemajuan perempuan. Pencipta adat dan hukum itu tidak lain adalah laki-laki. Karena itu feminisme juga berjuang untuk mengubah peran perempuan, agar perempuan juga ikut dalam menentukan adat istiadat dan hukum.”
Institusi adat dengan berbagai mekanisme hukumnya adalah suatu realitas yang paling dekat dengan rasa keadilan masyarakat. Masyarakat memiliki kapasitas untuk menciptakan aturan hukumnya sendiri dan mengerti konsep keadilan seperti apa yang paling dibutuhkannya. Mereka juga memiliki pengertian tentang keadilan hukum dan keadilan socialnya. Namun tak jarang juga bahwa baik institusi adat maupun lembaga penyelesaian sengketa dalam adat justru mengabaikan hak-hak perempuan yang merupakan salah satu elemen pembentuk hukum tersebut. System kekerabatan yang patriaki dalam sistem social masyarakat akan mempengaruhi hasil keputusan sengketa, sehingga terjadi resistensi perempuan terhadap patriaki. Dalam situasi “netralitas hukum” mereduksi posisi perempuan sebagai pihak yang bersengketa. Sehingga dari perspektif gender, hukum tersebut dilihat sebagai produk kompromi. Dan, biasanya perempuan selalu berada di pihak yang dikalahkan. Kondisi seperti ini jika mengacu pada (Irianto, 2016) bahwa di banyak sistem hukum, bagaimanapun, tidak akan ada netralitas hukum selama posisi perempuan inferior terhadap laki-laki, terutama banyak dijumpai dalam sistem hokum yang mengatas namakan ajaran agama atau adat. Dan pada umumnya, inisiatif perempuan untuk menggunakan proses penyelesaian sengketa atau mekanisme alternative yakni peradilan adat dalam rangka mendapatkan akses kepada keadilan, juga sering tidak didukung oleh masyarakat luas yang secara kultural masih bersifat patriakis (Tong, 1998; Moore, 1998). Permasalahannya adalah, apakah kemudian pilihan perempuan terhadap mekanisme alternatif ini dapat mengakomodir keadilan bagi perempuan dalam menyelesaikan sengketa? Ketiadaan kekuasaan perempuan dalam relasi diantara dirinya dengan fungsionaris adat, tokoh dalam struktur kekerabatan, menghalangi aksesnya kepada keadilan yang subtantif, yakni keadilan yang betul-betul dinikmati secara nyata, bukan hanya ditulis dalam peraturan hukum secara formal. Tulisan ini menggunakan perpektif feminis atau perempuan dalam melihat praktek-praktek peradilan adat sekaligus sebagai kritik terhadap proses peradilan adat Rejang yang mengkomparasikan hokum adat Rejang yang asli (genuine) di Kabupaten Lebong dan hukum adat Rejang yang sudah terkodifikasi dalam bentuk Peraturan Daerah di Kabupaten Rejang Lebong. Kritik ini ini dilakukan karena penulis melihat adanya jurang yang lebar antara hukum di ranah ideal dengan kenyataan dilapangan. Salah satunya banyak oknum hakim adat yang secara tidak sadar bertindak dengan dasar ide yang stereotipikal terkait posisi dan tingkah laku perempuan dalam norma-norma yang maskulin. Sanksi/Denda Adat terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual. Dalam kontek sosiologis, hukum adalah salah satu elemen yang mampu merekontruksi sistem social. Untuk kasus-kasus kekerasaan seksual yang dialami oleh perempuan, dapat secara gamblang dilacak dalam konten dan pratik-praktik hukum serta peradilan adat. Sehingga, praktik hokum adat tersebut mempersepsikan perempuan dan laki-laki bukan hanya dari konteks jenis kelaminnya, melainkan juga aspek gender dalam mekanisme penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Untuk mengetahui tindakan hukum yang akan diambil dalam ancaman kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan, pelacakan dilakukan melalui hukum adat Rejang yang murni yakni Punen Pegong Pakei di Kabupaten Lebong dengan hukum adat Rejang yang telah terkodifikasi yakni Lepeak Ukum Adat Jang di Kabupaten Rejang Lebong. Menurut Salim (65 Th), Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa konten yang terdapat dalam hukum adat Rejang yang melindungi kaum perempuan dari tindak kejahatan, terutama kejahatan seksual. Misalnya dalam prinsip dasar hukum adat Rejang atau yang disebut dengan Punen Pegong Pakei dikenal istilah Cepalo. Cepalo adalah delik atau pelanggaran yang mendapatkan hukuman/ganjaran dalam komunitas adat, misalnya;
Sedangkan dalam buku Lepeak Hukum Adat Jang Kabupaten Rejang Lebong juga terdapat beberapa poin yang secara implisit lebih membahas delik dan sanksi bagi kasus-kasus kekerasan serta ancaman kejahatan yang menimpa perempuan adat Rejang. Misalnya, terdapat poin tentang pemerkosaan, “…memperkosa ini namanya memaksa sesuatu, kehendak terhadap perempuan baik gadis maupun sudah janda yang tidak senonoh (diluar tata susila). Sanksi : uang perkara buah sirih, uang Rajo, 1 ekor kambing + punjung mentah, ayam biring, denda Kuteui 4 Ria (pengapes), tepung setawar…”. Dan terdapat delik yang sama terkait pemerkosaan yakni pemerkosaan yang terjadi di dalam keluarga. Kemudian terdapat juga delik berzina yakni satu, pelanggaran hukum Utang Takep; takep lintang, takep lenyoa, si anjak, si kulo ucuk. Artinya adalah berzina didalam keluarga sendiri, bapak, ibu, anak bujang, denda uang perkara, uang rajo, uang pengapes kuteui, 1 ekor kambing + punjung mentah. Denda: 40 Ria s/d 80 Ria. Alat reneak-renei cukup, gemuk, mis, pelgeak, pe’eak, lidei, niyoa + tepung setawar = mencuci dusun. Khusus untuk kasus berzina ini banyak jenisnya, yaitu berzina di dusun orang yang dalam bahasa Rejang diistilahkan dengan “kerbau berkubang ditengah dusun”. Lalu, berzina sampai melahirkan anak atau zina menga’em. Serta perempuan yang hamil karena zina yang dilakukan lebih dari satu lelaki. Untuk semua delik zina ini dendanya rata-rata sama, yakni 1 ekor kambing dan cuci kampong. Dan delik atau pelanggaran yang terjadi dalam acara pernikahan yang merugikan pihak perempuan seperti keributan, batalnya pernikahan dari satu pihak keluarga, penipuan dalam hal rasan, juga diberikan denda berupa; sirih/iben lengkap, denda Kuteui 1 s/d 4 Ria dan Tepung Tawar. Sanksi atau denda adat di kedua hukum adat ini tentu sangat berbeda, karena Lepeak Hukum Adat Jang ini sudah dikodifikasikan dalam bentuk produk hukum daerah, maka denda adatnya ditetapkan secara jelas dan tegas serta tidak lagi bersifat kompromis tapi materil dan berpedoman dari Undang-Undang Simbur Cahaya serta karangan Pesirah A Sani dan M. Hoesein. Sedangkan di dalam Punen Pegong Pakei, sanksi atau denda tidak memiliki ketetapan sebagaimana Lepeak Hukum Adat Jang, dia muncul berdasarkan kesepakatan, kebiasaan yang ada di masing-masing wilayah serta kondisi pihak yang bersengketa. Teer Har dalam teori Beslissingen-nya (ajaran keputusan), bahwa suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia akan bersifat hukum manakala diputuskan dan dipertahankan oleh petugas hukum. Karena manusia itu melakukan sebuah tindakan yang dianggap salah. Maka dibuatlah hukuman bagi orang yang melakukan tindakan tersebut, dan muncullah sebuah delik (pelanggaran) adat yang adalah bersamaan dengan lahirnya hukum adat. Dan bahwa sebenarnya didalam hukum adat itu yang terpenting adalah jangan pernah membuat sanksi atau denda yang belum ada deliknya. Selain itu, karna hukum adat Rejang yang murni ini memang tidak pernah memiliki aturan yang secara tertulis menjadi panutan atau pedoman dalam memutuskan perkara, maka bentuk denda seperti cuci kampung atau dinikahkan (bagi kasus kekerasan seksual) bisa saja berlaku, tapi tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa dan keluarganya. Namun, setiap perkara yang telah diselesaikan dalam proses peradilan adat oleh Kuteui ini tidak boleh kemudian menimbulkan masalah baru atau masalah turunan, sengketa harus selesai secara damai dalam peradilan adat. Itulah kenapa kebanyakan proses peradilan adat ini memerlukan waktu cukup panjang yakni paling lama adalah 3 bulan. Dan dalam hukum adat Rejang tersebut memang tidak mengenal sanksi yang bersifat materil, berbeda dengan Hukum Adat Rejang di Kabupaten Rejang Lebong tersebut yang secara gamblang menyebutkan jumlah materil yang harus dibayar sebagai bentuk denda. Masyarakat hukum adat Rejang di Desa Tanjung Bajok ini menyatakan bahwa sebenarnya hukuman terberat bagi para pelaku kejahatan adalah dengan ritual tepung tawar. Tepung Tawar ini merupakan salah satu bentuk ritual adat untuk memulihkan kembali kondisi kekacauan yang terjadi di masyarakat. Bentuk dan istilahnya macam-macam untuk setiap daerah Rejang. Ada yang neyebutnya Tepung Setabea ada juga Serawo. Dan menurut Kepala Desa Tanjung Bajok, hal yang paling ia takuti oleh pelaku yang bersengketa adalah kena denda Serawo ini. Biasanya setiap penyelesaian sengketa dalam peradilan adat ia ditutup dengan ritual masak Serawo, dan setiap masyarakat di desa mendapatkan bagian untuk makan Serawo tersebut. Serawo ini memiliki dampak yang sangat serius bagi pelaku juga masyarakat. Ia merupakan denda sosial dan bagian dari cara masyarakat untuk mengetahui dan menerima setiap keputusan peradilan adat. Selain itu juga masyarakat hukum adat Rejang di Lebong ini mengenal istilah Pecuak Bekaping Sumbing Betitip. Yakni tindakan pemulihan untuk mengharmoniskan dan menyeimbangankan kondisi lingkungan masyarakat sampai pada posisi semula dengan cara mengumpulkan seluruh masyarakat dan memberikan informasi yang tepat terhadap perkara. Disinilah sebenarnya peluang proses pemulihan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual. Masyarakat secara umum menerima kembali korban dan bahkan turut menjaganya dari ingatan traumatis terhadap pelaku. Menurut Bambang (46 Th) Desa Tanjung Bajok, kebanyak kasus kekerasan terhadap perempuan, pelaku yang setelah mendapatkan denda Serawo akhirnya memilih untuk meninggalkan desa, karena malu. Berbeda dengan beberapa pasal yang terkandung dalam Lepeak Ukum Adat Jang, yang sangat fokus pada hukuman dan jumlah denda terhadap pelaku ketimbang pemulihan untuk korban. Di dalam Lepeak Ukum Adat Jang sendiri tidak terdapat pasal yang mengandung unsur-unsur pemulihan terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Pasal-pasal terkait kasus kekerasan yang dialami perempuan sebaliknya malah membuat korban untuk kedua kalinya menjadi korban lagi didalam lingkungan masyarakat. Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa sebenarnya hukum adat menempatkan perempuan pada posisi yang setara di mata hukum adat Rejang. Namun ketimpangan kemudian tampak manakala tujuan dari hukum dan peradilan adat Rejang ini kontradiktif dengan sanksi atau adat yang diputuskan untuk pihak-pihak yang bersengketa, khususnya di dalam Lepeak Ukum Adat Jang tersebut. Hukum adat tidak mampu benar-benar memulihkan kondisi sosial yang sebelumnya kacau, menjadi harmonis kembali khususnya untuk perempuan korban kekerasan seksual. Selain pemulihan medis dan psikis, kesatuan hukum yang hidup dalam masyarakat harus mendorong reintegrasi sosial untuk memulihkan kondisi sosial korban kekerasan. Denda seperti cuci kampong, menikah dengan pelaku dan potong kambing sebenarnya tidak sama sekali membantu proses pemulihan korban. Karena pada dasarnya butuh waktu yang panjang untuk memulihkan kondisi traumatis tersebut. Masyarakat harus menerima, menghargai dan mendukung kehadiran kembali korban ke lingkungan sosialnya untuk menjamin perlindungan korban dari pelabelan negative atau sterotip. Dan hal ini terdapat dalam hokum adat Rejang yang belum terkodifikasikan dalam bentuk-bentuk hukum positif di Kabupaten Lebong. Oleh : Pramasty Ayu Kusdinar Tulisan ini juga dapat dibaca di https://serindangbulan.wordpress.com/2017/11/03/pencegahan-dan-pemulihan-bagi-perempuan-terhadap-ancaman-kekerasan-seksual-dalam-hukum-adat-rejang/ *Tulisan ini merupakan potongan dari makalah utuh yang disusun oleh penulis dalam acara Konferensi Pengetahuan Perempuan III Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak, Oktober 2017 Fakultas Hukum Universitas Indonesia |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |