kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
Ketika berbicara tentang Land Reform, Reforma Agraria atau Land Tenure Reform, maka semua referensi dan literature terkait hal tersebut merujuk pada bahan bacaan yang teoritis, konseptual, komprehensif, empirik dan ilmiah. Karena pada dasarnya, Land Reform merupakan sebuah gagasan atau ide yang sangat penting bagi sebuah bangsa yang pernah berada dibawah kuasa kolonial dan sistem kerajaan yang feodal, untuk merombak sistem dan struktur pengusaan sumber-sumber agraria yang lebih adil dan berpihak pada rakyat serta petani kecil. Berbeda dari hal tersebut, buku yang berjudul asli PO-ON ini merupakan sebuah karya sastra yang menceritakan sejarah perjuangan masyarakat Filipina untuk meraih kemerdekaannya. Buku ini dengan magis membawa pembaca untuk kembali mengingat sejarah perjuang rakyat Indonesia yang berjuang melawan tirani Belanda berabad-abad lamanya juga Jepang. Seperti yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis dalam pengantar buku tersebut; “Tetapi membaca buku ini membawa kita kembali pada suasana perjuangan bangsa kita sendiri, dari zaman penjajahan hingga perang Dunia II…”. Buku ini memberikan sedikit gambaran tentang pola penguasaan tanah oleh Tuan tanah besar yakni perwakilan raja-raja Spanyol yang menjadi petinggi Gereja Katolik selama periode kolonialisme di Filipina. Dan menjadi sebuah komparasi tentang masalah agraria untuk kita pelajari di Indonesia yang hingga saat ini masih berada dalam arus perjuangan. Novel ini menangkap berbagai momen dalam kurun waktu kebangkitan nasionalisme rakyat Filipina yang memperjuangkan hak-hak sipil, kebebasan dan kemerdekaannya dari penjajahan Spanyol. Namun belum usai dengan Spanyol, upaya ini segera diikuti oleh penyerbuan tentara Amerika yang bertujuan untuk menumpaskan bangsa Spanyol tetapi malah menimbulkan konflik baru antara kelompok nasionalis Filipina dan tentara Amerika itu sendiri, sehingga perang dan korban tidak bisa terhindarkan. Hal lainnya yang menarik dari karya Franciso Sionil Jose ini adalah bagaimana penulis menggambarkan karakter tokoh-tokoh yang terdapat dalam buku tersebut dengan sangat kuat. Seperti Romo Jose petinggi Gereja asal Spanyol yang sedang menjalankan tugas sebagai sorang misionaris dan menjalankan misi-misi pembangunan oleh bangsa Spayol untuk merebut kemerdekaan Filipina. Namun hati nuraninya sendiri menentang tugas-tugasnya sebagai seorang pastor, ia lebih menikmati tugasnya sebagai seorang guru bagi masyarakat sekitarnya, dan guru pribadi bagi tokoh utama novel ini, yakni Eustaqio Salvador (Istak). Berbeda dengan pastor muda yang kemudian menggantikan posisinya, pastor muda ini mewakili watak asli raja-raja Spanyol yang ingin menguasai Filipina. Kisah perjuangan rakyat Filipina ini dinarasikan oleh penulis melalui pengalaman seorang tokoh utama dalam novel tersebut yakni Istak. Seorang petani miskin dari desa yang bernama Po-on dan bercita-cita menjadi pastor. Istak merupakan wajah berjuta petani kecil yang tidak memiliki tanah barang sejengkalpun di Filipina. Istak dan keluarganya merupakan kaum tunakisma di desanya yang mengerjakan tanah bukan milik mereka, tetapi bekerja dengan sistem bagi hasil dengan tuan-tuan tanah, termasuk Gereja. Ayah Istak yang juga sebagai petani kecil yang menghidupi sebuah keluarga dengan 1 orang isteri dan 3 orang anak lelaki tidak sanggup membayar bagi hasil kepada pemilik tanah akhirnya dihukum dengan cara yang mengenaskan. Seorang pastor muda pengganti Romo Jose menghukumnya dengan mengikat dan menggantungkan lengan kanan ayah Istak dengan seutas tali sampai darah dilengannya berhenti, membusuk dan harus diamputasi. Cara-cara penghukuman seperti ini biasa terjadi terhadap petani-petani kecil yang tidak sanggup membayar bagi hasil terhadap tuan tanahnya dan Gereja. Mereka para tuan tanah ini tidak percaya alasan-alasan petani yang tidak sanggup membayar bagi hasilnya, apakah itu karena hama, kemarau dan lain sebagainya. Sehingga di Filipina saat itu memang terlihat banyak petani-petani kecil yang buntung lengan kanannya. Untuk kedua kalinya Ba-ac, Ayah Istak tidak mampu membayar bagi hasil tananhya kepada Gereja, maka dengan amarahnya karena menemukan sosok yang dihadapanya saat itu adalah pastor yang memotong tanggannya, ia lantas membunuh pastor muda itu sampai mati. Dari sinilah awal migrasi keluarga Istak dan beberapa tetangga lainnya yang berasal dari Desa Po-on pergi mencari lahan baru untuk bertempat tinggal, sebuah tempat yang jauh dari Gereja dan penguasa Spanyol. Dalam perjalanan inilah dapat terlihat bagaimana kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh rakyat Filipina. Dibeberapa wilayah pedalaman hutan, mereka menemui beberapa suku-suku asli rakyat Filipina yang masih belum merasakan satu darah, satu bangsa dan senasib dengan suku lainnya. Seperti suku Ilokano dan suku Pengasinan, sehingga memang sulit menyatukan gerakan akar rumput untuk melawan sebuah musuh yang sangat besar, yakni penjajah. Belum lagi ditambah dengan perbedaan watak dan karakter masing-masing suku, ada sekelompok suku yang terkenal dengan watak munafik dan pembelot, ada suku Igorot yang terkenal sebagai kelompok yang suka menjarah dan membegal serta ada suku yang dikenal sebagai sekelompok orang asli orang Filipina yang paling dapat dipercaya, jujur, rajin dan mimiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga, yakni suku Ilokano, keluarga besar Istak. Selama proses migrasi ini, saya mencatat upaya yang dilakukan oleh Istak dan keluarga besarnya untuk melanjutkan hidup sebagai seorang petani kecil yang berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Mereka bertahan hidup dengan cara membuka ladang berpindah dan menanam tanaman pangan, sampai akhirnya ia menetap disebuah desa yang bernama Rosales. Di Rosales, Istak dan keluarga besarnya mendapatkan kesempatan untuk membuka hutan atas izin seorang pribumi Filipina yang merupakan tokoh penting di Rosales, yakni Don Jancito. Beliaulah yang selama ini membeli dan memasarkan komoditi pertanian yang dihasilkan oleh rakyat Rosales. Beliau memiliki kedekatan yang cukup baik dengan para penguasa Spanyol di Filipina sehingga ia memiliki kesempatan untuk menjadi pribumi yang dapat mengelolah tanahnya sendiri. Meskipun Don Jancito juga harus membayar upeti yang cukup besar kepada penguasa Spanyol tersebut. Kepada Istak, Jancito memberikannya lahan untuk digarap dan seluruh hasil garapanya diserahkan kepada Jancito. Dari Jancito itu juga Istak mengenal tokoh nasionalis Filipina yang kemudian memberikannya tugas untuk menyampaikan sebuah pesan kepada Sang Prisiden. Dalam perjalannya menyampaikan pesan tersebut, ia melewati banyak situasi yang mencekam seperti ratusan tentara Amerika yang menyerang sebuah desa hingga tidak ada seorang pun yang tersisa bahkan warga desanya sendiri. Hal ini menimbulkan konflik batin bagi Istak, kenapa ia harus melakukan pembelaan terhadap negeranya, kenapa ia mesti menantang nasib hidupnya yang sudah aman menjadi petani kecil dan tabib di desa barunya ? Yang baginya sudah cukup untuk menjadi seorang manusia, yang bekecukupan sebagai petani dan menyembuhkan bagi masyarakat yang sakit. Namun, pada akhirnya Istak memilih untuk bertarung di medan perang, antara tentara Amerika dan tentara nasional Filipina di perhentian terakhir Jendral Gregorio Del Pilar pegunungan Tirad. Ia bertarung bukan lagi sebagai seorang Eustaqio Salvador, melainkan sebagai bagian dari Filipina. Ia berjuang bukan hanya atas kematian Ayahnya dan penderitaan keluarganya, melainkan untuk dirinya sebagai seorang yang telah bebas dari segala nafsu, tuntutan, impian dan harapan. “Aku telah dibutakan, sebagaiman juga banyak diantara kita, oleh keperluan-keperluan sendiri. Aku hanya memikirkan keluarga ku sendiri. Dari puncak gunung ini, aku dapat melihat banyak hal lain. Aku tidak lagi Eustaqio Salvador. Demikianlah aku akan memasang dagingku yang empuk melawan baja penguasa baru. Aku dapat berbuat ini karena darah ku mengalir lebih cepat, karena aku telah bebas” Walaupun mengalami banyak pertentangan, sebuah karya sastra yang baik selalu mencerminkan sebuah zaman, peradaban dan manusianya. Sastra memang bukan tulisan sejarah dan tidak juga bisa digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Namun sastra merupakan salah satu alat kritik sosial terhadap suatu fenomena yang terjadi didalam masyarakat. Sastra memberikan cara yang berbeda dalam menuliskan sejarah, lebih detil dan subtil, sehingga mampu mengkawinkan antara pembaca dan cerita dalam buku tersebut untuk masuk keranah intim, dimana pembaca dapat betul-betul merasakan setiap lekuk peristiwa yang terjadi. Menurut Lukacs, sastra ditulis berdasarkan pandangan (gagasan) tertentu. Gagasan tersebut menurut Lukacs merupakan humanisme sosialis, ia bersifat objektif terhadap setiap masalah. Dan penciptaan karya sastra tidak bisa dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam proses kreatifnya. Bahwa karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi dan refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi disekitarnya tanpa kekosongan budaya. Karya sastra bisa merubah tatanan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat, karna ia dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Dan karya sastra adalah ekspresi dari zamannya sendiri, sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi sosial yang tengah dihadapi oleh pengarangnya. Dan novel Po-on ini boleh jadi salah satu pustaka agraria yang cukup baik untuk mengamati perbedaan-perbedaan masalah agraria di negara-negera lain selain Indonesia. Seperti bukunya Arundhati Roy yang berjudul The Cost of Living yang menceritakan tentang ekspolitasi sumber daya alam yang merusak ruang hidup masyarakat adat di India. Yang berkedok pembangunan waduk serta proyek-proyek lainnya yang mengatasnamakan pembangunan demi kesenangan segelintir orang. Juga karya sastra anak bangsa Indonesia yang sangat melekat dalam ingatan kita sebagai bangsa yang pernah melalui masa kelam dan dijajah oleh Belanda serta Jepang; yakni karya sastra dari Pramoedya Ananta Toer, sebuah Tretalogi Pulau Buru yang juga menyingung persoalan agraria di Indonesia. Dan masih banyak lagi karya sastra nusantara lainnya yang menarasikan persoalan agraria sacara emik. Meskipun novel ini belum seutuhnya menangkap seluruh perjuangan rakyat Filipina dan fenomena yang khususnya berkaitan dengan isu Land Reform, namun narasi yang sangat deskriptif dan emik dalam novel ini memberikan gambaran yang lengkap tentang konflik dan kondisi realmasyarakat yang berhadapan dengan konflik tersebut. Tabik ! Oleh : Pramasty Ayu Kusdinar Tulisan ini juga dapat dibaca di https://serindangbulan.wordpress.com/2017/11/11/menyigi-land-reform-dari-po-on-resensi-buku-sebuah-desa-yang-bernama-po-on/
0 Comments
Leave a Reply. |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |