kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
ada Oktober 2017, Prof Hariadi Kartodihardjo setuju buku terbarunya berjudul “Di Balik Krisis Ekosistem” terbitan LP3ES dilaunching bersamaan dengan buku EoF berjudul “Mata Tajam Eyes On The Forest”. Karena dua buku itu diberi Kata Sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kami merancang agar buku itu langsung di luncurkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada 13 Oktober 2017 kami—Saya, Nursamsu, Riko Kurniawan, Afdhal Mahyudin dan Elviriadi—bertemu Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup. Dalam pertemuan itu hadir jua Prof Hariadi dan Chalid Muhammad (Bang CM). Dalam pertemuan itu, kami dari Riau menyampaikan sikap penolakan atas RTRWP Riau 2017-2037 karena bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi, satu diantaranya luasan lindung gambut Riau hanya dialokasikan 21 ribuan ha dari 2,4 juta hektar yang mustinya menjadi kawasan lindung gambut di Riau. Berkurangnya luasan gambut ini tentu saja menguntungkan korporasi Hutan Tanaman Industri dan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang selama ini merusak gambut dalam dan menebang hutan alam. Usai menerangkan penolakan itu, kami mengundang dan meminta kesediaan waktu untuk meluncurkan dua buku tersebut. Ibu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup bersedia hadir dan mengapresiasi atas launching tersebut pada 23 Oktober 2017. Sebelumnya Bang CM membantu proses jelang launching. Bang CM berperan besar memberikan ide acara. Ide tokoh inspirasi dan pembicara dari kalangan selebriti adalah ide bang CM. Tim EoF juga dibantu mbak Nunung dari MFP 3 dan Kehati. Karena waktu tinggal 10 hari, pontang-panting dan tegang-tegang jadi kerjaan tim EoF—rencana awal peluncuran buku awal November. Untung saja usai peluncuran tidak ada yang terkena penyakit kejang-kejang, hahahhahahaha. Pada 23 Oktober 2017 di depan sekira 350-an undangan, ibu Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka secara resmi ditandai dengan penandatanganan cover buku peluncuran dua buku tersebut. Dalam sambutannya, dia mengapresiasi dua buku itu dan memerintahkan jajaran KLHK untuk membacanya. Dia juga memberikan buku pada tiga tokoh inspirasi yang semala ini berjuang untuk ekologis: Prof Bambang Hero Saharjo (Guru Besar IPB, Ahli karhutla memasukkan banyak korporasi ke pengadilan), Rahdini Ikaningrum (jurnalis TV, waktu di Metro Realitas kerap menyuarakan kejahatan kehutanan di Riau) dan Abdul Manan alias cik Manan (warga Tohor yang berhasil menghadirkan Jokowi tahun 2014 ke Riau untuk hentikan karhutla). Sambutannya dalam buku EoF, Ibu Siti Nurbaya mengatakan pekerjaan pemantauan hutan yang dilakukan koalisi EoF di hutan Sumatera merupakan satu contoh bagaimana masyarakat sipil bisa bergerak dan mengabdikan pekerjaanya demi upaya perlindungan hutan alam. Diantara aktifitas itu, ialah pemantauan terhadap kinerja perusahaan dalam operasi dengan prinsip kelestarian. ”Upaya penemuan adanya operasi industri kayu merupakan tindakan objektif berdasar pada fakta lapangan yang dilaporkan, bukan merupakan judgement dan prejudice,”katanya,”profesionalitas EoF dengan kerja-kerja akurat dan kredibel serta menasional dengan pusat kegiatan di Riau, Jambi dan Kalimantan, diantaranya menjadi salah satu sumber utama KLHK dalam menghimpun berbagai substansi untuk artikulasi kebijakan berkaitan dengan tata kelola hutan, perijinan, penataan ruang, perhutanan sosial dan lain sebagainya. Dalam artikulasi itu, kami percaya akurasi dan kredibilitas kerja, data dan laporan EoF sebagai masukan atau bahan dasar terutama berkaitan dengan urusan Hitan Tanaman Industri.” Bagi saya itu apresiasi khusus untuk pendiri dan mereka yang pernah dan sedang terlibat di EoF: pengurus Jikalahari, Walhi dan WWF dari tahun 2014 hingga kini. Dan para investigator pemberani yang di lapangan maupun yang membuat laporan. Bahkan bagi saya, dia apresiasi khusus juga untuk kepala rumah tangga di EoF: para pembuat kopi, teh, dan membeli gorengan serta sebungkus nasi di kala tim EoF kehausan dan kelapangan (hahahhahaha). Bagi saya, ikut terlibat dalam peluncuran buku dan kerja-kerja EoF sejak 2011 satu kebanggaan, kehormatan dan sepotong sejarah dalam perjalanan hidup saya. Satu postulat yang kerap saya ingat dalam hukum pidana—ini kerap dilontarkan Prof Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana UGM: In Criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores. Maknanya, dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Ya, bukti harus lebih terang dari cahaya. Saya kita itu yang dilakukan oleh EoF. Untuk membuktikan kejahatan terorganisir yang dilakukan aktor korporasi dan non koporasi (cukong, pemodal) EoF juga melakukan serangkaian kegiatan terorganisir. Investigasi dirancang dengan teliti. Data awal jadi panduan: (1) tim investigator di lapangan mulai bekerja dibekali dengan pengetahuan tekhnis investigasi: observasi, interview, tracking, surveilance hingga penyamaran. Tekhnik-tekhnik itu juga dipakai penegak hukum. (2) tim menuju lapanga: di tengah hutan yang jarak tempuhnya sangat jauh dari ibu kota, hingga mengarungi sungai, laut dan membelah ke dalam hutan. Setidaknya sepuluh hari tim berada di tengah hutan untuk menemukan: apa, siapa, bagaimana, mengapa dan kenapa. (3) Tim lainya, melacak dan menelusuri dokumen di pusat-pusat kekuasaan. Untuk mendapatkan dokumen bukan perkara mudah, bekal tekhnik investigasi saja tidak cukup, butuh seni tersendiri. (4) Tim kembali berkumpul. Semua hasil investigasi dikumpulkan. Dibahas. Semua harus diteliti dan dianalisi. Hasil investigasi disebar ke publik melalui web http://www.eyesontheforest.or.id, berbahasa inggris dan Indonesia. Ini juga untuk mengingatkan pembeli di Eropa dan Cina agar tidak membeli produk mengandung kejahatan ekologis. Kadang juga, hasil investigasi langsung diserahkan ke pihak-pihak terkait untuk mendapat respon. Melawan kejahatan terorganisir, tidak mudah, juga tidak sulit. EoF membentuk “manajemen investigasi terorganisir” yang dikembangkan oleh Jikalahari, Walhi Riau dan WWF Riau. Tujuannya untuk menemukan alat bukti dan barang bukti. EoF juga memakai alat bukti konvensional—di dalam KUHAP—dan modern di dalam UU khusus Lingkungan Hidup dan lainnya. Juga mengembangkan model pembuktian lainnya. Selebihnya, bukan hanya tim yang solid dan kreatif, cara kerja mengedepankan pembuktian, juga didukung peralatan yang modern dan jejaring yang tersebar di mana-mana di dunia ini. Saya kerap berdiskusi dengan tim investigator yang di lapangan maupun tim yang memburu bukti-bukti lainnya. Intinya, mereka selalu bilang, investigasi tak punya standar, meski standar investigasi ada tapi belum tentu dapat dipraktekkan di lapangan. Investigasi adalah seni. Misal, untuk masuk ke konsesi perusahaan yang dijaga ketat oleh tim pengaman, tak semua investigator bisa masuk ke dalam perusahaan. Untuk menelusuri kayu-kayu dan sawit-sawit illegal dari kawasan hutan butuh kesabaran mengikuti truk-truk hingga masuk ke perusahaan. Untuk mendapatkan dokumen resmi pemerintah tentu tak semudah memasukkan surat, butuh cara tersendiri mendapatkannya. Cerita mereka penuh jenaka, ketegangan dan kekonyolan. Selain seni, mereka menyebut investigator harus punya pengetahuan dan koneksi di lapangan, selain peralatan yang canggih, dan paling penting keberanian. Buku setebal 377 halaman full warna berat hampir dua kilo ini berisi kumpulan 38 hasil investigasi lapangan terkait isu penebangan hutan alam, kebakaran hutan, tambang dalam kawasan hutan, kebun sawit dalam kawasan hutan, sawit illegal masuk dalam pabrik perusahaan hingga tipu-tipu komitmen perusahaan terkait kelestarian. EoF menemukan korpoasi dan cukong telah melakukan tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup, perkebunan dan pertambangan dalam kawasan hutan. EoF sudah menemukan modus dan pola kejahatan dari lapangan dan menemukan predicate offencenya. Namun, apakah temuan itu mengandung pencucian uang? Menurut Yenti Garnasih ahli pencucian uang, tindak pidana pencucian uang dimaknai sebagai the Proceed of Crime Offence atau tindak pidana hasil kejahatan. Pengertian ini mengandung makna bahwa dalam sebuah tindak pidana pencucian uang selalu ada dua unsur penting, yaitu predicate offence/kejahatan utama dan follow up crime/kejahatan lanjutan. EoF perlu mengejar kejahatan lanjutan kejahatan korporasi yaitu pencucian uangnya. Ia penting, menurut Yunus Husein mantan Ketua PPATK, hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus tititk terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit dilakukan. Melawan korporasi jangan tanggung-tanggung, bila hanya kejahatan asalnya diproses oleh penegak hukum, tanpa menelusuri “life blood of the crime”, korporasi akan terus melakukan kejahatan. Oleh karenanya, EoF musti juga mengembangkan investigasi “follow the money” musti jauh lebih sulit dibanding investigasi lapangan. Tapi perlu dicoba: In Criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores. Bagaimana caranya? Investigasi adalah seni. Oleh : Made Ali Tulisan ini juga dapat dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/07/seni-mata-tajam-eof/#more-2395
0 Comments
Leave a Reply. |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |