kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
Ini kisah kelabu dari dua orang sejoli yang berpisah saat sedang cinta-cinta nya, tapi bukan juga cerita tentang seorang kekasih yang tidak bisa Move on lalu meringgis tangis menggaruk-garuk dinding. Kisah ini dituturkan seorang pendongeng tersohor di warung yang selalu minta rokok dan ngutang segelas dua gelas kopi. Gaya tutur pendongeng yang aduhai, membacanya seakan kita mendengarkan cerita. Jadi sebelum membaca tulisan ngawur ini ada baiknya menyediakan kopi dan remah tembakau terlebih dahulu, jika tak suka tembakau pisang goreng pun nikmat jua. Mari kita sesap sari novel ini. Seperti kapuk randu tipis dan tak terpakai yang terbang melayang ke mana angin membawa. Enteng. Teng! Kosong tubuhnya, kosong pula kepalanya. Mat Dawuk jelas tak menyadari manakala ia berlari melesat membelah jalan desa. Ketika ia menabrak Pintu UGD, ia melonglong-longlong “Tolong Istriku! Tolong anakku!, Tolong! Tolong...!” Mat Dawuk tokoh utama novel ini seorang lelaki buruk rupa, seburuk-buruknya yang pernah dilihat oleh manusia. Melihatnya bagaikan sebuah kesialan. Namun, cinta yang diam-diam dia sembunyikan pada seorang kembang desa Inayatun mengubah segalanya, hidup yang kian tragis dan pilu. Sebagai seorang pembunuh dan petarung hebat bisa kiranya Mat Dawuk melonglong merintih. Tapi sesungguhnya kesedihan yang ia bawa sampai mati ini bukan karena cinta, namun karena struktur yang terjadi di masyarakat, norma dan nilai yang dianggap baik oleh segolongan orang, serta anggapan kebahagian adalah milik mereka yang cantik ataupun rupawan. Inayatun seorang gadis yang tumbuh dan disukai banyak pria, tapi bikin pusing keluarganya. Ia seorang anak dari pamong desa yang kawakan dengan pengetahuan agama yang mendalam. Inayatun pandai mengaji, tapi sepandai itulah ia merayu laki-laki. Bacaan arabnya fasih, sefasih ia berbicara kotor dan memaki. Petualangannya dengan lelaki memang tidak berkesudahan, petualangan yang membawa Inayatun menjadi TKI di Malaysia dengan cibiran “paling-paling hanya bisa jualan susu”. Suatu waktu lelaki yang ia “singgahi” tergila-gila padanya, tak mau melepas Inayatun. Lelaki itu berbuat kasar, menyisakan tanda lebab dan darah. Saat melarikan diri Inayatun bertemu dengan seorang lelaki mengerikan, wajah penuh luka. Mat Dawuk, orang yang dianggap tidak ada di kampungnya. Mat Dawuk menolong Inayatun, awalnya ia pun ketakutan. Perlahan pembicaraan mereka mengalir, dan dari sana Inayatun tahu bahwa sedari dulu ternyata Mat Dawuk memperhatikannya. Mat Dawuk mengetahui segala kesenangan dari Inayatun dan ia menyimpan semuanya dengan rapi. Ketulusan membuat mereka berbicara dengan cinta sekaligus meneruskan nya pada lakon purbakala. Hubungan mereka yang bahagia ingin mereka lanjutkan layaknya sepasang suami istri yang membangun mahligai rumah tangga. Mat Dawuk dan Inayatun memutuskan pulang ke Rumbuk Randu. Dua manusia yang dianggap sampah ini kembali, dengan menebar rasa cemburu ke seluruh sudut kampung hingga ke belantara hutan. Dua orang yang mengambil jalan damai dengan cara pulang masih saja mendapat nyinyiran dari semua penduduk, meski mereka telah memilih tinggal di rumah bekas kandang sapi yang separuh halamannya masuk dalam kawasan Perhutani. Halaman ini lah yang nantinya menyerap semua bahagia dari gubuk mereka. “Mandor Har datang, ia tanya-tanya soal lahan hutan yang kita garap, ditanami apa, apakah kau sudah terima jatah gancu atau belum, apakah bibit sengon cukup atau tidak, dan hal-hal semacam itu. Termasuk tanah pekrangan yang bagian tanah Perhutani ” Mandor Har pengangum Inayatun. Ia tidak yakin Ina telah berubah, apalagi dengan menikahi Mat Dawuk yang kuman saja enggan melihat wajahnya. Inayatun memang selalu mendaku, seperempat laki-laki di Rumbuk Randu pernah merayunya dan setidaknya separoh dari itu ia ladeni. Dan ia mengenal para lelaki itu lebih baik dibanding istri-istri mereka. Setelah menikah dengan Mat Dawuk, ia berjanji untuk tak lagi gampangan. Tapi ia masih suka keceplosan membicarakannya, bahkan membanggakannya. Karena itu perempuan di Rumbuk Randu masih menaruh curiga padanya, namun diakui atau tidak mereka belajar menjadi perempuan yang lebih bahagia, lebih bangga atas dirinya dari Inayatun. Ina menjadi ilham sekaligus bencana bagi kampungnya. Kembali ke Mandor Har, ya Mandor Har yang masih terbayang-bayang mencicipi tiap jengkal tubuh Inayatun. Sebagai orang Perhutani, Mandor Har memiliki status sosial yang tinggi di Rumbuk Randu, seburuk apapun perangainya. Banyak orang bergantung padanya, termasuk para Blandong pencuri kayu hutan yang sering bermain drama tangkap-menangkap. Rekan drama Mandor Har adalah Blandong Hasan, seorang pencuri kayu yang selalu “berbagi” dengannya. Orang-orang Rumbuk Randu memang menaruh sebagian hidupnya dengan hutan. Tak mungkin jadi nelayan karena terlalu jauh dari pantai, nanggung juga kalau disebut petani secara turun temurun mereka hanya pesanggem, penggarap ladang hutan. Rumbuk Randu adalah kampung dengan hutan jati, kayu terbaik di dunia. Tapi semua orang tahu orang Jawa hanya jadi penebangnya saja. Jati membawa penderitaan bagi mereka, pada saat belanda memutuskan menghubungkan seluruh jawa dengan besi yang berbantalkan kayu jati mereka menjadi buruh yang hanya dibayar setengah. Mereka menyeret gelondongan-gelondongan jati dari dalam hutan hingga ke jalan raya atau bahkan ke galangan-galangan kapal sembari dicambuk. Ratusan tahun penindasan itu tidak berakhir, dari orang asing hingga kepenjajahan saudara se tanah kelahiran. Ketergantungan pada hutan membuat mereka menjadi lahan penindasan baru oleh penguasa hutan yang dibekali oleh negara, Mandor Har salah satu nya. Siang yang kelabu Mandor Har tahu, jadwal Mat Dawuk pergi ke Alas menggarap tanah hutan yang ia tanami. Ditengah perjalanan Mandor Har bersama Blandong Hasan mencoba mengintimidasi. Ia ditawari untuk menjadi pencuri kayu oleh Blandong Hasan di depan Mandor Har. Ia tahu ini hanyalah sebuah penghinaan, dan Mandor Har kembali mengingatkan soal rumah kandangnya yang masuk ke tanah Perhutani. Melihat Mat Dawuk menuju hutan Mandor Har dengan Blandong hasan memacu motor trail-nya menuju kampung, rumah kandang tepatnya. Mandor Har dan Blandong Hasan yang setengah mabuk memaksa masuk ke dalam rumah kandang. Inayatun seorang diri di dalamnya. Mandor Har berbasa-basi menanyakan tanah hutan yang mereka garap dan rumah kandang yang masuk ke lahan Perhutani. Pertanyaan yang terus diulang oleh Mandor Har. Inayatun pergi ke dapur untuk menunjukkan ketidaksukaan pada tamunya, namun Mandor Har membuntuti. Mandor Har mencoba mendekap. Inayatun memberikan perlawanan. Perlawanan kuat yang membuat Mandor Har dan Blandong Hasan kewalahan. “Sekuat apapun kau berteriak tidak akan ada yang medengarmu” ucap Mandor Har diikuti ketawa keras dari Blandong Hasan. Dua bajingan tengik ini terus mencoba memerkosa Inayatun, perlawanan yang kuat akhirnya membuat Blandong Hasan mengeluarkan kapak besar dengan harapan Inayatun melemah. “aku sedang hamil” Inayatun mengiba, namun dua orang ini malah tertawa “kami harus ikut berbagi, agar wajah anakmu tak seburuh wajah bapaknya” Mat Dawauk yang telah mendapat pertanda berlari sekencang mungkin dari dalam hutan, ia hanya membayangkan Inayatun. Ia merasa bersalah karena tidak menuruti kemauan istrinya yang untuk ikut ke dalam hutan sambil digendong. Ia belari, hampir terbang. Ia dobrak pintu dan mendapati istrinya tersungkur di pojok, ketakutan. Dan dua orang laki-laki bengis yang sedang memegang Kapak. Blandong Hasan langsung menyabitkan kapak ke arah Mad Dawuk namun, kapak itu justru mengenai perut Inayatun, perut yang di dalamnya sedang meringkuk anak dari cinta tulus ia dan Inayatun. Mat Dawuk. Diam. Blandong Hasan kembali mengangkat kapaknya hendak membacok, Mat Dawuk dengan siga[ menhhindar dan kapak itu malah menancap di dada Mandor Har. Blandong Hasan membunuh teman sejatinya. Mat Dawuk berlari menuju puskesmas di kecamatan. Seperti kapuk randu tipis dan tak terpakai yang terbang melayang ke mana angin membawa. Enteng. Teng! Dengan menggendong jenazah seorang perempuan yang sedang mengandung bersimbah darah Mat Dawuk berlari membelah desa, semua orang ketakutan. Di siang bolong Mat Dawuk bagai hantu yang menakutkan. “Tolong Istri dan Anak saya dok” Dokter menjawab sambil ketakutan. “Istri dan anak bapak sudah tiada” “Tiada!” Mat Dawuk mengulangi jawaban dokter tadi. Dengan tenang dan sudah tidak lagi ketakutan, si dokter melanjutkan “iya pak istri dan anak bapak sudah meninggal” “tiada!” Di depan puskesma seluruh penduduk Rumbuk Randu yang ingin meleyapkannya sudah berkumpul. Mat Dawuk, Pembunuh Istri dan calon Anaknya. Ia dihakimi oleh seluruh penduduk desa. Semua peralatan menggarap hutan menancap di badannya. Mat Dawuk bertambah buruh dengan tubuh yang ringsek. Di antara gerombolan yang menhajharnya dia melihat Blandong Hasan yang berteriak ia juga telah membunuh Mandor Har yang dihormati sekaligus penolong Rumbuk Randu. Mat Dawuk diam. Tubuhnya dinaikkan kedalam truck pengangkut barang seperti mayat. Ia dibawa ke Polsek. Ia diam. Tidak Mati. Bertahun kemudian, setelah melewati masa-masa di penjara Mat Dawuk pulang ke rumah kandang yang sebagian Tanahnya milik Perhutani. Mengenang Inayatun. Ia putarkan lagu India kesukaan mereka berdua. Pada suatu malam kesunyiannya terganggu. Seluruh penduduk desa setelah bermusyawarah di surau mendatanginya, meminta Mat Dawuk menyerah untuk dihabisi. Dengan rela ia diikat di tiang dalam rumah kandang, ia dibakar hidup-hidup. Di ujung tenggorokan yang sudah hampir meleleh ia bersenandung lagu india parau, lagu cinta yang benar-benar menyedihkan. Ia hangus bersama rumah kandang yang sebagian tanahnya milik Perhutani. Oleh : Iqbal Damanik
0 Comments
Leave a Reply. |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |