kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
Ide ecocracy, seolah “membangunkan” Mas Achmad Santosa—lebih dari 30 tahun mengabdi sebagai aktifis, dosen dan peneliti lingkungan hidup—untuk memanfaatkan ide itu.”Belum terpikirkan oleh saya untuk mengembangkan gagasan ini dan pentingnya memperjuangkan green constitution,” kata Mas Ota—sapaan akrab—dalam Kata Sambutan buku Green Constitution karya Prof Jimly Asshiddiqie, ahli tata negara Indonesia. “Dalam wacana tingkat global pun, komunitas hukum lingkungan masih sibuk dengan menormakan pembangunan berkelanjutan ke dalam peraturan perundang-undangan (legislasi),” kata mas Ota,”krisisi daya dukung ekosistem dan lingkungan hidup yang dihadapi Indonesia sangat nyata, konstitusionalisasi norma hukum lingkungan menjadi sangat diperlukan seiring dengan ikhtiar kita memperkuat demokrasi dan negara hukum, serta tata pemerintahan yang baik.” Saat ini konsep ketatanegaraan constitutional democracy (demokrasi konstitusi) dan democratische rechstaat (negara hukum yang dmokrasi/nomokrasi) sama pentingnya dengan ecocracy. Ecocracy adalah kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Oleh karenanya, perlu mengembangkan gagasan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan atau green constitution. “Gagasan ini dapat menjadi salah satu upaya yang efektif mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ke dalam arus politik pembangunan nasional,” kata Mas Ota. Menurut Prof Jimly konsep green constitution dan ecocracy di belahan dunia perdebatan dan diskusi mengenai dua tema itu menjadi isu sentral di Portugal, Spanyol, Polandia, Perancis dan Ekuador. Dua alasan penting dua tema itu untuk dipahami di Indonesia: Pertama, kondisi lingkungan hidup amat memprihatinkan. Sudah saatnya kita meletakkan dan memperkuat kembali dasar-dasar konseptual mengenai persoalan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dengan berwawasan lingkungan. Kedua, UUD 45 sebagai the supreme laws of the land pada disarray telah memuat gagasan dakar mengenai kedaulatan lingkungan dan ekokrasi yang dapat disetarakan pula nilai-nilainya dengan demokrasi economy dan nomokrasi. Norma-norma hukum lingkungan hidup yang ada di dalamnya, secara tegas telah mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan dan kebijakan di pelbagai sektor pembangunan untuk patuh dan tunduk kepadanya. Sayangnya, hingga kini belum banyak yang mampu menerjemahkan maksud dan nilai-nilai lingkungan hidup yang terkandung di dalam UUD 45. Wacana konstitusi hijau di indonesia merupakan fenomena baru di dunia hukum. “Bahkan para sarjana hukum tata negara sendiri rata-rata belum mendengar istilah green constituon,” kata Prof Jimly. “Sarjana hukum kita kurang up to date perkembangan hukum di dunia. Sarjana hukum kita kebanyakan terpaku pada cara berpikir yang sangat positivist yang menyebabkan mereka hanya berkutat dengan kata-kata yang terdapat dalam hukum positif yang berlaku kini dan di sini.” Istilah green constituon, sebagai anekdot ketika pimpinan dan anggota Mahkamah Konstitusi berkunjung ke pimpinan DPD RI pada Agustus 2008. Hakim Konstitusi Prof Ahmad Sodiki mengutarakan pentingnya mengadopsi gagasan “green constitution” ke dalam gagasan kemungkinan perubahan kelima UUD 45. Para peserta banyak terkejut karena belum pernah mendengar istilah green constitution, meski semua menyetujui ide itu. “Bahkan ketua MK Prof Mahfud MD sambil tertawa menyimpulkan bahwa pertemuan itu sangat produktif sampai-sampai muncul istilah green constitution,” kata Prof Jimly. Dalam buku setebal 208 halaman yang terbit pada 2009 ini, Prof Jimly membandingkan perjalanan konstitusi hijau di negara Portugal, Spanyol, Polandia dan Ekuador, lalu melihat prinsip kedaulatan UUD 45. Prof Jimly menceritakan awal mula munculnya konsepsi kedaulatan yang dikenal dalam hukum tata negara di dunia dan perjalanan hingga masuk ke Indonesia dan melahirkan UUD 45. Ajaran-ajaran Kedaulatan awalnya pertama kali muncul konsesi Kedaulatan Tuhan, Tuhanlah yang merupakan sumber kekuasaan sebenarnya. Semua manusia harus tunduk kepada Tuhan. Muncullah istilah ajaran teokrasi. Lalu muncul ajaran kedaulatan Raja, Hukum, Rakyat dan Negara. Lalu, perkembangan dunia terkait krisis lingkungan hidup, ide kedaulatan lingkungan hidup penting menurut Prof Jimly. “Jika konsepsi kedaulatan Tuhan dapat dikaitkan dengan doktrin Teokrasi, kedaulatan rakyat berkaitan dengan demokrasi, kedaulatan hukum berkaitan dengan nomokrasi, kedaulatan raja terkait dengan monarki, maka konsep kedaulatan lingkungan dapat kita kaitkan dengan istilah ekokrasi atau kekuasaan ekologi.” Lebih jauh, Prof Jimly menjelaskan, gagasan ekokrasi dan kedaulatan lingkungan dapat dikembangkan dalam konteks kekuasaan yang dikonstruksikan dalam mekanisme hubungan antara Tuham, Alam dan Manusia. Di zaman modern, relasi kekuasaan hanya dipandang sebagai persoalan manusia atau antroposentrisme yang menempatkan kehidupan terpusat pada manusia. Sikap ini melahirkan kehancuran dalam diri alam semesta. “Sekarang barulah orang sadar, lingkungan hidup perlu mendapat perhatian, dilindungi, dan dijaga kelestariannya untuk kelangsungan hidup umat manusia. Dalam hubungannya dengan sistem kekuasaan negara, alam semesta harus dipandang pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan.” Dalam konstitusi Indonesia, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, dan kedaulatan lingkungan harus seimbang baik dalam segi konsep maupun operasionalnya di dalam kehidupan bernegara. Intinya, Ekokrasi dan kedaulatan lingkungan, pada alam diakui adanya kekuasaan dan hak asasinya sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun (inalienable rights). Alam diakui memiliki kedaulatannya sendiri. Di samping rakyat sebagai manusia yang dianggap berdaulat, alam juga berdaulat. Inilah yang dimaksud dengan prinsip kedaulatan lingkungan yang juga terkandung dalam UUD 45. “Kita dapat mengatakan bahwa UUD 45 juga merupakan konstitusi hijau (green constitution).” Meski UUD 45 masih jauh dari hijaunya warna konstitusi Portugal, Spanyol, Polandia, Perancis dan Ekuador. Konstitusi hijau Indonesia kian penting diterapkan karena perubahan iklim yang terjadi tidak hanya berakibat bagi masyarakat manusia di suatu negara, melainkan seluruh dunia. Nuansa hijau dalam UUD 45 paska amandemen terlihat dalam pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4). “Setia orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” dan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Prof Jimly juga memperingatkan pentingnya dalam memahami roh UUD 45 tidak boleh terpaku pada bunyi teksnya, dan juga tidak boleh hanya berhenti pada pengertian-pengertian yang dipikirkan oleh the framerssebagai the origin intent. Spirit undang-undang harus berkembang (evolving constitution),” bahkan UUD 45 juga dapat berubah melalui mekanisme yang disebut verfassungs wandelung, berubah melalui praktek-praktek kenegaraan di kemudian hari, meskipun tidak secara resmi diubah menurut prosedur formil yang diatur sendiri oleh konstitusi yaitu, verfassung anderung.” Menarik membaha ide soal Ekokrasi dalam setiap pembuatan undang-undang, meski sulit ketika masuk dalam legislasi yang diisi oleh anggota parlemen dari ragam partai, yang orang-orangnya terlibat dalam perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Belum lagi, birokrasi tua warisan orde baru yang terkoneksi dengan antek-antek Soeharto sering pro pada pengusaha perusak dan pencemar lingkungan hidup dengan membuat aturan tekhnis yang justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kehidupan sosial masyarakat di kampung-kampung. Ekokrasi menurut saya sudah hidup di tengah-tengah masyarakat hukum adat dan masyarakt di kampung-kampung yang punya kearifan lokal. Ide Ekokrasi sebaiknya juga bermula dan berakhir dari kampung-kampung yang hutan tanah dan alam semestanya dirusak oleh korporasi yang difasilitasi oleh rezim berkuasa. Di Kota yang serba pragmatis, adakah yang memikirkan Ekokrasi? Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/06/konstitusi-hijau/#more-2383
0 Comments
Leave a Reply. |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |