kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
Oleh: Chandra Agusta Nasib komik sebagai salah satu produk kebudayaan memang boleh dikatakan cukup sial. Ia seringkali dianggap sebagai bacaan kelas dua. Bentuknya yang unik, yang memadukan antara bahasa tulis dan visual, membuat posisinya menjadi serba nanggung. Bahasa visual komik dianggap tidak mampu untuk mencapai tingkatan seni lukis, begitu pula teks-teks narasinya, dianggap tidak mampu mencapai tingkatan seni sastra. Alhasil, jadilah ia — dalam pandangan sebagian masyarakat kita, sebagai bacaan yang terpinggirkan. Nasib sial itu belum ditambah — khususnya komik dalam negeri, keadaan industri komik nasional yang bernapas terengah-engah. Belum lagi kalau kita membahas tentang pengembangan fungsi komik. Sebagai medium naratif untuk menyampaikan ide, komik lebih sering dikembangkan dalam bentuk fiksi. Kekuatan komik sebagai medium naratif dan potensi komik non-fiksi — dalam perkembangan komik di Indonesia khususnya — adalah sisi yang jarang dieksplorasi oleh komikus-komikus tanah air. Padahal dari sembilan sasaran jangka panjang komik sebagai bentuk seni — dan industri — yang diungkapkan Scott Mcloud dalam bukunya Reinventing Comics, salah satunya adalah keinginan bahwa persepsi masyarakat mengenai komik, yang cenderung dipandang sebagai bacaan kelas dua, dapat diperbaiki. Namun rupanya, hal itu tidak menghentikan para komikus (juga penerbitnya) untuk terus membuat dan menerbitkan komik. Awal tahun 2018 ini, saya baru saja membaca sebuah komik bagus dan penting, yang saya anggap dapat menjawab masalah yang saya sampaikan di paragraf-paragraf di atas. Judulnya Kolong Sinema, karya Alzein P. Merdeka. Komik ini penting karena, pertama, ia punya ilustrasi dan narasi yang apik. Yang ini tak usahlah dibicarakan lebih lanjut, anggap saja penilaian subjektif. Yang kedua, dan ini yang penting, adalah bahwa komik ini berhasil menggali potensi lain dari komik, keluar dari kebanyakan komik lokal yang masih berkutat pada kisah kisah fiksi. Potensi narasi komik ini dimanfaatkan secara cerdik oleh sang komikus untuk membahas secara kritis sebuah medium lain yang lebih populer, film. Komik ini dibuka dengan serangkaian panel yang bercerita tentang mimpi yang dialami Izal. Ia bermimpi tentang superhero-superhero lawas Indonesia. Dari situlah cerita mengalir. Izal yang pencinta film, mulai mengobrol ngalor-ngidul dengan teman-temannya tentang film film superhero lawas, dengan segala pernak-perniknya yang unik dan kadang absurd. Meski tak bisa sepenuhnya dianggap sebagai komik non-fiksi, komik ini membuat kita menikmati, atau membaca sebuah ulasan dan kritik atas sebuah film dalam suasana yang berbeda, kekuatan khas karya-karya sekuensial. Mungkin terlalu jauh untuk berharap bahwa komik akan menggantikan posisi teks-teks panjang bertele-tele yang membahas, katakanlah ulasan film atau sastra, atau hal-hal lain, tapi setidaknya, jalan itu telah dirintis. Keberadaan Kolong Sinema ini dapat dijadikan sebuah tonggak untuk kemunculan komik-komik lain sejenis ini. Alzein P. Merdeka sendiri, adalah satu dari sedikit komikus lokal yang cukup cemerlang. Komik pendeknya Phagia meraih Kosasih Award untuk kategori cerita komik terbaik di tahun 2016. Ia juga, bersama Evan PotonV, menggarap Riot_404, sebuah komik digital tentang bencana teknologi, dengan jumlah subscriber yang lumayan di webtoon. Jadi, sehabis membaca komik ini, bolehlah kita berharap bahwa ke depan, komik Indonesia masih punya harapan. DATA BUKU Judul : Kolong Sinema Author : Alzein P. Merdeka ISBN : 978–602–61294–2–0 Isi : vi+100 halaman Penerbit : Rotasi Books
0 Comments
Leave a Reply. |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |