kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
Buku Para Pelacurku Yang Sendu karya Gabriel Garcia Marquez mengingatkan tentang, hidup ada batasnya. “Usia bukanlah masalah berapa umurmu, tapi bagaimana kau merasakan ketuaan itu,” kata Profesor Camacho Y Cano, pemeran utama dalam buku itu. “Tak peduli apapun yang kau lakukan, tahun ini atau seratus tahun lagi, kau tetap akan mati selama-lamanya.” Namun, bagaimana kematian datang? Di usia berapa? Yang kusukan dari Gabriel Garcia Marquez, seperti biasanya: bercerita kehidupan sosial yang muram di tengah kekuasaan, dengan caranya sendiri yang kadang alurnya sulit ditebak. Ia mengajak kita untuk berpikir dan merenung tentang kehidupan sosial, kali ini di Kolombia: kemiskinan melahirkan pelacuran. Kekuasaan juga melahirkan pelacuran. Sejarah kolonialisme Spanyol di Amerika Latin, melahirkan kemiskinan hingga tubuh pun jadi komoditi. Petualangan profesor di tanah kelahirannya di Kolombia bermula dan berakhir karena sebuah usia: "Di usia ke sembilan puluh, ia hendak menghadiahi dirinya dengan satu malam bersama seorang perawan dewasa. Setelah dua puluh tahun menghilang, ia kembali menelepon Rosa Cabarcas, pemilik rumah terlarang yang menyediakan para pelacur." Dari usia yang ke sembilan puluh tahun itu, ia membawa kita pada kehidupan profesor: tinggal di sebuah rumah bergaya kolonial di tepi taman San Nicolas, tempat ia menghabiskan sisa usia tanpa istri maupun kekayaan. Rumah itu warisan dari kedua orang tuanya: Florina de Dios Gargamantos. Ia anak manja dengan ibu yang memiliki banyak bakat yang meninggal karena sakit paru-paru di usia 50 tahun, dan seorang ayah formalitas yang tidak pernah mengakui kesalahannya dan meninggal di tempat tidurnya sebagai duda. Ia editor telegram di El Diario de La Paz untuk sastra, media mingguan. Gagal menikah dengan Ximena Ortiz meninggalkan Kolombia dan tidak kembali hingga 20 tahun kemudian, telah menikah dan punya tujuh orang anak. Ia penyuka musik klasik: Don Pedro Vargas, penyanyi tenor Amerika, menyanyikan bolero karya Miguel Matamoros, First Sonata for Violin and Piano karya Brahm, Allegretto Poco Mossosuites for uncompanied cello karya Johan Sebastian Bach, prelude nomor 24 karya chopin yang dimainkan oleh stefan askenase, sonata for violin and piano karya cesar franck, sonata karya schumann, rhapsody for clarinet and orchestra karya wagner, rhapsody for saxhophone karya debusy dan string quintet karya bruckner. Ia juga sering menonton konser dan film. Lagu, film dan konser salah satu resensinya sebagai kolumnis sastra. Kisah pertamanya bersinggungan dengan pelacur bermula di usia 12 tahun. Ia pertama kali ditiduri seorang pelacur terkenal bernama Castorina di sebuah hotel di Calle de Los Notarios. Sejak saat itu, di tengah rutinitas sebagai penulis kolom sastra, ia dengan mulai petualangan dengan pelacur sendu. “Belum pernah aku naik ke ranjang dengan seseorang perempuan yang tidak kubayar, dan beberapa perempuan yang tidak bekerja sebagai pramuria telah kubujuk, entah dengan alasan entah dengan paksaan, untuk menerima uang walaupun kemudian hanya dibuang ke tempat sampah,” katanya. “Ketika usiaku dua puluh tahun, aku mulai menyimpan catatan berisi nama, usia, tempat, dan catatan singkat tentang keadaan dan gaya bercintaku. Pada usiaku yang ke lima puluh, ada 514 perempuan yang setidaknya pernah bercinta denganku satu kali. Aku berhenti mengisi daftar itu ketika ragaku tidak memungkinkan lagi untuk bercinta dengan begitu banyak perempuan dan aku mencatatnya tanpa kertas,” katanya pada sebuah ingatan. Sejak saat itu ia mulai mengukur hidup bukan dengan tahun melainkan dengan dasawarsa,”usia lima puluh tahunku sangat menentukan karena aku menjadi sadar bahwa tiap orang ternyata lebih muda dariku. Usia enam puluh tahunku adalah yang paling menegangkan lantaran kecurigaan bahwa aku tidak lagi punya waktu untuk melakukan kesalahan. Usia tujuh puluh tahunku menakutkan lantaran kemungkinan dasawarsa itu adalah yang terakhir. “ “Tetap saja, ketika aku terjaga dan masih hidup pada pagi pertama usia sembilan puluh tahunku di ranjang Delgadina yang bahagia, aku tercengang oleh pikiran masuk akal bahwa hidup bukanlah sesuatu yang melintas seperti Heraklitus yang selalu berubah, melainkan sebuah kesempatan unik untuk terus memutar panggangan dan terus memanggang sisi lainnnya hingga sembilan puluh tahun lagi,” ia mengingat sisa ingatannya di usia 91 tahun. “Di bawah siraman matahari di sepanjang jalan, mulai kurasakan bebas usiaku yang kesembilan puluh, dan menghitung menit demi menit malam-malam yang tersisa sebelum aku mati,” ia meratapi saat kado ulang tahunnya di 91 tahun dengan seorang gadis belia yang ia beri nama Delgadina. Ia akhirnya menemukan cinta sejati dengan Delgadina di usia hingga satu abad. “Akhirnya, itulah kehidupan yang nyata, dengan hatiku yang tenteram dan dikutuk untuk mati karena cinta yang bahagia pada hari yang gembira, kapanpun, setelah hari ulang tahunku yang keseratus.” Usia, adalah awal dan akhir bagi si profesor, yang hidup sendirian tanpa anjing, burung dan hidup dari tulisan bersama seorang pembantu Damiana, justru menemukan cinta sejati di usia yang dia sendiri tidak tahu kapan akan mati. Mengapa Marquez, mengakhiri kehidupan Profesor dengan kebahagiaan? Barangkali, karena segala sesuatu akan berlalu pada saatnya, kita butuh kebahagiaan untuk lepas dari rutinitas sebab usia adalah batas awal dan akhir sebuah perjalanan kehidupan. Novel Marquez bikini tentang seks, tapi tentang kehidupan di usia tua menemukan cinta sejati. Aku ingat sepotong sajak, “Setelah hujan, panas akan datang kembali, setiap saat, setiap kali.” Begitulah kematian, juga kebahagiaan*** Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/05/para-pelacurku-yang-sendu/#more-2374
0 Comments
Leave a Reply. |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |