kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
Oleh: Chandra Agusta Nasib komik sebagai salah satu produk kebudayaan memang boleh dikatakan cukup sial. Ia seringkali dianggap sebagai bacaan kelas dua. Bentuknya yang unik, yang memadukan antara bahasa tulis dan visual, membuat posisinya menjadi serba nanggung. Bahasa visual komik dianggap tidak mampu untuk mencapai tingkatan seni lukis, begitu pula teks-teks narasinya, dianggap tidak mampu mencapai tingkatan seni sastra. Alhasil, jadilah ia — dalam pandangan sebagian masyarakat kita, sebagai bacaan yang terpinggirkan. Nasib sial itu belum ditambah — khususnya komik dalam negeri, keadaan industri komik nasional yang bernapas terengah-engah. Belum lagi kalau kita membahas tentang pengembangan fungsi komik. Sebagai medium naratif untuk menyampaikan ide, komik lebih sering dikembangkan dalam bentuk fiksi. Kekuatan komik sebagai medium naratif dan potensi komik non-fiksi — dalam perkembangan komik di Indonesia khususnya — adalah sisi yang jarang dieksplorasi oleh komikus-komikus tanah air. Padahal dari sembilan sasaran jangka panjang komik sebagai bentuk seni — dan industri — yang diungkapkan Scott Mcloud dalam bukunya Reinventing Comics, salah satunya adalah keinginan bahwa persepsi masyarakat mengenai komik, yang cenderung dipandang sebagai bacaan kelas dua, dapat diperbaiki. Namun rupanya, hal itu tidak menghentikan para komikus (juga penerbitnya) untuk terus membuat dan menerbitkan komik. Awal tahun 2018 ini, saya baru saja membaca sebuah komik bagus dan penting, yang saya anggap dapat menjawab masalah yang saya sampaikan di paragraf-paragraf di atas. Judulnya Kolong Sinema, karya Alzein P. Merdeka. Komik ini penting karena, pertama, ia punya ilustrasi dan narasi yang apik. Yang ini tak usahlah dibicarakan lebih lanjut, anggap saja penilaian subjektif. Yang kedua, dan ini yang penting, adalah bahwa komik ini berhasil menggali potensi lain dari komik, keluar dari kebanyakan komik lokal yang masih berkutat pada kisah kisah fiksi. Potensi narasi komik ini dimanfaatkan secara cerdik oleh sang komikus untuk membahas secara kritis sebuah medium lain yang lebih populer, film. Komik ini dibuka dengan serangkaian panel yang bercerita tentang mimpi yang dialami Izal. Ia bermimpi tentang superhero-superhero lawas Indonesia. Dari situlah cerita mengalir. Izal yang pencinta film, mulai mengobrol ngalor-ngidul dengan teman-temannya tentang film film superhero lawas, dengan segala pernak-perniknya yang unik dan kadang absurd. Meski tak bisa sepenuhnya dianggap sebagai komik non-fiksi, komik ini membuat kita menikmati, atau membaca sebuah ulasan dan kritik atas sebuah film dalam suasana yang berbeda, kekuatan khas karya-karya sekuensial. Mungkin terlalu jauh untuk berharap bahwa komik akan menggantikan posisi teks-teks panjang bertele-tele yang membahas, katakanlah ulasan film atau sastra, atau hal-hal lain, tapi setidaknya, jalan itu telah dirintis. Keberadaan Kolong Sinema ini dapat dijadikan sebuah tonggak untuk kemunculan komik-komik lain sejenis ini. Alzein P. Merdeka sendiri, adalah satu dari sedikit komikus lokal yang cukup cemerlang. Komik pendeknya Phagia meraih Kosasih Award untuk kategori cerita komik terbaik di tahun 2016. Ia juga, bersama Evan PotonV, menggarap Riot_404, sebuah komik digital tentang bencana teknologi, dengan jumlah subscriber yang lumayan di webtoon. Jadi, sehabis membaca komik ini, bolehlah kita berharap bahwa ke depan, komik Indonesia masih punya harapan. DATA BUKU Judul : Kolong Sinema Author : Alzein P. Merdeka ISBN : 978–602–61294–2–0 Isi : vi+100 halaman Penerbit : Rotasi Books
0 Comments
Penerjemah: Chandra Agusta
Saat Abigail bilang dia ingin putus, aku terkejut. Taksi itu baru saja berhenti di depan rumahnya, dan ia keluar berjalan ke trotoar, dan dia bilang dia nggak ingin aku datang, dan dia juga nggak ingin ngobrol, dan yang paling penting dia nggak ingin mendengar kabar dariku lagi, bahkan ucapan selamat tahun baru dan kartu ulang tahun. Dan kemudian ia membanting pintu taksi begitu keras sehingga sopir itu memakinya dari jendela mobil. Aku hanya terduduk di kursi belakang, mati rasa. Kalau saja kami bertengkar atau hal-hal semacam itu, aku mungkin akan lebih siap, tapi kami baru saja melewatkan malam yang menyenangkan. Filmnya jelek sih, tapi secara keseluruhan malam itu semuanya baik-baik saja. Lalu kemudian muncul monolog itu, entah dari mana, dan pintu dibanting, dan bam! Enam bulan kebersamaan kami hilang begitu saja! “Jadi sekarang gimana?” tanya sopir itu sambil menatapku melaui kaca spion. “Mau kuantar pulang? Kalau kau punya rumah, sih. Atau ke rumah orangtuamu? Ke rumah teman? Atau ke tempat pijat di pusat kota? Kau bosnya, kau rajanya.” “Aku nggak tahu mau ngapain. Yang kutahu ini nggak adil. Setelah putus dengan Ronit aku sudah bersumpah nggak akan membiarkan seseorang mendekatiku dan menyakitiku seperti itu, tapi kemudian Abigail datang, semuanya jadi begitu indah, dan aku benar-benar nggak menyangka jadi begini. “ Kau betul,” si sopir mendengus. Dia mematikan kunci kontak dan merendahkan kursinya ke belakang. “Ngapain nyetir kalau di sini begitu nyaman? Aku nggak urusan. Argonya tetap jalan kok.” Dan saat itulah di radio seseorang menyebutkan sebuah alamat. “Nine Massada Street. Siapa di sana?” Dan alamat itu — aku pernah dengar sebelumnya, tertinggal di ingatanku seolah-olah seseorang menancapkannya dengan paku. Saat Ronit mencampakkanku keadaannya sama, di dalam taksi, di dalam taksi yang membawanya ke bandara, tepatnya. Dia bilang hubungan kami sudah berakhir, dan tentu saja, aku nggak pernah mendengar kabar darinya lagi. Aku juga ditinggalkan seperti ini, terjebak sendirian di kursi belakang sebuah taksi. Pengemudi itu terus mengoceh, tapi aku nggak mendengar sepatah kata pun. Tapi alamat yang menjengkelkan di radio itu bisa kuingat dengan jelas. “Nine Massada Street. Dengan siapa ini?” Sekarang, mungkin ini hanya kebetulan, tapi aku tetap menyuruh sopirnya mengantarkanku ke alamat itu. Aku harus tahu alamat apa itu. Ketika kami berhenti, aku melihat taksi lain lewat, dan di dalam, di jok belakang, nampak siluet sebuah kepala kecil, seperti anak kecil atau bayi. Aku membayar sopir dan keluar. Alamat itu ternyata rumah pribadi. Aku membuka pintu gerbang, dan berjalan menuju pintu. Aku membunyikan bel. Itu adalah hal yang bodoh untuk dilakukan, dan aku nggak tahu apa yang akan kulakukan kalau ada yang membuka pintu, atau apa yang akan kukatakan. Nggak ada alasan bagiku untuk berada di sana pada saat itu. Tapi aku lagi sangat marah sehingga aku nggak peduli. Aku menelepon sekali lagi, sebuah dering yang panjang, lalu aku menggedor pintu, seperti di tentara saat kami biasa melakukan pencarian orang dari pintu ke pintu, tapi nggak ada yang datang. Di kepalaku, pikiran tentang Abigail dan Ronit mulai bercampur dengan pemikiran tentang perpisahan lain, dan segala macam bercampurbaur. Dan rumah ini, di mana nggak ada yang membuka pintu, membuatku gelisah. Aku mulai mengitarinya, mencari jendela yang bisa kulihat. Tempat itu nggak memiliki jendela, hanya ada pintu belakang, sebagian berpanel kaca. Aku mencoba melihat ke dalam tapi semuanya gelap. Aku terus mencoba, tapi mataku tetap nggak bisa menyesuaikan diri. Sepertinya semakin keras aku mencoba, semakin hitam semuanya terlihat. Ini membuat otakku meluap, beneran. Dan tiba-tiba aku seolah melihat diriku sendiri dari kejauhan, sedang membungkuk, lalu mengangkat batu, membungkusnya dengan kausku, dan memecahkan kaca itu. Aku mengulurkan tangan, hati-hati agar kacanya nggak menyayat tanganku sendiri, dan membuka pintu itu. Aku meraba-raba saklar lampu, dan ketika menemukannya, lampu itu menyala dengan cahayanya yang kuning dan redup. Satu bohlam untuk ruangan besar itu. Dan begitulah tempat itu — sebuah ruangan besar, nggak ada perabotan, benar-benar kosong, kecuali satu bagian dinding yang ditempeli foto-foto wanita. Beberapa dibingkai, beberapa hanya ditempel di dinding dengan selotip, dan aku mengenal mereka semua: Ada Dalia, pacarku saat masih di militer; dan Danielle — kami pacaran di SMA; dan Stephanie, seorang turis ; dan Ronit. Mereka semua ada di sana, dan di sudut kiri, dengan bingkai emas yang halus, ada gambar Abigail, tersenyum. Aku memadamkan lampu dan roboh di sudut ruangan. Seluruh tubuhku gemetar. Aku nggak mengenal orang yang tinggal di sini, mengapa dia melakukan ini kepadaku, atau bagaimana dia selalu berhasil menghancurkan segala sesuatu. Tapi tiba-tiba semuanya ada dihadapanku, semua perpisahan itu, seperti melompat keluar — Danielle, Abigail, Ronit. Ini bukan tentang kami, aku dan mantan-mantanku, tapi ini tentang orang itu, yang memasang foto-foto ini. Aku nggak tahu berapa lama waktu berlalu sampai dia, orang itu pulang. Pertama kudengar suara taksi, lalu suara kuncinya di depan pintu, lalu lampu menyala kembali, dan dia ada di sana, berdiri tepat di depanku dan tersenyum, si bangsat itu, menatapku dan tersenyum. Lelaki itu pendek, seperti anak-anak, matanya besar, dan memegang tas sekolah plastik warna-warni. Ketika aku bangkit dari sudut itu, dia hanya tertawa kecil, seperti tertangkap basah, dan bertanya bagaimana aku bisa berada di situ. “Jadi dia memutuskanmu juga, ya?” katanya ketika aku mendekat. “Nggak apa-apa, santailah, akan selalu ada yang lain.” Dan aku, alih-alih menjawab, aku menghantamkan sebuah batu ke kepalanya, nggak berhenti walaupun ia sudah jatuh. Aku nggak mau yang lain. Aku mau Abigail, aku mau dia, lelaki itu berhenti tertawa. Dan selama aku menghantamnya dengan batu ia hanya merintih: “Apa yang kau lakukan, apa yang kau lakukan, apa yang kau lakukan. Aku lelakimu, lelakimu” sampai ia berhenti. Setelah selesai, aku muntah. Setelah selesai muntah, aku merasa lebih lega, seperti tentara waktu berjalan kaki melintasi medan berat dan seseorang mengambil tandu yang kau bawa darimu, dan kau merasa lega — lebih lega dari yang kau bayangkan mungkin terjadi. Seperti anak kecil. Dan semua kebencian dan rasa bersalah dan ketakutan bahwa aku akan tertangkap — semuanya hilang begitu saja. Nggak jauh di belakang rumah tersebut terdapat sebuah hutan, dan di sanalah aku meninggalkan lelaki itu. Batu dan kaus yang berlumur darah, kukubur di halaman. Beberapa minggu setelah kejadian itu, aku terus mencari beritanya di koran-koran, di bagian berita maupun di informasi orang hilang, tapi nggak ada apa-apa. Abigail nggak menjawab pesan-pesanku, dan seseorang di tempat kerja memberitahuku bahwa ia melihatnya di kota dengan seorang lelaki jangkung berambut ekor-kuda. Aku hancur saat mendengarnya, tapi aku tahu nggak ada yang bisa kulakukan. Semua sudah berakhir. Beberapa saat setelah itu, aku mulai pacaran dengan Mia. Sejak awal, segala sesuatunya berjalan dengan wajar. Sangat OK. Dan nggak seperti biasanya aku dengan gadis-gadis, dengannya aku sangat terbuka dari awal dan semua pertahananku teredam. Di malam hari aku kadang-kadang bermimpi tentang lelaki pendek itu, bagaimana aku menyingkirkan tubuhnya di hutan, dan aku akan terbangun dengan panik, tapi kemudian aku mengingatkan diriku sendiri bahwa nggak ada alasan untuk khawatir, dia sudah nggak berkeliaran lagi, lalu aku memeluk Mia dan kembali tidur. Mia dan aku akhirnya juga putus di dalam taksi. Dia bilang aku nggak punya perasaan, dia bilang aku nggak pengertian, kadang-kadang dia makan hati karenaku, dan aku yakin dia sebenarnya bahagia, karenaku. Dia bilang ada sesuatu yang salah di antara kami sejak dulu, tapi aku bahkan nggak menyadarinya. Dan kemudian dia mulai menangis. Aku mencoba memeluknya, tapi dia menarik diri dan bilang bahwa kalau aku peduli padanya, aku seharusnya membiarkannya pergi. Aku nggak tahu apakah aku harus mengejarnya dan terus mencoba menahannya. Di taksi, radio itu kembali memberi alamat: “Four Adler Road.” Aku menyuruh sopir membawaku ke sana. Sebuah taksi lain sudah diparkir di sana saat kami tiba. Beberapa pasangan masuk, seusiaku, mungkin sedikit lebih muda. Sopir mereka mengatakan sesuatu dan mereka berdua tertawa. Aku terus berjalan, ke Nine Massada Street. Aku mencari mayat lelaki yang kubunuh beberapa waktu lalu di hutan, tapi ternyata mayatnya nggak ada di sana. Satu-satunya yang bisa kutemukan adalah batang besi berkarat. Aku memungutnya dan mulai berjalan menuju rumah itu. Rumah itu tampak sama, gelap, dengan panel kaca yang pecah di pintu belakang. Aku meraih ke dalam, meraba-raba pegangannya, dengan hati-hati agar tak tersayat. Aku langsung menemukan saklar lampu itu. Rumah itu masih tetap kosong kecuali foto-foto di dinding, tas sekolah si lelaki pendek yang jelek itu, dan noda gelap dan lengket di lantai. Aku mengamati foto-foto itu. Mereka semua ada di sana, dengan urutan yang persis sama. Ketika aku selesai mengamati foto-foto itu, aku membuka tas itu dan melihat isinya. Ada sejumlah uang tunai, tiket bus bekas, kotak kacamata, dan foto Mia. Di foto itu, rambutnya mengembang, dan dia kelihatan kesepian. Dan tiba-tiba aku mengerti apa yang dikatakan lelaki itu sebelum dia meninggal, bahwa akan selalu ada yang lain. Aku mencoba membayangkan laki-laki itu di malam waktu Abigail dan aku putus, ke mana dia pergi, lalu kembali dengan foto itu, memastikan, aku nggak tahu gimana, Mia dan aku menyeberang jalan. Dan sekarang nggak begitu yakin aku akan pernah bertemu yang lain. Karena lelakiku itu sudah meninggal dan akulah yang membunuhnya. diterjemahkan secara bebas — dengan bantuan google translate, pastinya — dari cerpen Etgar Keret berjudul Your Man, dalam kumpulan cerpen berjudul The Nimrod Flipout, yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger. Penerjemah: Chandra Agusta
Jadi, katakanlah aku sekarang sudah mati, atau aku membuka swalayan binatu, yang pertama di Israel. Aku menyewa sebuah tempat kecil, agak kumuh, di sisi selatan, dan semuanya bercat warna biru. Awalnya, hanya ada empat mesin dan dispenser khusus yang menjual token. Lalu aku memasang TV dan bahkan mesin pinball. Atau, kalau nggak, aku di lantai kamar mandi dengan peluru di kepalaku. Ayahku menemukanku. Awalnya, dia nggak memperhatikan ada darah berceceran. Dia pikir aku sedang tertidur atau bermain salah satu permainan bodohku. Ketika dia menyentuh tengkukku dan merasakan sesuatu yang panas dan lengket mengalir dari jari-jari ke lengannya barulah ia menyadari ada sesuatu yang salah. Orang yang datang untuk mencuci ke binatu mandiri adalah orang yang kesepian. Kau nggak harus menjadi jenius untuk tahu itu. Dan aku, jelas bukan orang jenius, dan aku menyadarinya. Makanya aku selalu berusaha menciptakan suasana binatu yang akan membuat orang merasa nggak terlalu kesepian. Kupasang banyak TV. Dispencer yang bisa ngomong terima kasih dengan suara manusia untuk membeli token, gambar demonstrasi massa di dinding. Meja-meja untuk melipat cucian kupasang sehingga orang-orang harus menggunakannya pada waktu bersamaan. Bukan karena aku pelit; itu memang disengaja, ada tujuannya. Banyak pasangan bertemu di tempatku karena meja-meja itu. Orang-orang yang dulu kesepian sekarang memiliki seseorang, mungkin lebih dari satu, yang berbaring di sebelah mereka di malam hari, mendusel-dusel saat mereka tidur. Hal pertama yang dilakukan ayahku adalah mencuci tangannya. Baru kemudian ia memanggil ambulans. Cuci tangan itu akan sangat mahal harganya. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri sampai hari kematiannya. Dia bahkan akan malu untuk memberitahu orang-orang. Bagaimana anaknya terbaring di sana di sampingnya, sekarat, dan dia, alih-alih merasakan kesedihan atau sayang atau takut, malah merasa jijik. Binatu itu akan segera menjamur, dengan banyak cabang, terutama di Tel Aviv, tapi akan bagus juga di pinggiran kota. Logika di balik kesuksesannya cukup sederhana — dimanapun ada orang yang kesepian dan cucian kotor, mereka akan selalu mendatangiku. Setelah ibuku meninggal, ayahku pun akan datang ke salah satu cabang binatu itu untuk mencuci pakaiannya. Dia nggak akan pernah bertemu dengan seorang wanita atau menjalin hubungan pertemanan di sana, tapi kemungkinan bahwa dia akan mengunjungi binatu itu setiap saat, akan memberinya sedikit harapan. diterjemahkan secara bebas — dengan bantuan google translate, pastinya — dari cerpen Etgar Keret berjudul Dirt, dalam kumpulan cerpen berjudul The Nimrod Flipout, yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris oleh Sondra Silverston Diterjemahkan oleh: Chandra Agusta
SAAT ITU sudah kali ketiga kami memainkan lagu tema Godfather sejak makan siang, jadi aku mencoba mengamati para turis yang duduk di seberang piazza untuk mengira-ngira berapa banyak dari mereka yang berada di sana terakhir kali kami memainkannya. Orang-orang mungkin nggak keberatan mendengar lagu favorit mereka lebih dari sekali, tapi kau nggak mungkin terlalu sering melakukannya atau mereka mulai mencurigaimu bahwa kau nggak punya perbendaharaan lagu yang layak. Sepanjang tahun ini, biasanya nggak masalah mengulanginya berkali-kali. Bayangan pertama dari angin musim gugur dan harga kopi yang nggak masuk akal memastikan jumlah pelanggan yang cukup stabil. Lagi pula, itulah sebabnya aku mempelajari wajah-wajah di piazza dan begitulah kejadiannya saat aku melihat Tibor. Ia melambaikan tangannya dan awalnya aku mengira ia melambaikan tangan kepada kami, tapi kemudian aku menyadari bahwa ia berusaha memanggil seorang pramusaji. Ia tampak lebih tua, dan berat badannya naik, tapi nggak sulit mengenalinya. Aku mencolek Fabian, dengan akordeon di sampingku, dan mengangguk ke arah bocah itu, meski aku tidak bisa melepaskan kedua tanganku dari saksofon untuk menunjuknya dengan tepat. Saat itulah aku menyadari, bahwa selain aku dan Fabian, nggak ada lagi yang tersisa dari band kami sejak musim panas saat kami bertemu Tibor. Oke, itu semua memang tujuh tahun yang lalu, tapi masih mengejutkanku. Bermain bareng setiap hari kayak begini, kau mulai menganggap bahwa band adalah semacam keluarga, dengan anggota-anggota lain sebagai saudaramu. Dan jika seseorang pindah, kau berpikir seolah-olah ia akan selalu menjaga hubungan denganmu, mengirim kartu pos dari Venesia atau London atau ke mana pun dia berada, mungkin mengirimkan sebuah potret Polaroid dari bandnya yang baru — sama kayak dia menulis surat ke kampung halamannya. Jadi saat seperti itu datang sebagai pengingat yang tak diinginkan tentang seberapa cepat segala sesuatunya berubah. Tentang bagaimana sahabat karibmu hari ini berubah menjadi orang asing di esok harinya, tersebar di seluruh Eropa, memainkan lagu tema Godfather atau “Autum Leaves” di alun-alun dan kafe-kafe yang nggak akan pernah kau kunjungi. Ketika kami menyelesaikan nomor itu, Fabian menatapku dengan tatapan jengkel, kesal karena aku menyenggolnya selama “bagian istimewanya” — bukan solo sih, tapi itu momen singkat ketika biola dan klarinet berhenti, aku hanya meniupkan nada pelan sebagai latar, dan ia mengambil alih nada itu dengan akordionnya. Ketika aku mencoba menjelaskan, sambil menunjuk Tibor yang sekarang mengaduk kopinya di bawah payung, Fabian agaknya kesulitan mengingatnya. Pada akhirnya, dia berkata: “Ah ya, bocah yang main cello itu. Aku pengen tahu apakah ia masih jalan bareng wanita Amerika itu.” “Tentu saja tidak,” kataku. “Kamu enggak ingat? Itu semua berakhir saat itu.” Fabian mengangkat bahu, perhatiannya sekarang tertuju pada lembaran musiknya, lalu kami memulai nomor berikutnya. Aku kecewa Fabian nggak menunjukkan ketertarikannya, tapi kurasa dia memang nggak termasuk salah satu dari orang-orang yang peduli dengan pemain cello muda itu. Fabian, kau tahu, dia cuma pernah bermain di bar dan kafe-kafe. Enggak kayak Giancarlo, pemain biola kami waktu itu, atau Ernesto, si pemain bass. Mereka pernah mengikuti pelatihan formal, sehingga bagi mereka seseorang macam Tibor itu selalu mempesona. Mungkin ada sedikit kecemburuan — bahwa pendidikan musikal Tibor yang paling top, kenyataan bahwa masa depannya masih cukup cerah. Tapi sejujurnya, kupikir itu hanya karena mereka senang meletakkan Tibor dalam pandangan mereka sendiri, menjaganya sedikit, mungkin menyiapkan diri untuk apa yang bakal terjadi, jadi ketika kekecewaan datang, mereka nggak akan begitu sulit menghadapinya. Musim panas tujuh tahun yang lalu itu hangatnya nggak kayak biasanya, dan bahkan di kota kami ini, ada saat-saat kau bisa percaya bahwa kita berada di Laut Adriatik. Kami bermain di luar ruangan lebih dari empat bulan — di bawah tenda-tenda kafe, menghadap ke piazza dan semua meja — dan aku bisa memberitahumu ini pekerjaan yang bikin gerah banget, bahkan dengan dua atau tiga kipas angin listrik berputar di sekitarmu. Tapi itu dibuat untuk musim yang pas, banyak turis yang lewat, banyak dari Jerman dan Austria, dan juga penduduk lokal yang melarikan diri dari pantai yang panas. Dan itulah musim panas pertama kalinya kami mulai memperhatikan orang-orang Rusia. Hari ini kau nggak mikir macam-macam tentang turis Rusia, mereka kelihatan sama kayak yang lain. Tapi waktu itu, mereka masih cukup unik untuk membuat kau menghentikan aktivitasmu dan memelototi mereka. Pakaian mereka aneh dan tingkah-polah mereka seperti anak baru di sekolah, pindahan dari sekolah lain. Pertama kali kami melihat Tibor, kami berada di antara alat-alat band yang berserakan, bersantai di meja besar yang selalu disisihkan oleh pegawai kafe untuk kami. Ia duduk tak jauh dari kami, terus-menerus bangkit dan mengatur ulang posisi kotak cello-nya agar tetap di tempat teduh. “Lihatlah dia,” kata Giancarlo. “Seorang mahasiswa musik Rusia yang nggak punya apa-apa untuk hidup. Jadi apa yang dilakukannya? Memutuskan untuk menghambur-hamburkan uangnya untuk beli kopi di alun-alun utama.” “Nggak diragukan lagi dia adalah seorang pandir,” kata Ernesto. “Tapi pandir yang romantis. Nggak masalah kelaparan, asalkan dia bisa duduk di alun-alun kita sepanjang sore.” Ia kurus, berambut pirang dan memakai kacamata yang nggak modis — bingkai besar itu membuatnya terlihat kayak panda. Ia nongol terus dari hari ke hari, dan aku nggak ingat bagaimana tepatnya hal itu terjadi, tapi setelah beberapa saat kami mulai duduk dan berbicara dengannya di sela-sela set pertunjukan. Dan kadang-kadang jika ia datang ke kafe selama sesi malam kami, kami akan memanggilnya setelah itu selesai, sekedar mentraktirnya minum sedikit anggur dan crostini. Kami segera tahu bahwa Tibor adalah orang Hongaria, bukan orang Rusia; bahwa ia mungkin lebih tua dari kelihatannya, karena ia sudah belajar di Royal Academy of Music di London, kemudian menghabiskan dua tahun di Wina di bawah Oleg Petrovic. Setelah awal yang sulit dengan sang maestro tua, ia telah belajar mengendalikan amarah legendaris itu dan telah meninggalkan Wina dengan penuh kepercayaan diri — dan dengan serangkaian perjanjian di tempat-tempat bergengsi, walau kecil, di seluruh Eropa. Tapi kemudian konser-konser itu mulai batal karena tiketnya kurang laku; ia dipaksa untuk memainkan musik yang ia benci; harga yang harus ia bayar untuk sebuah penyesuaian. Jadi, Festival Seni dan Budaya kota kami yang sangat terorganisir itu — yang membawanya ke sini pada musim panas itu — sudah menjadi motivasi yang sangat dibutuhkannya, dan ketika seorang teman lama dari Royal Academy menawarinya sebuah apartemen gratis untuk musim panas di dekat kanal, ia menyikatnya tanpa ragu sedikit pun. Ia menikmati kota ini, katanya pada kami, tapi uang tunai selalu menjadi masalahnya, dan meskipun dia pernah melakukan resital sesekali, dia sekarang harus berpikir keras tentang langkah selanjutnya yang akan ia ambil. Setelah beberapa saat mendengarkan keluh kesah itu, Giancarlo dan Ernesto memutuskan bahwa kami harus mencoba dan melakukan sesuatu untuknya. Dan begitulah kejadiannya Tibor bertemu dengan Mr. Kaufmann, dari Amsterdam, kerabat jauh Giancarlo dengan koneksi di dunia hotel. Aku dapat mengingat malam itu dengan sangat baik. Saat itu masih awal banget musim panas, dan Mr. Kaufmann, Giancarlo, Ernesto, kami semua, duduk di dalam, di ruang belakang kafe, mendengarkan Tibor memainkan cello-nya. Bocah itu pasti menyadari bahwa ia diaudisi untuk Mr. Kaufmann, jadi sangat menarik saat ini untuk mengingat-ingat betapa inginnya ia tampil malam itu. Ia jelas berterima kasih kepada kami, dan kau bisa melihat ia berbunga-bunga saat Mr Kaufmann berjanji untuk melakukan apa yang bisa ia lakukan untuknya sekembalinya ke Amsterdam. Ketika orang-orang bilang kalau Tibor jadi lebih jelek di musim panas itu, kalau ia terlalu besar kepala, kalau ini semua sudah terjadi pada wanita Amerika itu, yah, mungkin memang ada sesuatu di situ. TIBOR sudah menyadari kehadiran wanita itu saat menghirup kopi pertamanya hari ini. Saat itu, piazza terasa sangat dingin — kafe itu tetap teduh sepanjang pagi — dan batu-batu pavingblok masih basah oleh selang pekerja kota. Setelah pergi tanpa sarapan pagi, ia melihat iri saat di meja sebelah, si wanita memesan serangkaian ramuan jus buah, lalu — nampaknya kepengen, karena belum jam sepuluh — semangkuk kerang kukus. Ia memiliki kesan samar bahwa wanita itu, di balik mejanya, mencuri pandang ke arahnya, tapi nggak terlalu memikirkannya. “Ia terlihat sangat menyenangkan, cantik malah,” katanya saat itu. “Tapi kayak yang kau lihat, wanita itu sepuluh, lima belas tahun lebih tua dariku. Jadi mengapa aku berpikir ada sesuatu yang terjadi?” Ia sudah melupakan wanita itu dan bersiap kembali ke kamarnya untuk latihan beberapa jam sebelum tetangganya datang untuk makan siang dan menyalakan radio, ketika tiba-tiba ada seorang wanita yang berdiri di depannya. Wanita itu tersenyum lebar, semua sikapnya menunjukkan bahwa mereka sudah saling kenal satu sama lain. Sebenarnya hanya rasa minder alaminya yang menahannya untuk menyapa si gadis. Lalu wanita itu meletakkan tangannya di bahunya, seolah dia sudah gagal dalam sebuah tes tapi dimaklumi, dan berkata: “Aku hadir di resitalmu tempo hari. Di San Lorenzo.” “Terima kasih,” jawabnya, meski sadar betapa bodohnya jawabannya ini terdengar. Kemudian ketika wanita itu terus saja menatapnya, ia berkata: “Oh ya, gereja San Lorenzo. Betul. Aku memang manggung di sana.” Wanita itu tertawa, lalu tiba-tiba duduk di kursi di hadapannya. “Kamu bilang kalau kamu banyak dapat job akhir-akhir ini,” katanya, dengan nada sedikit mengejek. “Kalau kelihatannya begitu, berarti aku telah memberikanmu kesan yang salah. Resital yang kamu hadiri itu bahkan satu-satunya dalam dua bulan.” “Tapi kau kan baru mulai,” katanya. “Setidaknya kamu main bagus untuk dapat kontrak kerjaan lagi. Dan kemarin itu penontonnya lumayan.” “Lumayan? Cuma dua puluh empat orang gitu.” “Itu kan sore. Lumayanlah itu untuk pertunjukan musik di sore hari.” “Seharusnya aku nggak mengeluh. Tapi tetap, yang kemarin itu nggak bisa dibilang lumayan. Cuma sekelompok turis yang nggak tahu mau ngapain.” “Oh! Kau seharusnya nggak meremehkan gitu. Lagi pula, aku ada di sana. Aku juga adalah salah satu dari turis-turis itu.” Kemudian saat wajahnya mulai memerah — karena ia nggak bermaksud menyinggung — wanita menyentuh lengannya dan berkata sambil tersenyum, “Kau kan baru mulai. Jangan khawatir dengan jumlah penonton. Itu bukan alasan kau tampil.” “Oh? Lalu ngapain aku tampil kalau nggak untuk penonton?” “Bukan itu maksudku. Maksudku adalah, bahwa di tahap ini dalam karirmu, dua puluh atau dua ratus penonton, itu bukan masalah. Haruskah kubilang padamu mengapa? Karena kamu sudah mendapatkannya!” “Aku memilikinya?” “Kamu memilikinya. Pasti. Kau memiliki… potensi.” Ia menahan tawa kasar yang sampai ke bibirnya. Ia ingin mengejek dirinya sendiri ketimbang mengejek wanita itu, karena ia mengharapkan wanita itu untuk mengatakan “jenius” atau paling tidak “berbakat” dan kata-kata itu langsung mengejutkannya, betapa menyesalnya ia mengharapkan komentar macam begitu. Tapi wanita itu melanjutkan: “Di tahap mu yang sekarang, yang harus kau lakukan adalah menunggu satu orang itu datang dan mendengarmu. Dan satu orang itu mungkin dengan mudah berada di ruangan seperti di gereja itu di hari Selasa, di kerumunan penonton yang hanya dua puluh orang…” “Dua puluh empat, nggak termasuk panitia…” “Dua puluh empat, terserah deh. Kubilang jumlah itu nggak penting sekarang. Yang penting adalah satu orang itu.” “Maksudmu orang dari perusahaan rekaman?” “Rekaman? Oh bukan, bukan. Yang itu biar urusannya sendiri. Bukan, maksudku orang yang akan membuatmu berkembang. Orang yang akan mendengarmu dan menyadari bahwa kamu bukan sekadar musisi yang biasa-biasa aja. Meskipun kamu sekarang masih berada di kepompongmu sendiri, hanya dengan sedikit bantuan, kau akan muncul sebagai kupu-kupu.” “Aku paham. Ngomong-ngomong, kaukah orangnya?” “Oh plis deh! Kulihat kau ini sombong banget. Tapi bagiku, kamu nggak kelihatan kalau kamu punya banyak banget mentor ahli yang mengajarimu. Setidaknya nggak di levelku.” Terpikir olehnya bahwa ia baru saja melakukan kesalahan besar, dan ia memperhatikan wajah wanita itu dengan hati-hati. Wanita itu sekarang telah melepaskan kacamata hitamnya, dan ia bisa melihat wajah yang pada dasarnya lembut dan baik hati, namun sekarang kelihatan kesal dan mungkin marah. Ia terus menatapnya, berharap segera mengenalinya, tapi akhirnya ia terpaksa berkata: “Aku sangat menyesal. Kau mungkin seorang musisi terkenal?” “Aku Eloise McCormack,” wanita itu mengumumkan namanya sambil tersenyum, dan mengulurkan tangannya. Sayangnya, nama itu tidak punya arti bagi Tibor dan ia mendapati dirinya dalam kebingungan. Naluri pertamanya adalah berpura-pura takjub, dan ia benar-benar berkata: “Sungguh. Ini sangat menakjubkan.” Kemudian ia sadar, menyadari bahwa kata-katanya tersebut bukan hanya tidak jujur, tapi cenderung memalukan. Jadi ia duduk tegak dan berkata: “Miss McCormack, suatu kehormatan bertemu denganmu. Saya menyadari ini akan terasa tidak masuk akal bagimu, tapi kumohon agar Anda mengerti bahwa aku masih muda dan aku dibesarkan di bekas blok Timur, di belakang Tirai Besi. Ada banyak bintang film dan tokoh politik yang terkenal di Barat, yang bahkan sampai hari ini, saya tetap tidak tahu apa-apa tentangnya. Jadi Anda harus memaafkanku karena aku tidak tahu persis siapa Anda.” “Yah… itu kejujuran yang patut dihargai.” Terlepas dari kata-katanya, wanita itu benar-benar tersinggung, dan semangatnya yang meluap-luap tadi tampak mengering. Setelah momen yang canggung itu, ia berkata lagi: “Anda adalah seorang musisi terkenal, kan ya?” Wanita itu mengangguk, tatapannya melayang melintasi alun-alun. “Sekali lagi aku minta maaf,” katanya. “Sungguh sebuah kehormatan bahwa seseorang seperti Anda datang ke resitalku. Dan boleh aku tahu instrumen apa yang Anda mainkan?” “Seperti yang kau mainkan,” katanya cepat. “Cello. Itulah sebabnya aku masuk. Bahkan jika itu adalah sebuah resital kecil yang sederhana seperti resitalmu kemarin, aku nggak bisa menahan diri. Aku tidak bisa melewatkannya begitu saja. Aku punya misi, kurasa.” “Misi?” “Aku nggak tahu harus disebut apa. Aku ingin semua pemain cello bermain dengan baik. Bermain dengan indah. Seringnya, mereka main dengan cara yang tak terarah.” “Sori kupotong, tapi apakah cuma kita pemain cello yang salah atas pertunjukan yang tak terarah ini? Atau apakah Anda ngomongin semua musisi?” “Mungkin pemain lainnya juga. Tapi aku adalah seorang pemain cello, jadi aku mendengarkan pemain cello lainnya, dan ketika aku mendengar ada yang nggak beres… Kau tahu, besoknya, aku melihat beberapa musisi muda main di lobi Museo Civico dan orang-orang hanya melewatinya, tapi aku harus berhenti dan mendengarkan. Dan kau tahu, hanya itu yang bisa kulakukan untuk menghentikan diriku mendatangi dan memberi tahu mereka.” “Bahwa mereka membuat kesalahan?” “Bukan kesalahan sebenarnya. Tapi… yah, mereka nggak punya potensi. Mendekati potensi pun enggak. Tapi begitulah, aku mungkin terlalu berlebihan. Aku tahu seharusnya aku nggak mengharapkan setiap orang untuk mencapai tingkatan yang kutetapkan untuk diriku sendiri. Mereka cuma mahasiswa musik, kurasa.” Wanita itu bersandar di kursinya untuk pertama kalinya dan menatap sekumpulan anak anak, di dekat air mancur di tengah lapangan, ribut saling berendam. Akhirnya, Tibor berkata: “Kau juga merasakan dorongan ini Selasa kemarin. Dorongan untuk mendekatiku dan memberikan saran.” Wanita itu tersenyum, tapi kemudian wajahnya menjadi sangat serius. “Ya, aku melakukannya,” katanya. “Aku benar-benar melakukannya. Karena ketika aku mendengar permainanmu, aku bisa mendengarnya seperti aku dulu. Maafkan aku, ini akan terdengar sangat kasar. Tapi sebenarnya, kau tidak benar-benar berada di jalur yang benar sekarang. Dan ketika aku mendengarmu, aku sangat ingin membantu kau menemukannya. Lebih cepat lebih baik.” “Aku harus bilang, aku diajar oleh Oleg Petrovic.” Tibor menyatakan ini dengan datar dan menunggu tanggapannya. Yang mengejutkan, ia melihat wanita mencoba untuk menahan senyuman. “Petrovic, ya,” katanya. “Petrovic, pada zamannya, adalah seorang musisi yang sangat terhormat. Dan aku tahu bahwa kepada mahasiswanya ia tetap harus tampil cantik. Tapi bagi banyak dari kami sekarang, gagasannya, keseluruhan pendekatannya…” Dia menggelengkan kepalanya dan membentangkan tangannya. Kemudian saat Tibor, tiba-tiba terdiam karena kemarahan, terus menatapnya, wanita itu sekali lagi meletakkan tangannya di lengannya. “Sudah cukup kukatakan. Aku nggak punya hak. Aku akan meninggalkanmu dalam damai.” Wanita itu berdiri dan tindakan ini menenangkan kemarahannya; Tibor memiliki temperamen yang murah hati dan bukan sifatnya untuk tetap berseberangan dengan orang-orang dalam waktu lama. Lagipula, apa yang baru saja dikatakan wanita itu tentang gurunya yang tua itu membuat perasan nggak nyaman jauh di dalam hatinya — pikiran yang nggak berani diungkapkannya pada dirinya sendiri. Jadi saat dia menatap wanita itu, wajahnya menunjukkan kebingungan yang sangat. “Dengar,” katanya, “Kau mungkin sangat marah kepadaku karena hal ini. Tapi aku ingin membantumu. Kalau kau memutuskan ingin membicarakannya, aku menginap di sana. Di Excelsior.” Hotel ini, termegah di kota kami, berdiri megah di ujung alun-alun, dan sekarang ia menunjuk Tibor, tersenyum, dan mulai melangkah ke arahnya. Ia masih mengamatinya saat wanita itu tiba-tiba berbalik di dekat air mancur, mengejutkan beberapa merpati, lalu melanjutkan perjalanannya. SELAMA DUA HARI BERIKUTNYA, ia jadi sering memikirkan pertemuan itu, berkali-kali. Ia membayangkan lagi seringai di mulutnya saat ia dengan bangga mengumumkan nama Petrovic dan merasakan kemarahannya meningkat lagi. Tapi setelah direnungi, ia bisa melihat bahwa ia nggak benar-benar marah atas nama gurunya. Marahnya itu lebih disebabkan karena ia terbiasa dengan gagasan bahwa nama Petrovic akan selalu menghasilkan dampak yang pasti, sehingga bisa diandalkan untuk mendapatkan perhatian dan rasa hormat: dengan kata lain, ia bergantung padanya sebagai semacam sertifikat yang bisa ia pamerkan di seluruh dunia. Yang sangat mengganggunya adalah kemungkinan bahwa sertifikat ini ternyata nggak membawa bobot yang seharusnya baginya. Ia terus mengingat juga undangan perpisahan dari cewek itu, dan selama ia duduk di alun-alun, ia menatap jauh ke ujung alun-alun, pintu masuk Hotel Excelsior, di mana arus sejumlah taksi dan limusin stabil di depan penjaga pintu. Akhirnya, pada hari ketiga setelah percakapannya dengan Eloise McCormack, ia menyeberangi piazza, memasuki lobi berpualam dan meminta resepsionis untuk menelepon ekstensi cewek itu. Resepsionis itu berbicara di telepon, menanyakan namanya, lalu setelah basa basi singkat, menyerahkan gagang telepon kepadanya. “Maafkan aku,” dia mendengar suara cewek itu berkata. “Aku lupa menanyakan namamu tempo hari dan aku butuh waktu untuk mencari tahu siapa dirimu. Tapi tentu saja aku belum melupakanmu. Aku terus-terusan memikirkanmu. Ada begitu banyak yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi kau tahu, kita harus melakukan ini dengan benar. Apakah kau membawa cello-mu? Tidak, tentu saja tidak. Mengapa kau tidak kembali dalam satu jam, tepat satu jam, dan membawa cello-mu. Aku akan menunggumu di sini.” Ketika kembali ke Excelsior dengan alat musiknya, resepsionis itu segera menunjukkan liftnya dan mengatakan bahwa Miss McCormack sedang menunggunya. Gagasan memasuki kamar cewek itu, walaupun di tengah siang hari, membuatnya merasakan keintiman yang canggung, dan ia lega menemukan sebuah suite besar, kamarnya tertutup sepenuhnya dari pandangan luar. Jendela-jendela Prancis yang tinggi dengan daun jendelanya, yang saat ini terlipat, sehingga tirainya yang berenda bergerak tertiup angin, dan ia bisa melihat bahwa dengan melangkah ke balkon, ia mendapati dirinya melihat ke arah alun-alun. Ruangan itu sendiri, dengan dinding batu yang kasar dan lantai kayu gelapnya, seperti suasana biara, hanya nampak sedikit lembut karena bunga-bunga hiasan, bantal dan perabotan antik. Sebaliknya, cewek itu mengenakan kaos, celana olahraga, seolah baru selesai dari berlari. Cewek itu menyambutnya dengan sedikit upacara — tanpa tawaran teh atau kopi — dan berkata kepadanya: “Mainlah untukku. Mainkan salah satu lagu yang kau mainkan di resitalmu kemarin.” Wanita itu menunjukkan sebuah kursi berpelitur yang dengan hati-hati ditempatkan di tengah ruangan, jadi ia duduk di atasnya dan membongkar cello-nya. Dengan agak bingung, wanita itu mendudukkan dirinya di depan salah satu jendela besar sehingga Tibor bisa melihatnya dengan cukup jelas, dan wanita itu terus menatap ke dalam ruang di depannya selama ia menyetel cello-nya. Postur tubuh wanita itu tak berubah saat ia mulai bermain, dan saat ia sampai pada akhir permainan pertamanya, wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia berpindah cepat memainkan bagian lain, dan bagian lainnya lagi. Setengah jam berlalu, lalu satu jam penuh. Kombinasi ruangan yang teduh dan akustiknya yang bagus, sinar matahari sore yang masuk di sela-sela tirai berenda yang menggantung, keriuhan yang terdengar dari piazza, dan yang terpenting dari semua itu, kehadiran sang wanita, membuatnya mencatatkan kedalaman baru, sugesti baru. Menjelang akhir jam, ia yakin ia telah jauh melampaui harapan wanita itu, tapi ketika ia menyelesaikan bagian terakhirnya, dan mereka terdiam beberapa saat, akhirnya wanita itu berbalik ke kursinya dan berkata: “Ya, aku ngerti banget posisimu. Memang nggak akan mudah, tapi kau bisa melakukannya. Pasti, kau bisa melakukannya. Mari kita mulai dengan Britten. Mainkan lagi, bagian pertama aja, setelah itu kita ngobrol-ngobrol. Kita bisa mengerjakan ini bareng, sedikit demi sedikit.” Ketika ia mendengar itu, ia merasa ingin langsung mengemasi alat musiknya saja dan pergi. Tapi kemudian ada naluri lain — mungkin itu hanya rasa ingin tahu, mungkin sesuatu yang lebih dalam — mengatasi kebanggaannya dan memaksanya untuk mulai memainkan kembali bagian yang diminta wanita itu. Setelah beberapa bar wanita itu menghentikannya dan mulai berbicara, ia kembali merasa ingin pergi. Namun ia memutuskan, karena mempertimbangkan norma kesopanan, untuk bertahan dalam pelajaran yang tak diundang ini setidaknya paling lama lima menit lagi. Tapi ia malah mendapati dirinya bertahan sedikit lebih lama, lalu lebih lama lagi. Ia bermain lagi, dan wanita itu ngoceh lagi. Kata-kata wanita itu selalu menyerangnya, terdengar sombong dan terlalu abstrak, tapi ketika ia mencoba mengakomodasi kata-kata itu ke dalam permainannya, ia jadi terkejut dengan efeknya. Sebelum ia sadar, satu jam lagi telah berlalu. “Aku tiba-tiba bisa melihat sesuatu,” ia menjelaskan kepada kami. “Taman yang belum kumasuki. Taman itu ada, di kejauhan. Ada banyak hal sebenarnya. Tapi yang pertama, ada taman itu. Taman yang belum pernah kulihat sebelumnya.” Matahari hampir terbenam saat ia akhirnya meninggalkan hotel, menyeberangi piazza ke meja-meja kafe, dan membiarkan dirinya menikmati kue almond dengan krim kocok, dengan penuh rasa gembira. UNTUK BEBERAPA HARI SELANJUTNYA, dia kembali ke hotelnya setiap sore dan selalu selesai, jika tidak dengan perasaan tercerahkan yang sama seperti yang ia alami pada kunjungan pertamanya itu, setidaknya dipenuhi energi segar dan harapan. Komentar-komentar wanita itu semakin tegas, dan bagi orang luar, seandainya ada, mungkin nampak sombong, tapi Tibor tidak lagi mampu menanggapi intervensi wanita itu dalam konteks semacam itu. Ketakutannya sekarang adalah bahwa kunjungan wanita itu di kota ini akan berakhir, dan pikiran ini mulai menghantuinya, mengganggu tidurnya, dan membayanginya saat ia berjalan ke alun-alun setelah sesi-sesi menyenangkan yang lain. Tapi setiap ia dengan ragu mengajukan pertanyaan ini pada wanita itu, jawabannya selalu samar dan jauh dari meyakinkan. “Oh, sampai kota ini terlalu dingin untukku,” katanya suatu waktu. Atau di lain waktu: “Kayaknya aku bakal tinggal di sini selama aku nggak bosan.” “Tapi gimana sih dia sendiri?” Kami terus bertanya pada Tibor. “Seperti apa wanita itu main cello?” Kali pertama kami mengajukan pertanyaan ini, Tibor tidak menjawab dengan serius, hanya mengatakan sesuatu seperti: “Dia mengatakan bahwa dia seorang virtuoso, sejak awal,” lalu mengubah topik pembicaraan. Tapi ketika ia menyadari bahwa kami tak akan membiarkannya berlalu, ia menghela napas dan mulai menjelaskannya kepada kami. Faktanya, bahkan pada sesi pertama itu, Tibor sangat ingin mendengar wanita itu bermain, tapi terlalu takut untuk memintanya melakukannya. Ia merasakan sedikit curiga saat melihat ke sekeliling kamar, ia tidak melihat tanda-tanda adanya cello milik wanita itu. Toh, sangat wajar jika wanita itu tidak membawa cello saat berlibur. Dan sekali lagi, ada kemungkinan sebenarnya ada alat musik — mungkin disewa — di kamar tidur di balik pintu yang tertutup. Tapi saat ia terus kembali ke suite untuk sesi-sesi selanjutnya, kecurigaannya semakin berkembang. Ia telah melakukan yang terbaik untuk menyingkirkan kecurigaan itu dari pikirannya, karena saat ini, ia telah kehilangan banyak keraguan tentang pertemuan mereka. Kenyataan bahwa wanita itu sedang mendengarkannya sepertinya menarik lapisan baru dari imajinasinya, dan pada jam-jam selama sesi sore ini, ia sering mendapati dirinya menyiapkan sesuatu hal dalam pikirannya, mengantisipasi komentar wanita itu, gelengan kepalanya, cemberutnya, anggukan yang mengiyakan, dan yang paling memuaskan dari semuanya, saat wanita itu terhanyut oleh sebuah bagian dari lagu yang sedang ia mainkan, saat mata wanita itu akan tertutup dan tangannya, secara tak sadar, mulai membayangi gerakan yang ia buat. Namun demikian, kecurigaannya tidak akan hilang, dan suatu hari ia datang ke kamar dan pintu kamar tidur itu dibiarkan terbuka sedikit. Ia bisa melihat dinding batu, yang kelihatan seperti tempat tidur bertiang empat abad pertengahan, tapi tidak ada tanda-tanda ada sebuah cello. Mungkinkah seorang virtuoso, bahkan saat liburan, pergi begitu lama tanpa menyentuh alat musiknya? Tapi pertanyaan ini juga, tak masuk di akalnya. SETELAH MUSIM PANAS BERAKHIR, mereka mulai memperpanjang percakapan mereka dengan datang ke kafe bersama setelah sesi-sesi latihan, dan wanita itu akan membelikannya kopi, kue, dan kadang-kadang sandwich. Sekarang pembicaraan mereka tidak lagi hanya tentang musik — walaupun semuanya sepertinya selalu kembali ke sana. Misalnya, wanita itu mungkin akan menanyainya tentang gadis Jerman yang pernah dekat dengannya di Wina. “Tapi kamu harus ngerti, dia bukan pacarku,” ia akan memberitahunya. “Kami nggak pernah kayak gitu.” “Maksudmu, kau nggak pernah menjalin hubungan intim secara fisik? Itu nggak berarti kau nggak pernah mencintainya.” “Enggak, Nona Eloise, bukan gitu. Aku emang sayang padanya. Tapi kami nggak saling jatuh cinta.” “Tapi waktu kau memainkan Rachmaninov kemarin, kau sedang mengingat sebuah emosi. Sebuah cinta, cinta yang romantis.” “Nggak, itu nggak masuk akal, absurd. Dia itu teman yang baik, tapi kami nggak saling mencintai.” “Tapi kau memainkan bagian itu seperti seolah-olah itu adalah memori cintamu. Kau masih sangat muda, namun kau pernah ditinggalkan. Itulah mengapa kau memainkan bagian ketiga sampai kayak gitu. Kebanyakan pemain cello, mereka bermain dengan kegembiraan. Tapi bagimu, ini bukan tentang kegembiraan, ini tentang kenangan akan saat yang menyenangkan yang telah berlalu selamanya.” Mereka sering mengobrol seperti ini, dan ia sering tergoda untuk menanyainya kembali. Tapi sama seperti ia nggak pernah berani mengajukan pertanyaan pribadi kepada Petrovic sepanjang waktu ia belajar padanya, ia sekarang merasa tidak dapat menanyakan sesuatu tentang wanita itu. Sebagai gantinya, ia berdiam diri pada hal-hal kecil tentang wanita itu — bagaimana ia sekarang tinggal di Portland, Oregon, bagaimana ia pindah ke sana dari Boston tiga tahun lalu, bagaimana ia tidak menyukai Paris “karena terasosiasi dengan kesedihan” — tapi menarik diri dari menanyakan hal hal yang lebih jauh. Wanita itu akan tertawa lebih mudah sekarang daripada pada hari-hari pertama persahabatan mereka, dan ia membangun kebiasaan itu, saat mereka melangkah keluar dari Excelsior dan menyeberangi piazza, saling bergandengan tangan. Inilah titik di mana kami pertama kali mulai memperhatikan mereka, pasangan yang aneh, ia, Tibor, terlihat jauh lebih muda dari biasanya, wanita itu berusaha kelihatan keibuan, dengan cara lain “seperti aktris kecentilan,” seperti kata Ernesto. Pada hari-hari sebelum kami berbicara dengan Tibor, kami biasa menyia-nyiakan banyak obrolan kosong tentang mereka, seperti yang dilakukan cowok-cowok di band. Jika mereka berjalan melewati kami, bergandengan tangan, kami saling berpandangan dan berkata: “Bagaimana menurutmu? Mereka pernah melakukannya, ya? “Tapi setelah menikmati spekulasi itu, kami kemudian mengangkat bahu dan mengakui bahwa itu tidak mungkin: mereka tidak memiliki atmosfer seorang pencinta. Dan begitu kami mengenal Tibor, dan ia mulai bercerita tentang sore hari di kamarnya, tak seorang pun dari kami berpikir untuk menggodanya atau membuat saran-saran konyol. Lalu suatu sore ketika mereka duduk di alun-alun sambil ngopi-ngopi dan nyemil kue, wanita itu mulai membicarakan pria yang ingin menikahinya. Namanya Peter Henderson dan dia menjalankan bisnis yang sukses di Oregon, jualan peralatan golf. Dia cerdas, baik hati, sangat dihormati di masyarakat. Dia enam tahun lebih tua dari Eloise, tapi nggak terlalu tua. Dia punya dua anak dari pernikahan pertamanya, tapi semuanya sudah diselesaikan secara damai. “Jadi sekarang kau tahulah ya apa yang lakukan di sini,” kata wanita itu dengan tawa gugup yang belum pernah didengar Tibor darinya sebelumnya. “Aku lagi bersembunyi. Peter nggak tahu aku lagi berada di mana.” Kukira itu agak sedikit kejam. Aku meneleponnya hari Selasa kemarin, bilang kepadanya bahwa saya berada di Italia, tapi aku nggak mengatakan kota mana. Dia marah padaku dan kurasa dia emang berhak marah.” “Jadi,” kata Tibor. “Kau menghabiskan musim panas untuk merenungkan masa depanmu.” “Nggak juga. Aku cuma bersembunyi.” “Kamu nggak mencintai Peter?” Wanita itu mengangkat bahu. “Dia pria yang baik. Dan aku nggak punya banyak tawaran lain.” “Peter ini. Apakah dia seorang pencinta musik?” “Oh… dimana aku hidup sekarang, dia pasti akan memperhitungkannya. Setelah itu, dia pergi ke konser. Dan setelah itu, di restoran, dia ngobrol banyak hal baik tentang apa yang baru saja kami dengar. Jadi kukira dia seorang pencinta musik.” “Tapi apakah dia … menghargaimu?” “Dia tahu nggak akan mudah, hidup dengan seorang virtuoso.” Wanita itu mendesah. “Itu sudah menjadi masalah bagiku sepanjang hidupku. Tidak akan mudah untukmu juga. Tapi kau dan aku, kita tidak punya pilihan. Kita harus mengikuti jalan pilihan kita.” Ia tidak membawa-bawa Peter lagi, tapi sekarang, setelah obrolan itu, sebuah dimensi baru telah terbuka dalam hubungan mereka. Ketika wanita itu memiliki saat-saat yang sunyi saat Tibor selesai bermain, atau saat duduk di piazza, ia menjadi jauh, menatap jauh melewati payung-payung meja cafe-cafe, nggak ada yang nggak nyaman, dan jauh dari perasaan diabaikan, Tibor tahu kehadirannya di samping wanita itu sangat dihargai. SUATU SORE ketika ia barusan selesai memainkan sepotong lagu, wanita itu memintanya untuk memainkan lagi satu bagian pendek — hanya delapan bar — dari dekat. Ia melakukan seperti yang diperintahkan dan melihat kerut-kerut kecil berada di dahi si wanita. “Itu nggak terdengar seperti kita,” katanya sambil menggelengkan kepalanya. Seperti biasa, wanita itu duduk di hadapannya di depan jendela besar. “Secara keseluruhan permainanmu bagus. Keseluruhan itu, itulah kita. Tapi di bagian yang itu…” Wanita itu sedikit bergidik. Ia memainkannya lagi, kali ini sedikit berbeda, meski sama sekali tidak yakin apa yang diinginkannya, dan tidak terkejut melihat wanita itu menggelengkan kepalanya lagi. “Maaf,” katanya. “Kau harus mengungkapkannya dengan lebih jelas. Aku nggak ngerti apa maksudnya ‘bukan kita’.” “Maksudmu, kau ingin aku yang memainkannya sendiri? Itukah yang kau katakan?” Wanita itu tadi berbicara dengan tenang, tapi saat ia berbalik menghadap Tibor, Tibor sadar akan ketegangan di antara mereka. Wanita itu menatapnya dengan mantap, setengah menantang, menunggu jawabannya. Akhirnya ia berkata, “Nggak, akan kucoba lagi.” “Tapi kau bertanya-tanya mengapa aku nggak memainkannya sendiri, kan? Pinjamlah alatmu dan tunjukkan apa yang kumaksud.” “Nggak…” Ia menggelengkan kepalanya dengan harapan terlihat tidak acuh. “Nggak. Kupikir apa yang selalu kita lakukan cukup berhasil. Kau memberikan saran secara verbal, lalu aku yang main. Dengan begitu, aku nggak cuma bisa mencontoh, mencontoh, dan mencontoh. Kata-katamu membuka wawasanku. Kalau kau sendiri yang main sendiri, wawasanku nggak terbuka. Aku cuma bisa mencontohnya.” Wanita itu terdiam sesaat, lalu berkata: “Kau mungkin benar. Baiklah, aku akan mencoba dan mengungkapkan ekspresiku sedikit lebih baik.” Dan selama beberapa menit berikutnya wanita itu berbicara — tentang perbedaan antara epilog dan bagian tengah yang menjembatani bagian-bagian lagu. Kemudian saat Tibor memainkan bar itu sekali lagi, wanita itu tersenyum dan mengangguk setuju. Tapi dari kejadian kecil itu, sesuatu yang gelap melingkupi sore mereka. Mungkin itu sudah lama ada, tapi sekarang seperti keluar dari botol dan melayang di antara mereka. Di lain waktu, saat mereka duduk di piazza, Tibor menceritakan kepada wanita itu tentang bagaimana pemilik lama cello itu, sebelum dirinya, melewati hari-hari Uni Soviet dengan menukar beberapa pasang jins Amerika. Ketika ia menyelesaikan ceritanya, wanita itu menatapnya dengan senyum setengah ingin tahu dan berkata: “Cello-mu itu bagus. Suaranya bagus. Tapi karena aku nggak pernah menyentuhnya, aku nggak bisa menilainya dengan baik.” Ia tahu bahwa wanita itu mulai akan mengungkit-ungkit masalah yang tadi, dan ia segera membuang muka, berkata: “Bagi seseorang yang bertubuh tinggi, itu bukan alat yang memadai. Bahkan untukku, sekarang, itu hampir nggak memadai.” Ia sadar ia nggak bisa lagi bersikap santai saat berbicara dengan wanita itu karena khawatir wanita itu akan membajaknya dan kembali mengungkit-ungkit itu. Bahkan selama obrolan mereka yang paling menyenangkan, sebagian dari pikirannya harus tetap waspada, siap untuk menghentikannya jika ia menemukan satu lagi pembukaan. Meski begitu, ia tidak bisa mengalihkannya setiap saat, dan ia hanya pura-pura tidak mendengar saat wanita itu mengatakan hal-hal seperti: “Oh, akan jauh lebih mudah jika aku bisa memainkannya untukmu!” MENUJU AKHIR SEPTEMBER — angin dingin sepoi-sepoi — Giancarlo menerima telepon dari Tuan Kaufmann di Amsterdam; ada lowongan untuk pemain cello di sebuah kelompok kecil di sebuah hotel bintang lima di pusat kota. Kelompok ini bermain di galeri seorang penyanyi yang menghadap ke ruang makan empat malam dalam seminggu, dan para pemusik juga memiliki “tugas ringan dan non-musik” lainnya di tempat lain di hotel ini. Persyaratan dewan dan akomodasi tersedia. Kaufmann segera ingat Tibor dan pos itu terbuka untuknya. Kami segera menyampaikan berita itu ke Tibor — di kafe pada senja Mr. Kaufmann menelepon — dan kupikir kami semua tercengang oleh respons dingin Tibor. Ini tentu saja kontras dengan sikapnya di awal musim panas lalu, saat kami memperbaiki “audisi”nya dengan Tuan Kaufmann. Giancarlo, khususnya, menjadi sangat marah. “Jadi, apa sih yang kau pikirkan?” Ia menuntut bocah itu. “Apa yang kau harapkan? Carnegie Hall?” “Aku nggak tahu berterima kasih. Meski demikian, aku harus memikirkan beberapa hal terkait ini pemikiran. Bermain untuk orang saat mereka ngobrol dan makan. Dan tugas hotel lainnya. Apakah ini benar-benar cocok untuk orang sepertiku?” Giancarlo selalu kehilangan kesabarannya terlalu cepat, dan sekarang kami harus menghentikannya menarik jaket Tibor dan berteriak ke wajahnya. Beberapa dari kami bahkan merasa berkewajiban untuk membela bocah itu, menunjukkan bahwa itu adalah kehidupannya, dan ia tidak berkewajiban untuk mengambil pekerjaan yang nggak dia sukai. Akhirnya semua menjadi tenang, dan Tibor kemudian mulai setuju bahwa pekerjaan itu punya beberapa poin bagus kalau dipandang sebagai tindakan sementara. Dan kota kami, ia menunjukkan dengan agak tidak percaya diri, akan menjadi daerah terpencil setelah musim turis berakhir. Amsterdam setidaknya merupakan pusat kebudayaan. “Aku akan memikirkan hal ini dengan hati-hati,” katanya pada akhirnya. “Kuharap kau akan memberi tahu Tuan Kaufmann bahwa aku akan memberikan keputusanku dalam tiga hari.” Giancarlo nggak puas dengan jawaban ini — ia mengharapkan Tibor bersyukur, bagaimanapun juga — tapi ia akhirnya pergi juga menghubungi Mr. Kaufmann. Selama diskusi malam itu, Eloise McCormack nggak disebut-sebut, tapi jelas bagi kami semua pengaruhnya ada di balik semua yang telah dikatakan Tibor. “Wanita itu mengubahnya menjadi seorang brengsek dan sombong,” kata Ernesto setelah Tibor pergi. “Biarkan dia membawa sikapnya itu ke Amsterdam. Dia akan segera ditendang di mana-mana.” TIBOR NGGAK PERNAH MEMBERITAHU Eloise tentang audisinya dengan Mr. Kaufmann. Ia sudah berkali-kali hampir melakukannya, tapi selalu nggak jadi, dan semakin dalam persahabatan mereka tumbuh, semakin terasa pengkhianatan bahwa ia pernah menyetujui hal seperti itu. Jadi tentu saja Tibor nggak merasa perlu berkonsultasi dengan Eloise tentang perkembangan terakhir ini, atau bahkan membiarkan wanita itu tahu apa pun tentang mereka. Tapi dia nggak pernah pandai dalam menyembunyikan, dan keputusan untuk merahasiakannya dari wanita itu menghasilkan sesuatu yang tak terduga. Cuaca hangat tak biasa sore itu. Ia datang ke hotel seperti biasa, dan mulai memainkan beberapa lagu baru yang telah disiapkannya. Tapi setelah hampir tiga menit, wanita itu menyuruhnya berhenti, dengan mengatakan: “Ada yang salah. Aku memikirkan itu saat kau masuk. Aku mengenalmu cukup baik, Tibor, aku tahu, bahkan dari caramu mengetuk pintu. Sekarang aku sudah dengar kau bermain, aku tahu pasti. Nggak ada gunanya, kau nggak bisa menyembunyikannya dariku.” Ia merasa sedikit cemas, dan meletakkan busur cello-nya, hendak membuat dadanya lega, saat wanita itu mengangkat tangannya dan berkata: “Ini adalah sesuatu yang nggak bisa kita tinggalkan. Kau selalu berusaha menghindarinya, tapi nggak ada gunanya. Aku mau berdiskusi tentang ini. Seminggu terakhir ini, aku sudah lama ingin membahasnya. “Benarkah?” Ia menatapnya takjub. “Ya,” kata wanita itu, dan menggerakkan kursinya sehingga ia langsung berhadapan dengan Tibor. “Aku nggak pernah bermaksud menipumu, Tibor. Beberapa minggu terakhir in cukup sulit, dan kamu telah menjadi teman yang baik. Aku sangat nggak suka kalau kamu berpikir aku bermaksud mempermainkanmu. Tidak, tolong, jangan coba-coba menghentikanku kali ini. Aku ingin mengatakan ini. Kalau kau memberiku cello itu sekarang dan memintaku untuk memainkannya, aku harus bilang nggak, aku nggak bisa melakukannya. Bukan karena cello-nya nggak cukup bagus, bukan gitu. Tapi kalau kau sekarang berpikir bahwa aku palsu, bahwa entah bagaimana aku berpura-pura menjadi sesuatu yang nggak kusukai, maka aku ingin bilang bahwa kau salah. Lihatlah semua yang telah kita raih bersama. Bukankah itu cukup untuk membuktikan bahwa aku nggak membohongimu apapun? Ya, kubilang aku seorang virtuoso. Baiklah, kujelaskan apa yang kumaksud dengan itu. Yang kumaksud adalah bahwa aku dilahirkan dengan bakat istimewa, sama sepertimu. Kau dan aku, kita memiliki sesuatu yang kebanyakan pemain cello lainnya nggak pernah punya, nggak peduli seberapa keras mereka berlatih. Aku bisa mengenalinya di dalam dirimu, saat aku pertama kali mendengar permainanmu di gereja itu. Dan dalam beberapa hal, kau pasti sudah mengenalinya dalam diriku juga. Itu sebabnya kau memutuskan untuk datang ke hotel ini waktu itu. “Nggak banyak yang kayak kita, Tibor, dan kita saling mengenal. Kenyataan bahwa aku belum pernah belajar bermain cello tidak benar-benar mengubah apapun. Kau harus mengerti, aku seorang virtuoso. Tapi kemampuanku belum terbuka. Kau juga, kemampuanmu masih belum sepenuhnya terbuka, dan itulah yang telah kulakukan beberapa minggu terakhir ini. Aku mencoba membantumu membuka dan mengeluarkan seluruh kemampuanmu itu. Tapi aku nggak pernah mencoba menipumu. Sembilan puluh sembilan persen para pemain cello, nggak punya apa-apa, nggak ada yang bisa dibuka. Jadi orang kayak kita, harus saling membantu. Saat kita melihat satu sama lain di alun-alun yang padat, di mana pun, kita harus saling membantu satu sama lain, karena hanya sedikit oang-orang seperti kita.” Tibor melihat air mata menetes di mata wanita itu, tapi suaranya tetap stabil. Dan wanita itu sekarang terdiam dan berbalik darinya lagi. “Jadi kau percaya bahwa kau akan menjadi pemain cello yang hebat,” katanya setelah beberapa saat. “Seorang virtuoso. Selain kita, Nona Eloise, kita harus berani dan teguh hati dan melepaskan semua kemampuan kita, seperti yang kau katakan, sepanjang waktu nggak yakin apa yang akan kita temukan di balik itu semua. Namun kau, kau nggak peduli dengan ‘melepaskan kemampuan’ ini. Kamu nggak melakukan apa apa. Tapi kau sangat yakin kalau kau adalah seorang virtuoso…” “Tolonglah jangan marah. Aku tahu kedengarannya agak gila. Tapi begitulah adanya, itu benar. Ibuku, ia langsung mengenali bakatku saat aku kecil. Aku sangat berterima kasih padanya untuk itu setidaknya. Tapi guru yang ia temukan untukku, waktu aku berumur empat tahun, saat aku berumur tujuh tahun, saat aku berumur sebelas tahun, mereka kurang oke. Ibu nggak tahu itu, tapi memang begitu. Bahkan sebagai seorang gadis kecil, aku punya insting ini. Aku tahu bahwa aku harus melindungi bakatku dari orang-orang yang, betapapun baik maksud mereka, dapat benar-benar menghancurkannya. Jadi aku menutup mereka. Kau harus melakukan hal yang sama, Tibor. Bakatmu sangat berharga.” “Maafkan aku,” sela Tibor, sekarang lebih lembut. “Kau bilang kau memainkan cello saat kecil. Tapi hari ini …” “Aku belum menyentuh instrumen itu lagi sejak berumur sebelas tahun. Tidak sejak hari di mana aku menjelaskan kepada Ibu, aku nggak bisa melanjutkan latihanku dengan Pak Roth. Dan dia mengerti. Dia setuju bahwa lebih baik nggak melakukan apa-apa dan menunggu. Yang paling penting adalah nggak merusak bakat yang kumiliki. Waktuku mungkin masih akan datang. Oke, kadang-kadang kupikir aku sudah terlambat. Umurku empat puluh satu tahun sekarang. Tapi setidaknya aku nggak merusak sesuatu yang kubawa sejak lahir. Aku telah bertemu dengan banyak guru selama bertahun-tahun yang telah mengatakan bahwa mereka akan membantuku. Terkadang sulit untuk diceritakan, Tibor, bahkan untuk kita. Guru-guru ini, mereka sangat … profesional, mereka berbicara dengan baik, kau mendengarkan, dan kau tertipu. Kau pikir, ya, akhirnya, seseorang akan membantuku , dialah orangnya. Kemudian kau menyadari bahwa dia bukanlah orang yang tepat. Dan saat itulah kau harus bersikap keras dan menutup diri. Ingat itu, Tibor, selalu akan lebih baik kalau menunggu. Terkadang aku merasa sedih, bahwa aku masih belum bisa mengeluarkan bakatku. Namun aku belum merusaknya, dan itulah yang penting.” Tibor akhirnya memainkan beberapa bagian lagu yang telah disiapkannya, tapi mereka nggak mendapatkan mood seperti biasanya dan mereka mengakhiri sesi lebih awal. Di piazza, mereka minum kopi, berbicara sesekali, sampai ia memberitahu wanita itu tentang rencananya untuk meninggalkan kota selama beberapa hari. Ia selalu ingin menjelajahi daerah sekitar, katanya, jadi sekarang ia mengatur liburan pendek untuk dirinya sendiri. “Itu akan baik untukmu,” kata wanita itu pelan. “Tapi jangan terlalu lama pergi. Masih banyak yang harus kita lakukan.” Tibor meyakinkan wanita itu bahwa ia akan kembali paling lama dalam seminggu. Meski begitu, masih ada sesuatu yang mengganjal dalam sikap wanita itu saat mereka berpisah. Tibor sama sekali nggak benar-benar pergi liburan: ia belum mengaturnya. Tapi setelah meninggalkan Eloise siang itu, dia pulang ke rumah dan melakukan beberapa panggilan telepon, akhirnya memesan tempat tidur di hostel pemuda di pegunungan dekat perbatasan Umbria. Ia datang menemui kami di kafe malam itu, dan juga memberitahu kami tentang perjalanannya — kami memberinya berbagai saran yang saling bertentangan mengenai ke mana harus pergi dan apa yang harus dilihat — dia agak malu-malu meminta Giancarlo agar membiarkan Kaufmann tahu bahwa ia ingin mengambil tawaran pekerjaan yang kemarin. “Apa lagi yang bisa kulakukan?” katanya kepada kami. “Saat aku kembali, aku nggak punya uang sama sekali.” TIBOR SUDAH BERISTIRAHAT dengan cukup menyenangkan di pedesaan kami. Ia nggak banyak bercerita tentang hal itu, selain bahwa dia berteman dengan beberapa pejalan kaki dari Jerman, dan bahwa ia telah menghabiskan lebih dari yang bisa ia dapatkan di trattoria-trattoria* di lereng bukit. Ia kembali setelah seminggu, terlihat segar, tapi cukup gelisah untuk meyakinkan dirinya bahwa Eloise McCormack tidak meninggalkan kota selama ketidakhadirannya. Kerumunan turis mulai berkurang saat itu, dan pelayan kafe membawa pemanas ke teras dan meletakkannya di antara meja di luar ruangan. Di sore saat ia kembali, di waktu yang biasanya untuk mereka, Tibor membawa cello-nya ke Excelsior lagi, dan merasa sangat senang saat menyadari bahwa Eloise menunggunya di sana dengan penuh kangen. Wanita itu menyambutnya dengan bungah, dan sama seperti orang lain, dengan penuh kasih sayang, menawarkan makanan atau minuman, ia mendorong Tibor ke kursinya dan nggak sabar mulai membongkar cello sambil mengatakan: “Mainkan untukku! Ayolah! Mainkan!” Mereka menikmati sore yang indah bersama. Tibor sebelumnya khawatir bagaimana kelanjutannya, setelah ia “mengaku dosa” dan mengingat cara terakhir mereka berpisah, tapi semua ketegangan itu sepertinya telah menguap, dan atmosfir di antara mereka terasa lebih baik dari sebelumnya. Bahkan ketika, setelah ia selesai memainkan cello-nya, wanita itu memejamkan mata dan memulai kritik yang panjang lebar tentang permainannya, ia tidak merasakan kebencian, hanya keinginan untuk bisa memahaminya semaksimal mungkin. Esok harinya dan esoknya lagi, ia merasakan perasaan yang sama: santai, kadang bahkan geli, dan ia merasa yakin ia nggak pernah bermain lebih baik dalam hidupnya. Mereka sama sekali nggak menyinggung pembicaraan yang terjadi sebelum ia pergi, dan wanita itu juga nggak bertanya tentang liburannya di pedesaan. Mereka hanya ngobrol-ngobrol tentang musiknya. Kemudian pada hari keempat setelah ia kembali, serangkaian kecelakaan kecil — termasuk bak toilet yang bocor di kamarnya — membuatnya nggak pergi ke Excelsior pada jam biasanya. Saat ia melewati kafe, cahaya matahari memudar, para pelayan menyalakan lilin di dalam mangkuk kaca kecil, dan kami memainkan beberapa nomor. Ia melambaikan tangan kepada kami, lalu melanjutkan perjalanan melintasi alun-alun menuju hotel, cello yang dibawanya membuatnya kelihatan seperti terpincang-pincang. Ia melihat resepsionis sedikit ragu sebelum menelepon wanita itu. Kemudian saat wanita itu membuka pintu, ia menyapa Tibor dengan hangat, tapi entah bagaimana terasa berbeda, dan sebelum Tibor sempat berbicara, wanita itu berkata dengan cepat: “Tibor, aku senang sekali kau datang. Aku memberitahu Peter segalanya tentang dirimu. Benar, Peter akhirnya menemukanku!” Kemudian wanita itu berteriak ke dalam ruangan: “Peter, dia ada di sini! Tibor ada di sini. Dengan cello-nya juga! “ Saat Tibor masuk ke ruangan itu, seorang pria besar berambut pirang dan beruban mengenakan kaos polo pucat bangkit dan tersenyum. Dia mencengkeram tangan Tibor dengan sangat tegas dan berkata, “Oh, saya sudah pernah mendengar semuanya tentang Anda. Eloise yakin kau akan menjadi bintang besar.” “Peter orangnya gigih,” katanya. “Aku tahu akhirnya dia akan menemukanku .” “Jangan bersembunyi dariku,” kata Peter. Kemudian dia menarik sebuah kursi untuk Tibor, menuang segelas sampanye dari es di lemari. “Ayolah, Tibor, tolong kami merayakan pertemuan kami.” Tibor menyesap sampanye, menyadari bahwa Peter telah menarikkan untuknya sebuah kursi yang biasa ia gunakan untuk main cello, secara kebetulan. Eloise telah lenyap entah ke mana, dan untuk sementara, Tibor dan Peter mengobrol, dengan kacamata di tangan mereka. Peter tampak ramah dan mengajukan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin Tibor tumbuh di tempat seperti Hungaria? Apakah mengejutkan saat pertama kali datang ke Barat? “Saya suka memainkan musik,” kata Peter. “Kau sangat beruntung. Aku ingin belajar. Agak terlambat sekarang, kurasa.” “Oh, tak ada kata terlambat dalam belajar,” kata Tibor. “Kau benar. Jangan pernah bilang terlambat. Terlambat hanyalah sebuah alasan. Tidak, kenyataannya, aku orang yang sibuk, dan kukatakan pada diri sendiri bahwa aku terlalu sibuk untuk belajar bahasa Prancis, belajar instrumen, dan membaca War and Peace. Semua hal yang selalu ingin kulakukan. Eloise biasa bermain musik saat masih kecil. Kurasa dia sudah memberitahumu tentang itu. “ “Ya, dia menceritakannya padaku. Aku tahu dia punya bakat alami.” “Oh, dia yakin begitu. Siapa pun yang mengenalnya akan bisa melihatnya. Dia memiliki kepekaan seperti itu. Dialah yang seharusnya mendapatkan pelajaran itu. Aku, aku hanya Tuan Jemari Pisang. “Dia mengangkat kedua tangannya dan tertawa. “Aku ingin bermain piano, tapi apa yang bisa kau lakukan dengan tangan seperti ini? Bagus untuk menggali bumi, itulah yang dilakukan orang-orang sepertiku dari generasi ke generasi. Tapi wanita itu “ — dia menunjuk ke arah pintu dengan gelasnya — ” sekarang dia sensitif. “ Akhirnya, Eloise muncul dari kamar tidur dengan gaun malam yang gelap dan banyak perhiasan. “Peter, jangan paksa Tibor,” katanya. “Dia nggak tertarik dengan golf.” Peter mengulurkan tangannya dan menatap Tibor dengan tajam. “Katakan, Tibor. Apakah aku mengatakan satu kata kepadamu tentang golf? “ Tibor bilang ia harus pergi; bahwa ia bisa melihat dia mengganggu makan malam mereka. Ini disambut oleh protes dari keduanya, dan Peter berkata: “Sekarang lihat aku. Apakah aku kelihatan berdandan untuk makan malam?” Dan meskipun Tibor mengira dia terlihat sangat lumayan, ia memberi tawa yang sepertinya diharapkan darinya. Lalu Peter berkata: “Kau nggak bisa pergi tanpa memainkan sesuatu. Aku sudah sering mendengar tentang permainan musikmu.” Bingung, Tibor benar-benar mulai melepas kotak cello-nya, saat Eloise berkata dengan tegas dalam suaranya: “Tibor benar. Waktu sudah berjalan. Restoran di kota ini nggak menjaga mejamu kalau kau nggak datang tepat waktu. Peter, berpakaianlah. kalau perlu bercukur juga? Aku akan mengantar Tibor keluar. Aku ingin berbicara dengannya secara pribadi.” Di lift, mereka tersenyum mesra satu sama lain, tapi tidak berbicara. Ketika mereka keluar, mereka menemukan piazza menyala malam itu. Anak-anak setempat, yang kembali dari liburan mereka, sedang menendang bola, atau kejar-kejaran di sekitar air mancur. Jalanan malam itu mengalir penuh, dan kurasa musik kami pasti melayang-layang di udara ke tempat mereka berdiri. “Baiklah, begitulah akhirnya,” katanya akhirnya. “Dia menemukanku, jadi kukira dia pantas mendapatkanku.” “Dia orang yang paling menawan,” kata Tibor. “Kau ingin kembali ke Amerika sekarang?” “Dalam beberapa hari. Kukira aku akan melakukannya.” “Kau akan menikah?” “Kurasa begitu.” Untuk sesaat, wanita itu menatapnya dengan sungguh-sungguh, lalu membuang muka. “Kurasa begitu,” katanya lagi. “Aku berharap kau bahagia. Dia orang baik. Juga seorang pencinta musik. Itu penting bagimu.” “Iya. Itu yang penting.” “Saat kau bersiap-siap, kami nggak berbicara tentang golf, tapi tentang pelajaran musik. “ “Oh masa’? Maksudmu untuk dia atau untukku?” “Untuk kalian berdua. Namun, kukira nggak akan ada banyak guru di Portland, Oregon, yang bisa mengajarimu.” Wanita itu tertawa. “Seperti kukatakan, sulit bagi orang seperti kita.” “Ya, kuhargai itu. Setelah beberapa minggu terakhir ini, aku menghargai hal itu lebih dari sebelumnya.” Kemudian ia menambahkan: “Nona Eloise, ada sesuatu yang harus kukatakan sebelum kita berpisah. Aku akan segera berangkat ke Amsterdam, di mana aku mendapat posisi di sebuah hotel besar.” “Kamu mau jadi portir?” “Nggaklah. Aku akan bermain dalam kelompok kecil di ruang makan hotel. Kami akan menghibur tamu hotel saat mereka makan.” Tibor mengawasi wanita itu dengan hati-hati dan melihat sesuatu menyala di belakang matanya, lalu memudar. Wanita itu meletakkan tangannya di lengan Tibor dan tersenyum. “Kalau begitu, semoga berhasil.” Kemudian dia menambahkan: “Tamu-tamu hotel itu. Mereka bakalan senang.” “Kuharap begitu.” Untuk beberapa saat, mereka tetap berdiri di sana bersama, tepat di luar genangan cahaya yang berkilau di depan hotel, cello besar di antara mereka. “Dan kuharap juga,” kata Tibor, “Kau akan sangat senang dengan Mr. Peter.” “Aku juga berharap begitu,” kata wanita itu dan tertawa lagi. Lalu ia mencium pipi Tibor dan memeluknya erat-erat. “Jaga dirimu,” katanya. Tibor mengucapkan terima kasih, lalu sebelum ia menyadarinya, ia melihat wanita itu berjalan kembali menuju Excelsior. TIBOR MENINGGALKAN KOTA KAMI segera setelah itu. Terakhir kali kami minum-minum dengannya, dia sangat berterima kasih kepada Giancarlo dan Ernesto untuk pekerjaannya, dan kepada kami semua untuk persahabatan kami, tapi aku tidak bisa tidak mendapat kesan bahwa ia agak menjaga jarak dengan kami. Sebagian dari kami beranggapan begitu, bukan hanya aku, meski Giancarlo, biasanya, melihat dari sisi Tibor, mengatakan bahwa bocah itu sedang merasa bersemangat dan gugup akan langkah selanjutnya dalam hidupnya. “Bersemangat? Bagaimana mungkin dia bisa bersemangat? “Kata Ernesto. “Dia menghabiskan musim panas untuk diberitahu bahwa dia jenius. Main musik di hotel, itu kemunduran. Duduk ngobrol-ngobrol dengan kita, itu juga kemunduran. Dia adalah bocah yang baik di awal musim panas. Tapi setelah apa yang dilakukan wanita itu, aku senang kita melihat sisi lainnya.” Seperti kukatakan, ini semua terjadi tujuh tahun yang lalu. Giancarlo, Ernesto, semua anak-anak lain sejak saat itu kecuali aku dan Fabian, mereka semua telah pindah. Sampai aku melihatnya di piazza tempo hari, aku belum pernah kepikiran tentang maestro muda Hungaria kami untuk sekian lama. Ia nggak begitu sulit dikenali. Berat badannya bertambah, sudah pasti, dan sekeliling lehernya terlihat lebih tebal. Dan caranya memberi isyarat dengan jarinya, memanggil pelayan, ada sesuatu — mungkin cuma imajinasiku — sesuatu yang nggak sabaran, ketidakpedulian yang datang dengan semacam kepahitan tertentu. Tapi mungkin itu nggak adil. Lagi pula, aku hanya melihatnya sekilas. Meski begitu, menurutku, dia telah kehilangan kecemasan masa muda yang menyenangkan, dan perilaku hati-hati yang dimilikinya saat itu. Nggak ada hal buruk di dunia ini, kau bisa bilang gitu. Aku akan pergi dan ngobrol-ngobrol dengannya, tapi pada akhir acara kami, ia sudah pergi. Sepengetahuanku, dia di sini hanya saat sore hari. Dia mengenakan jas — bukan yang bagus, yang biasa aja — jadi kayaknya ia memiliki pekerjaan harian di belakang meja di suatu tempat. Mungkin ia punya bisnis di dekat-dekat sini dan datang ke kota kami hanya untuk nostalgia, siapa yang tahu? Jika ia kembali ke alun-alun, dan aku nggak lagi main, aku akan pergi dan ngobrol-ngobrol dengannya.
|
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |