kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
Penerjemah: Chandra Agusta
Saat Abigail bilang dia ingin putus, aku terkejut. Taksi itu baru saja berhenti di depan rumahnya, dan ia keluar berjalan ke trotoar, dan dia bilang dia nggak ingin aku datang, dan dia juga nggak ingin ngobrol, dan yang paling penting dia nggak ingin mendengar kabar dariku lagi, bahkan ucapan selamat tahun baru dan kartu ulang tahun. Dan kemudian ia membanting pintu taksi begitu keras sehingga sopir itu memakinya dari jendela mobil. Aku hanya terduduk di kursi belakang, mati rasa. Kalau saja kami bertengkar atau hal-hal semacam itu, aku mungkin akan lebih siap, tapi kami baru saja melewatkan malam yang menyenangkan. Filmnya jelek sih, tapi secara keseluruhan malam itu semuanya baik-baik saja. Lalu kemudian muncul monolog itu, entah dari mana, dan pintu dibanting, dan bam! Enam bulan kebersamaan kami hilang begitu saja! “Jadi sekarang gimana?” tanya sopir itu sambil menatapku melaui kaca spion. “Mau kuantar pulang? Kalau kau punya rumah, sih. Atau ke rumah orangtuamu? Ke rumah teman? Atau ke tempat pijat di pusat kota? Kau bosnya, kau rajanya.” “Aku nggak tahu mau ngapain. Yang kutahu ini nggak adil. Setelah putus dengan Ronit aku sudah bersumpah nggak akan membiarkan seseorang mendekatiku dan menyakitiku seperti itu, tapi kemudian Abigail datang, semuanya jadi begitu indah, dan aku benar-benar nggak menyangka jadi begini. “ Kau betul,” si sopir mendengus. Dia mematikan kunci kontak dan merendahkan kursinya ke belakang. “Ngapain nyetir kalau di sini begitu nyaman? Aku nggak urusan. Argonya tetap jalan kok.” Dan saat itulah di radio seseorang menyebutkan sebuah alamat. “Nine Massada Street. Siapa di sana?” Dan alamat itu — aku pernah dengar sebelumnya, tertinggal di ingatanku seolah-olah seseorang menancapkannya dengan paku. Saat Ronit mencampakkanku keadaannya sama, di dalam taksi, di dalam taksi yang membawanya ke bandara, tepatnya. Dia bilang hubungan kami sudah berakhir, dan tentu saja, aku nggak pernah mendengar kabar darinya lagi. Aku juga ditinggalkan seperti ini, terjebak sendirian di kursi belakang sebuah taksi. Pengemudi itu terus mengoceh, tapi aku nggak mendengar sepatah kata pun. Tapi alamat yang menjengkelkan di radio itu bisa kuingat dengan jelas. “Nine Massada Street. Dengan siapa ini?” Sekarang, mungkin ini hanya kebetulan, tapi aku tetap menyuruh sopirnya mengantarkanku ke alamat itu. Aku harus tahu alamat apa itu. Ketika kami berhenti, aku melihat taksi lain lewat, dan di dalam, di jok belakang, nampak siluet sebuah kepala kecil, seperti anak kecil atau bayi. Aku membayar sopir dan keluar. Alamat itu ternyata rumah pribadi. Aku membuka pintu gerbang, dan berjalan menuju pintu. Aku membunyikan bel. Itu adalah hal yang bodoh untuk dilakukan, dan aku nggak tahu apa yang akan kulakukan kalau ada yang membuka pintu, atau apa yang akan kukatakan. Nggak ada alasan bagiku untuk berada di sana pada saat itu. Tapi aku lagi sangat marah sehingga aku nggak peduli. Aku menelepon sekali lagi, sebuah dering yang panjang, lalu aku menggedor pintu, seperti di tentara saat kami biasa melakukan pencarian orang dari pintu ke pintu, tapi nggak ada yang datang. Di kepalaku, pikiran tentang Abigail dan Ronit mulai bercampur dengan pemikiran tentang perpisahan lain, dan segala macam bercampurbaur. Dan rumah ini, di mana nggak ada yang membuka pintu, membuatku gelisah. Aku mulai mengitarinya, mencari jendela yang bisa kulihat. Tempat itu nggak memiliki jendela, hanya ada pintu belakang, sebagian berpanel kaca. Aku mencoba melihat ke dalam tapi semuanya gelap. Aku terus mencoba, tapi mataku tetap nggak bisa menyesuaikan diri. Sepertinya semakin keras aku mencoba, semakin hitam semuanya terlihat. Ini membuat otakku meluap, beneran. Dan tiba-tiba aku seolah melihat diriku sendiri dari kejauhan, sedang membungkuk, lalu mengangkat batu, membungkusnya dengan kausku, dan memecahkan kaca itu. Aku mengulurkan tangan, hati-hati agar kacanya nggak menyayat tanganku sendiri, dan membuka pintu itu. Aku meraba-raba saklar lampu, dan ketika menemukannya, lampu itu menyala dengan cahayanya yang kuning dan redup. Satu bohlam untuk ruangan besar itu. Dan begitulah tempat itu — sebuah ruangan besar, nggak ada perabotan, benar-benar kosong, kecuali satu bagian dinding yang ditempeli foto-foto wanita. Beberapa dibingkai, beberapa hanya ditempel di dinding dengan selotip, dan aku mengenal mereka semua: Ada Dalia, pacarku saat masih di militer; dan Danielle — kami pacaran di SMA; dan Stephanie, seorang turis ; dan Ronit. Mereka semua ada di sana, dan di sudut kiri, dengan bingkai emas yang halus, ada gambar Abigail, tersenyum. Aku memadamkan lampu dan roboh di sudut ruangan. Seluruh tubuhku gemetar. Aku nggak mengenal orang yang tinggal di sini, mengapa dia melakukan ini kepadaku, atau bagaimana dia selalu berhasil menghancurkan segala sesuatu. Tapi tiba-tiba semuanya ada dihadapanku, semua perpisahan itu, seperti melompat keluar — Danielle, Abigail, Ronit. Ini bukan tentang kami, aku dan mantan-mantanku, tapi ini tentang orang itu, yang memasang foto-foto ini. Aku nggak tahu berapa lama waktu berlalu sampai dia, orang itu pulang. Pertama kudengar suara taksi, lalu suara kuncinya di depan pintu, lalu lampu menyala kembali, dan dia ada di sana, berdiri tepat di depanku dan tersenyum, si bangsat itu, menatapku dan tersenyum. Lelaki itu pendek, seperti anak-anak, matanya besar, dan memegang tas sekolah plastik warna-warni. Ketika aku bangkit dari sudut itu, dia hanya tertawa kecil, seperti tertangkap basah, dan bertanya bagaimana aku bisa berada di situ. “Jadi dia memutuskanmu juga, ya?” katanya ketika aku mendekat. “Nggak apa-apa, santailah, akan selalu ada yang lain.” Dan aku, alih-alih menjawab, aku menghantamkan sebuah batu ke kepalanya, nggak berhenti walaupun ia sudah jatuh. Aku nggak mau yang lain. Aku mau Abigail, aku mau dia, lelaki itu berhenti tertawa. Dan selama aku menghantamnya dengan batu ia hanya merintih: “Apa yang kau lakukan, apa yang kau lakukan, apa yang kau lakukan. Aku lelakimu, lelakimu” sampai ia berhenti. Setelah selesai, aku muntah. Setelah selesai muntah, aku merasa lebih lega, seperti tentara waktu berjalan kaki melintasi medan berat dan seseorang mengambil tandu yang kau bawa darimu, dan kau merasa lega — lebih lega dari yang kau bayangkan mungkin terjadi. Seperti anak kecil. Dan semua kebencian dan rasa bersalah dan ketakutan bahwa aku akan tertangkap — semuanya hilang begitu saja. Nggak jauh di belakang rumah tersebut terdapat sebuah hutan, dan di sanalah aku meninggalkan lelaki itu. Batu dan kaus yang berlumur darah, kukubur di halaman. Beberapa minggu setelah kejadian itu, aku terus mencari beritanya di koran-koran, di bagian berita maupun di informasi orang hilang, tapi nggak ada apa-apa. Abigail nggak menjawab pesan-pesanku, dan seseorang di tempat kerja memberitahuku bahwa ia melihatnya di kota dengan seorang lelaki jangkung berambut ekor-kuda. Aku hancur saat mendengarnya, tapi aku tahu nggak ada yang bisa kulakukan. Semua sudah berakhir. Beberapa saat setelah itu, aku mulai pacaran dengan Mia. Sejak awal, segala sesuatunya berjalan dengan wajar. Sangat OK. Dan nggak seperti biasanya aku dengan gadis-gadis, dengannya aku sangat terbuka dari awal dan semua pertahananku teredam. Di malam hari aku kadang-kadang bermimpi tentang lelaki pendek itu, bagaimana aku menyingkirkan tubuhnya di hutan, dan aku akan terbangun dengan panik, tapi kemudian aku mengingatkan diriku sendiri bahwa nggak ada alasan untuk khawatir, dia sudah nggak berkeliaran lagi, lalu aku memeluk Mia dan kembali tidur. Mia dan aku akhirnya juga putus di dalam taksi. Dia bilang aku nggak punya perasaan, dia bilang aku nggak pengertian, kadang-kadang dia makan hati karenaku, dan aku yakin dia sebenarnya bahagia, karenaku. Dia bilang ada sesuatu yang salah di antara kami sejak dulu, tapi aku bahkan nggak menyadarinya. Dan kemudian dia mulai menangis. Aku mencoba memeluknya, tapi dia menarik diri dan bilang bahwa kalau aku peduli padanya, aku seharusnya membiarkannya pergi. Aku nggak tahu apakah aku harus mengejarnya dan terus mencoba menahannya. Di taksi, radio itu kembali memberi alamat: “Four Adler Road.” Aku menyuruh sopir membawaku ke sana. Sebuah taksi lain sudah diparkir di sana saat kami tiba. Beberapa pasangan masuk, seusiaku, mungkin sedikit lebih muda. Sopir mereka mengatakan sesuatu dan mereka berdua tertawa. Aku terus berjalan, ke Nine Massada Street. Aku mencari mayat lelaki yang kubunuh beberapa waktu lalu di hutan, tapi ternyata mayatnya nggak ada di sana. Satu-satunya yang bisa kutemukan adalah batang besi berkarat. Aku memungutnya dan mulai berjalan menuju rumah itu. Rumah itu tampak sama, gelap, dengan panel kaca yang pecah di pintu belakang. Aku meraih ke dalam, meraba-raba pegangannya, dengan hati-hati agar tak tersayat. Aku langsung menemukan saklar lampu itu. Rumah itu masih tetap kosong kecuali foto-foto di dinding, tas sekolah si lelaki pendek yang jelek itu, dan noda gelap dan lengket di lantai. Aku mengamati foto-foto itu. Mereka semua ada di sana, dengan urutan yang persis sama. Ketika aku selesai mengamati foto-foto itu, aku membuka tas itu dan melihat isinya. Ada sejumlah uang tunai, tiket bus bekas, kotak kacamata, dan foto Mia. Di foto itu, rambutnya mengembang, dan dia kelihatan kesepian. Dan tiba-tiba aku mengerti apa yang dikatakan lelaki itu sebelum dia meninggal, bahwa akan selalu ada yang lain. Aku mencoba membayangkan laki-laki itu di malam waktu Abigail dan aku putus, ke mana dia pergi, lalu kembali dengan foto itu, memastikan, aku nggak tahu gimana, Mia dan aku menyeberang jalan. Dan sekarang nggak begitu yakin aku akan pernah bertemu yang lain. Karena lelakiku itu sudah meninggal dan akulah yang membunuhnya. diterjemahkan secara bebas — dengan bantuan google translate, pastinya — dari cerpen Etgar Keret berjudul Your Man, dalam kumpulan cerpen berjudul The Nimrod Flipout, yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.
0 Comments
Leave a Reply. |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |