kita & LITERASI
Kumpulan catatan tentang tutur literatur
ada Oktober 2017, Prof Hariadi Kartodihardjo setuju buku terbarunya berjudul “Di Balik Krisis Ekosistem” terbitan LP3ES dilaunching bersamaan dengan buku EoF berjudul “Mata Tajam Eyes On The Forest”. Karena dua buku itu diberi Kata Sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kami merancang agar buku itu langsung di luncurkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada 13 Oktober 2017 kami—Saya, Nursamsu, Riko Kurniawan, Afdhal Mahyudin dan Elviriadi—bertemu Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup. Dalam pertemuan itu hadir jua Prof Hariadi dan Chalid Muhammad (Bang CM). Dalam pertemuan itu, kami dari Riau menyampaikan sikap penolakan atas RTRWP Riau 2017-2037 karena bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi, satu diantaranya luasan lindung gambut Riau hanya dialokasikan 21 ribuan ha dari 2,4 juta hektar yang mustinya menjadi kawasan lindung gambut di Riau. Berkurangnya luasan gambut ini tentu saja menguntungkan korporasi Hutan Tanaman Industri dan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang selama ini merusak gambut dalam dan menebang hutan alam. Usai menerangkan penolakan itu, kami mengundang dan meminta kesediaan waktu untuk meluncurkan dua buku tersebut. Ibu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup bersedia hadir dan mengapresiasi atas launching tersebut pada 23 Oktober 2017. Sebelumnya Bang CM membantu proses jelang launching. Bang CM berperan besar memberikan ide acara. Ide tokoh inspirasi dan pembicara dari kalangan selebriti adalah ide bang CM. Tim EoF juga dibantu mbak Nunung dari MFP 3 dan Kehati. Karena waktu tinggal 10 hari, pontang-panting dan tegang-tegang jadi kerjaan tim EoF—rencana awal peluncuran buku awal November. Untung saja usai peluncuran tidak ada yang terkena penyakit kejang-kejang, hahahhahahaha. Pada 23 Oktober 2017 di depan sekira 350-an undangan, ibu Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka secara resmi ditandai dengan penandatanganan cover buku peluncuran dua buku tersebut. Dalam sambutannya, dia mengapresiasi dua buku itu dan memerintahkan jajaran KLHK untuk membacanya. Dia juga memberikan buku pada tiga tokoh inspirasi yang semala ini berjuang untuk ekologis: Prof Bambang Hero Saharjo (Guru Besar IPB, Ahli karhutla memasukkan banyak korporasi ke pengadilan), Rahdini Ikaningrum (jurnalis TV, waktu di Metro Realitas kerap menyuarakan kejahatan kehutanan di Riau) dan Abdul Manan alias cik Manan (warga Tohor yang berhasil menghadirkan Jokowi tahun 2014 ke Riau untuk hentikan karhutla). Sambutannya dalam buku EoF, Ibu Siti Nurbaya mengatakan pekerjaan pemantauan hutan yang dilakukan koalisi EoF di hutan Sumatera merupakan satu contoh bagaimana masyarakat sipil bisa bergerak dan mengabdikan pekerjaanya demi upaya perlindungan hutan alam. Diantara aktifitas itu, ialah pemantauan terhadap kinerja perusahaan dalam operasi dengan prinsip kelestarian. ”Upaya penemuan adanya operasi industri kayu merupakan tindakan objektif berdasar pada fakta lapangan yang dilaporkan, bukan merupakan judgement dan prejudice,”katanya,”profesionalitas EoF dengan kerja-kerja akurat dan kredibel serta menasional dengan pusat kegiatan di Riau, Jambi dan Kalimantan, diantaranya menjadi salah satu sumber utama KLHK dalam menghimpun berbagai substansi untuk artikulasi kebijakan berkaitan dengan tata kelola hutan, perijinan, penataan ruang, perhutanan sosial dan lain sebagainya. Dalam artikulasi itu, kami percaya akurasi dan kredibilitas kerja, data dan laporan EoF sebagai masukan atau bahan dasar terutama berkaitan dengan urusan Hitan Tanaman Industri.” Bagi saya itu apresiasi khusus untuk pendiri dan mereka yang pernah dan sedang terlibat di EoF: pengurus Jikalahari, Walhi dan WWF dari tahun 2014 hingga kini. Dan para investigator pemberani yang di lapangan maupun yang membuat laporan. Bahkan bagi saya, dia apresiasi khusus juga untuk kepala rumah tangga di EoF: para pembuat kopi, teh, dan membeli gorengan serta sebungkus nasi di kala tim EoF kehausan dan kelapangan (hahahhahaha). Bagi saya, ikut terlibat dalam peluncuran buku dan kerja-kerja EoF sejak 2011 satu kebanggaan, kehormatan dan sepotong sejarah dalam perjalanan hidup saya. Satu postulat yang kerap saya ingat dalam hukum pidana—ini kerap dilontarkan Prof Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana UGM: In Criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores. Maknanya, dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Ya, bukti harus lebih terang dari cahaya. Saya kita itu yang dilakukan oleh EoF. Untuk membuktikan kejahatan terorganisir yang dilakukan aktor korporasi dan non koporasi (cukong, pemodal) EoF juga melakukan serangkaian kegiatan terorganisir. Investigasi dirancang dengan teliti. Data awal jadi panduan: (1) tim investigator di lapangan mulai bekerja dibekali dengan pengetahuan tekhnis investigasi: observasi, interview, tracking, surveilance hingga penyamaran. Tekhnik-tekhnik itu juga dipakai penegak hukum. (2) tim menuju lapanga: di tengah hutan yang jarak tempuhnya sangat jauh dari ibu kota, hingga mengarungi sungai, laut dan membelah ke dalam hutan. Setidaknya sepuluh hari tim berada di tengah hutan untuk menemukan: apa, siapa, bagaimana, mengapa dan kenapa. (3) Tim lainya, melacak dan menelusuri dokumen di pusat-pusat kekuasaan. Untuk mendapatkan dokumen bukan perkara mudah, bekal tekhnik investigasi saja tidak cukup, butuh seni tersendiri. (4) Tim kembali berkumpul. Semua hasil investigasi dikumpulkan. Dibahas. Semua harus diteliti dan dianalisi. Hasil investigasi disebar ke publik melalui web http://www.eyesontheforest.or.id, berbahasa inggris dan Indonesia. Ini juga untuk mengingatkan pembeli di Eropa dan Cina agar tidak membeli produk mengandung kejahatan ekologis. Kadang juga, hasil investigasi langsung diserahkan ke pihak-pihak terkait untuk mendapat respon. Melawan kejahatan terorganisir, tidak mudah, juga tidak sulit. EoF membentuk “manajemen investigasi terorganisir” yang dikembangkan oleh Jikalahari, Walhi Riau dan WWF Riau. Tujuannya untuk menemukan alat bukti dan barang bukti. EoF juga memakai alat bukti konvensional—di dalam KUHAP—dan modern di dalam UU khusus Lingkungan Hidup dan lainnya. Juga mengembangkan model pembuktian lainnya. Selebihnya, bukan hanya tim yang solid dan kreatif, cara kerja mengedepankan pembuktian, juga didukung peralatan yang modern dan jejaring yang tersebar di mana-mana di dunia ini. Saya kerap berdiskusi dengan tim investigator yang di lapangan maupun tim yang memburu bukti-bukti lainnya. Intinya, mereka selalu bilang, investigasi tak punya standar, meski standar investigasi ada tapi belum tentu dapat dipraktekkan di lapangan. Investigasi adalah seni. Misal, untuk masuk ke konsesi perusahaan yang dijaga ketat oleh tim pengaman, tak semua investigator bisa masuk ke dalam perusahaan. Untuk menelusuri kayu-kayu dan sawit-sawit illegal dari kawasan hutan butuh kesabaran mengikuti truk-truk hingga masuk ke perusahaan. Untuk mendapatkan dokumen resmi pemerintah tentu tak semudah memasukkan surat, butuh cara tersendiri mendapatkannya. Cerita mereka penuh jenaka, ketegangan dan kekonyolan. Selain seni, mereka menyebut investigator harus punya pengetahuan dan koneksi di lapangan, selain peralatan yang canggih, dan paling penting keberanian. Buku setebal 377 halaman full warna berat hampir dua kilo ini berisi kumpulan 38 hasil investigasi lapangan terkait isu penebangan hutan alam, kebakaran hutan, tambang dalam kawasan hutan, kebun sawit dalam kawasan hutan, sawit illegal masuk dalam pabrik perusahaan hingga tipu-tipu komitmen perusahaan terkait kelestarian. EoF menemukan korpoasi dan cukong telah melakukan tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup, perkebunan dan pertambangan dalam kawasan hutan. EoF sudah menemukan modus dan pola kejahatan dari lapangan dan menemukan predicate offencenya. Namun, apakah temuan itu mengandung pencucian uang? Menurut Yenti Garnasih ahli pencucian uang, tindak pidana pencucian uang dimaknai sebagai the Proceed of Crime Offence atau tindak pidana hasil kejahatan. Pengertian ini mengandung makna bahwa dalam sebuah tindak pidana pencucian uang selalu ada dua unsur penting, yaitu predicate offence/kejahatan utama dan follow up crime/kejahatan lanjutan. EoF perlu mengejar kejahatan lanjutan kejahatan korporasi yaitu pencucian uangnya. Ia penting, menurut Yunus Husein mantan Ketua PPATK, hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus tititk terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit dilakukan. Melawan korporasi jangan tanggung-tanggung, bila hanya kejahatan asalnya diproses oleh penegak hukum, tanpa menelusuri “life blood of the crime”, korporasi akan terus melakukan kejahatan. Oleh karenanya, EoF musti juga mengembangkan investigasi “follow the money” musti jauh lebih sulit dibanding investigasi lapangan. Tapi perlu dicoba: In Criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores. Bagaimana caranya? Investigasi adalah seni. Oleh : Made Ali Tulisan ini juga dapat dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/07/seni-mata-tajam-eof/#more-2395
0 Comments
Ide ecocracy, seolah “membangunkan” Mas Achmad Santosa—lebih dari 30 tahun mengabdi sebagai aktifis, dosen dan peneliti lingkungan hidup—untuk memanfaatkan ide itu.”Belum terpikirkan oleh saya untuk mengembangkan gagasan ini dan pentingnya memperjuangkan green constitution,” kata Mas Ota—sapaan akrab—dalam Kata Sambutan buku Green Constitution karya Prof Jimly Asshiddiqie, ahli tata negara Indonesia. “Dalam wacana tingkat global pun, komunitas hukum lingkungan masih sibuk dengan menormakan pembangunan berkelanjutan ke dalam peraturan perundang-undangan (legislasi),” kata mas Ota,”krisisi daya dukung ekosistem dan lingkungan hidup yang dihadapi Indonesia sangat nyata, konstitusionalisasi norma hukum lingkungan menjadi sangat diperlukan seiring dengan ikhtiar kita memperkuat demokrasi dan negara hukum, serta tata pemerintahan yang baik.” Saat ini konsep ketatanegaraan constitutional democracy (demokrasi konstitusi) dan democratische rechstaat (negara hukum yang dmokrasi/nomokrasi) sama pentingnya dengan ecocracy. Ecocracy adalah kedaulatan lingkungan hidup atau ekosistem dimana suatu pemerintahan mendasarkan kepemerintahannya secara taat asas pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Oleh karenanya, perlu mengembangkan gagasan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan atau green constitution. “Gagasan ini dapat menjadi salah satu upaya yang efektif mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ke dalam arus politik pembangunan nasional,” kata Mas Ota. Menurut Prof Jimly konsep green constitution dan ecocracy di belahan dunia perdebatan dan diskusi mengenai dua tema itu menjadi isu sentral di Portugal, Spanyol, Polandia, Perancis dan Ekuador. Dua alasan penting dua tema itu untuk dipahami di Indonesia: Pertama, kondisi lingkungan hidup amat memprihatinkan. Sudah saatnya kita meletakkan dan memperkuat kembali dasar-dasar konseptual mengenai persoalan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dengan berwawasan lingkungan. Kedua, UUD 45 sebagai the supreme laws of the land pada disarray telah memuat gagasan dakar mengenai kedaulatan lingkungan dan ekokrasi yang dapat disetarakan pula nilai-nilainya dengan demokrasi economy dan nomokrasi. Norma-norma hukum lingkungan hidup yang ada di dalamnya, secara tegas telah mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan dan kebijakan di pelbagai sektor pembangunan untuk patuh dan tunduk kepadanya. Sayangnya, hingga kini belum banyak yang mampu menerjemahkan maksud dan nilai-nilai lingkungan hidup yang terkandung di dalam UUD 45. Wacana konstitusi hijau di indonesia merupakan fenomena baru di dunia hukum. “Bahkan para sarjana hukum tata negara sendiri rata-rata belum mendengar istilah green constituon,” kata Prof Jimly. “Sarjana hukum kita kurang up to date perkembangan hukum di dunia. Sarjana hukum kita kebanyakan terpaku pada cara berpikir yang sangat positivist yang menyebabkan mereka hanya berkutat dengan kata-kata yang terdapat dalam hukum positif yang berlaku kini dan di sini.” Istilah green constituon, sebagai anekdot ketika pimpinan dan anggota Mahkamah Konstitusi berkunjung ke pimpinan DPD RI pada Agustus 2008. Hakim Konstitusi Prof Ahmad Sodiki mengutarakan pentingnya mengadopsi gagasan “green constitution” ke dalam gagasan kemungkinan perubahan kelima UUD 45. Para peserta banyak terkejut karena belum pernah mendengar istilah green constitution, meski semua menyetujui ide itu. “Bahkan ketua MK Prof Mahfud MD sambil tertawa menyimpulkan bahwa pertemuan itu sangat produktif sampai-sampai muncul istilah green constitution,” kata Prof Jimly. Dalam buku setebal 208 halaman yang terbit pada 2009 ini, Prof Jimly membandingkan perjalanan konstitusi hijau di negara Portugal, Spanyol, Polandia dan Ekuador, lalu melihat prinsip kedaulatan UUD 45. Prof Jimly menceritakan awal mula munculnya konsepsi kedaulatan yang dikenal dalam hukum tata negara di dunia dan perjalanan hingga masuk ke Indonesia dan melahirkan UUD 45. Ajaran-ajaran Kedaulatan awalnya pertama kali muncul konsesi Kedaulatan Tuhan, Tuhanlah yang merupakan sumber kekuasaan sebenarnya. Semua manusia harus tunduk kepada Tuhan. Muncullah istilah ajaran teokrasi. Lalu muncul ajaran kedaulatan Raja, Hukum, Rakyat dan Negara. Lalu, perkembangan dunia terkait krisis lingkungan hidup, ide kedaulatan lingkungan hidup penting menurut Prof Jimly. “Jika konsepsi kedaulatan Tuhan dapat dikaitkan dengan doktrin Teokrasi, kedaulatan rakyat berkaitan dengan demokrasi, kedaulatan hukum berkaitan dengan nomokrasi, kedaulatan raja terkait dengan monarki, maka konsep kedaulatan lingkungan dapat kita kaitkan dengan istilah ekokrasi atau kekuasaan ekologi.” Lebih jauh, Prof Jimly menjelaskan, gagasan ekokrasi dan kedaulatan lingkungan dapat dikembangkan dalam konteks kekuasaan yang dikonstruksikan dalam mekanisme hubungan antara Tuham, Alam dan Manusia. Di zaman modern, relasi kekuasaan hanya dipandang sebagai persoalan manusia atau antroposentrisme yang menempatkan kehidupan terpusat pada manusia. Sikap ini melahirkan kehancuran dalam diri alam semesta. “Sekarang barulah orang sadar, lingkungan hidup perlu mendapat perhatian, dilindungi, dan dijaga kelestariannya untuk kelangsungan hidup umat manusia. Dalam hubungannya dengan sistem kekuasaan negara, alam semesta harus dipandang pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan.” Dalam konstitusi Indonesia, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, dan kedaulatan lingkungan harus seimbang baik dalam segi konsep maupun operasionalnya di dalam kehidupan bernegara. Intinya, Ekokrasi dan kedaulatan lingkungan, pada alam diakui adanya kekuasaan dan hak asasinya sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun (inalienable rights). Alam diakui memiliki kedaulatannya sendiri. Di samping rakyat sebagai manusia yang dianggap berdaulat, alam juga berdaulat. Inilah yang dimaksud dengan prinsip kedaulatan lingkungan yang juga terkandung dalam UUD 45. “Kita dapat mengatakan bahwa UUD 45 juga merupakan konstitusi hijau (green constitution).” Meski UUD 45 masih jauh dari hijaunya warna konstitusi Portugal, Spanyol, Polandia, Perancis dan Ekuador. Konstitusi hijau Indonesia kian penting diterapkan karena perubahan iklim yang terjadi tidak hanya berakibat bagi masyarakat manusia di suatu negara, melainkan seluruh dunia. Nuansa hijau dalam UUD 45 paska amandemen terlihat dalam pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4). “Setia orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” dan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Prof Jimly juga memperingatkan pentingnya dalam memahami roh UUD 45 tidak boleh terpaku pada bunyi teksnya, dan juga tidak boleh hanya berhenti pada pengertian-pengertian yang dipikirkan oleh the framerssebagai the origin intent. Spirit undang-undang harus berkembang (evolving constitution),” bahkan UUD 45 juga dapat berubah melalui mekanisme yang disebut verfassungs wandelung, berubah melalui praktek-praktek kenegaraan di kemudian hari, meskipun tidak secara resmi diubah menurut prosedur formil yang diatur sendiri oleh konstitusi yaitu, verfassung anderung.” Menarik membaha ide soal Ekokrasi dalam setiap pembuatan undang-undang, meski sulit ketika masuk dalam legislasi yang diisi oleh anggota parlemen dari ragam partai, yang orang-orangnya terlibat dalam perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Belum lagi, birokrasi tua warisan orde baru yang terkoneksi dengan antek-antek Soeharto sering pro pada pengusaha perusak dan pencemar lingkungan hidup dengan membuat aturan tekhnis yang justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kehidupan sosial masyarakat di kampung-kampung. Ekokrasi menurut saya sudah hidup di tengah-tengah masyarakat hukum adat dan masyarakt di kampung-kampung yang punya kearifan lokal. Ide Ekokrasi sebaiknya juga bermula dan berakhir dari kampung-kampung yang hutan tanah dan alam semestanya dirusak oleh korporasi yang difasilitasi oleh rezim berkuasa. Di Kota yang serba pragmatis, adakah yang memikirkan Ekokrasi? Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/06/konstitusi-hijau/#more-2383 Buku Para Pelacurku Yang Sendu karya Gabriel Garcia Marquez mengingatkan tentang, hidup ada batasnya. “Usia bukanlah masalah berapa umurmu, tapi bagaimana kau merasakan ketuaan itu,” kata Profesor Camacho Y Cano, pemeran utama dalam buku itu. “Tak peduli apapun yang kau lakukan, tahun ini atau seratus tahun lagi, kau tetap akan mati selama-lamanya.” Namun, bagaimana kematian datang? Di usia berapa? Yang kusukan dari Gabriel Garcia Marquez, seperti biasanya: bercerita kehidupan sosial yang muram di tengah kekuasaan, dengan caranya sendiri yang kadang alurnya sulit ditebak. Ia mengajak kita untuk berpikir dan merenung tentang kehidupan sosial, kali ini di Kolombia: kemiskinan melahirkan pelacuran. Kekuasaan juga melahirkan pelacuran. Sejarah kolonialisme Spanyol di Amerika Latin, melahirkan kemiskinan hingga tubuh pun jadi komoditi. Petualangan profesor di tanah kelahirannya di Kolombia bermula dan berakhir karena sebuah usia: "Di usia ke sembilan puluh, ia hendak menghadiahi dirinya dengan satu malam bersama seorang perawan dewasa. Setelah dua puluh tahun menghilang, ia kembali menelepon Rosa Cabarcas, pemilik rumah terlarang yang menyediakan para pelacur." Dari usia yang ke sembilan puluh tahun itu, ia membawa kita pada kehidupan profesor: tinggal di sebuah rumah bergaya kolonial di tepi taman San Nicolas, tempat ia menghabiskan sisa usia tanpa istri maupun kekayaan. Rumah itu warisan dari kedua orang tuanya: Florina de Dios Gargamantos. Ia anak manja dengan ibu yang memiliki banyak bakat yang meninggal karena sakit paru-paru di usia 50 tahun, dan seorang ayah formalitas yang tidak pernah mengakui kesalahannya dan meninggal di tempat tidurnya sebagai duda. Ia editor telegram di El Diario de La Paz untuk sastra, media mingguan. Gagal menikah dengan Ximena Ortiz meninggalkan Kolombia dan tidak kembali hingga 20 tahun kemudian, telah menikah dan punya tujuh orang anak. Ia penyuka musik klasik: Don Pedro Vargas, penyanyi tenor Amerika, menyanyikan bolero karya Miguel Matamoros, First Sonata for Violin and Piano karya Brahm, Allegretto Poco Mossosuites for uncompanied cello karya Johan Sebastian Bach, prelude nomor 24 karya chopin yang dimainkan oleh stefan askenase, sonata for violin and piano karya cesar franck, sonata karya schumann, rhapsody for clarinet and orchestra karya wagner, rhapsody for saxhophone karya debusy dan string quintet karya bruckner. Ia juga sering menonton konser dan film. Lagu, film dan konser salah satu resensinya sebagai kolumnis sastra. Kisah pertamanya bersinggungan dengan pelacur bermula di usia 12 tahun. Ia pertama kali ditiduri seorang pelacur terkenal bernama Castorina di sebuah hotel di Calle de Los Notarios. Sejak saat itu, di tengah rutinitas sebagai penulis kolom sastra, ia dengan mulai petualangan dengan pelacur sendu. “Belum pernah aku naik ke ranjang dengan seseorang perempuan yang tidak kubayar, dan beberapa perempuan yang tidak bekerja sebagai pramuria telah kubujuk, entah dengan alasan entah dengan paksaan, untuk menerima uang walaupun kemudian hanya dibuang ke tempat sampah,” katanya. “Ketika usiaku dua puluh tahun, aku mulai menyimpan catatan berisi nama, usia, tempat, dan catatan singkat tentang keadaan dan gaya bercintaku. Pada usiaku yang ke lima puluh, ada 514 perempuan yang setidaknya pernah bercinta denganku satu kali. Aku berhenti mengisi daftar itu ketika ragaku tidak memungkinkan lagi untuk bercinta dengan begitu banyak perempuan dan aku mencatatnya tanpa kertas,” katanya pada sebuah ingatan. Sejak saat itu ia mulai mengukur hidup bukan dengan tahun melainkan dengan dasawarsa,”usia lima puluh tahunku sangat menentukan karena aku menjadi sadar bahwa tiap orang ternyata lebih muda dariku. Usia enam puluh tahunku adalah yang paling menegangkan lantaran kecurigaan bahwa aku tidak lagi punya waktu untuk melakukan kesalahan. Usia tujuh puluh tahunku menakutkan lantaran kemungkinan dasawarsa itu adalah yang terakhir. “ “Tetap saja, ketika aku terjaga dan masih hidup pada pagi pertama usia sembilan puluh tahunku di ranjang Delgadina yang bahagia, aku tercengang oleh pikiran masuk akal bahwa hidup bukanlah sesuatu yang melintas seperti Heraklitus yang selalu berubah, melainkan sebuah kesempatan unik untuk terus memutar panggangan dan terus memanggang sisi lainnnya hingga sembilan puluh tahun lagi,” ia mengingat sisa ingatannya di usia 91 tahun. “Di bawah siraman matahari di sepanjang jalan, mulai kurasakan bebas usiaku yang kesembilan puluh, dan menghitung menit demi menit malam-malam yang tersisa sebelum aku mati,” ia meratapi saat kado ulang tahunnya di 91 tahun dengan seorang gadis belia yang ia beri nama Delgadina. Ia akhirnya menemukan cinta sejati dengan Delgadina di usia hingga satu abad. “Akhirnya, itulah kehidupan yang nyata, dengan hatiku yang tenteram dan dikutuk untuk mati karena cinta yang bahagia pada hari yang gembira, kapanpun, setelah hari ulang tahunku yang keseratus.” Usia, adalah awal dan akhir bagi si profesor, yang hidup sendirian tanpa anjing, burung dan hidup dari tulisan bersama seorang pembantu Damiana, justru menemukan cinta sejati di usia yang dia sendiri tidak tahu kapan akan mati. Mengapa Marquez, mengakhiri kehidupan Profesor dengan kebahagiaan? Barangkali, karena segala sesuatu akan berlalu pada saatnya, kita butuh kebahagiaan untuk lepas dari rutinitas sebab usia adalah batas awal dan akhir sebuah perjalanan kehidupan. Novel Marquez bikini tentang seks, tapi tentang kehidupan di usia tua menemukan cinta sejati. Aku ingat sepotong sajak, “Setelah hujan, panas akan datang kembali, setiap saat, setiap kali.” Begitulah kematian, juga kebahagiaan*** Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/05/para-pelacurku-yang-sendu/#more-2374 Jelang lepas landas menuju Jakarta dari Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim pada Oktober 2017, membuka-buka halaman koran Tempo, saya terhenti pada sepotong kalimat dari Zulkifli Hasan. “Sila pertama sekarang sudah diganti menjadi keuangan yang mahakuasa,” kata Zulkifli Hasan, Ketua Majelis Permusyawwaratan Rakyat di Makassar kemarin menegaskan bahwa sistem atau undang-undang pemilihan kepala daerah segera dibenahi agar sila pertama pancasila tidak berubah. (Koran Tempo edisi Rabu 11 Oktober 2017). Berkali-kali saya baca potongan kalimat Zulkifli Hasan “keuangan yang maha kuasa”. Saya mengulangi dalam hati: “keuangan yang maha kuasa”, “keuangan yang maha kuasa”, “keuangan yang maha kuasa”. Saya teringat buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara karya Yoshihara Kunio Guru Besar ilmu Ekonomi Universitas Kyoto Jepang. Buku yang terbit pertama kali 29 tahun lalu itu, dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1990 oleh LP3ES, Yoshihara Kunio menyebut setelah melakukan penelitian sejak 1970 menyimpulkan tipe kapitalisme ini sangat berbeda dari kapitalisme yang timbul di Barat dan Jepang, di mana kapitalisme telah mempelopori pembangunan ekonomi, paling tidak sejak revolusi industri. Kendati adanya kemajuan industri, peranannya jauh dari dinamis.”Agaknya, kapitalisme yang muncul di Asia Tenggara merupakan jenis baru: ersazt capitalism.” Kapitalisme Asia Tenggara disebut semu karena beberapa alasan. Bagi kaum fundamentalis Islam dan kaum nasionalis yang chauvinis, ia disebut semua karena ia didominasi oleh kaum kapitalis cina. Meskipun hal ini tidak begitu tepat di bawah berbagai kebijakan pemerintah yang mendorong kewirausahaan bumiputra, namun para kapitalis Cina masih tetap memegang kendali yang sesungguhnya atas kapitalisme asia tenggara (lebih tepat porsi non asingnya). Bagi para ekonom laissez-faire, kapitalisme asia tenggara disebut semu karena ia didominasi oleh para pemburu-rente (rent seekers). Sebenarnya, terdapat jenis-jenis kapitalis yang janggal seperti kapitalis konco (crony capitalist) dan kapitalis birokrat. Di samping itu, ada pemimpin-pemimpin politik, anak-anak dan sanak keluarga mereka, dan keluarga-kraton terlibat dalam bisnis. Apa yang mereka buru bukan hanya proteksi terhadap kompetisi asing, tetapi juga konsesi, lisensi, hak monopoli, dan subsidi pemerintah (biasanya berupa pinjaman berbunga rendah dari lembaga-lembaga keuangan pemerintah). Akibatnya, telah tumbuh subur segala macam penyelewengan. Buku setebal 367 halaman ini membahas masalah para kapitalis yang telah menciptakan kapitalisme semu di asia tenggara. Minat Yoshiara Kunio berawal pada 1970 saat ia mengunjungi Filipina. Ia mengumpulkan data mengenai ini. Lalu, ia ke Malaysia, Thailand, Singapura, lalu berada di LIPI selama tiga bulan di Indonesia. Ia melakukan riset dan mengumpulkan data dan informasi terkait kapitalisme semu. Namun, ia jua juga menemui rintangan karena langkanya infromasi tercetak, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang, di mana beribu-ribu bahan mengenai sejarah perusahaan dan biografi serta banyak jurnal dan surat kabar bisnis dapat diperoleh. Yang tersedia di Asia Tenggara seringkali dangkal dan tidak selalu dapat dipercaya. “Usaha untuk menutupi kekurangan ini melalui wawancara kerapkali gagal karena para usahawan terkemuka tak dapat dihubungi,” kata Yoshihara Kunio,” Hal ini berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh seorang Antropolog Sosial yang ingin mewawancarai para petani di sebuah desa (para petani selalu mempunyai banyak waktu bagi siapa saja yang ingin mewawancarainya),”katanya,”kalaupun para usahawan bersedia diwawancarai, mereka boleh jadi tidak selalu menceritakan hal yang sebenarnya, karena dalam perjalanan mereka mencapai sukses, secara sengaja atau tidak, mereka mungkin telah menempuh praktek-praktek yang diragukan kejujuranya.” Ersatz berasal dari bahasa Jerman yang berarti “subsitusi” atau “pengganti”. Dalam bahasa Inggris yakni “pengganti yang lebih inferior”, dengan demikian, menurut Arief Budiman dalam pengantar, ersatz berarti bukan kapitalisme yang tulen, kapitalisme subsitusi yang lebih inferior. Menurut Arief Budiman, Yoshihara secara singkat mengatakan kapitalisme semu asia tenggara karena dua hal: Pertama, di Asia Tenggara campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme tidak dinamis. Ini juga yang menimbulkan tumbuhnya pencari rente di kalangan birokrat pemerintah, sehingga wiraswastawan sesungguhnya tidak berkembang. Juga menimbulkan kekuatan ekonomi pengusaha-pengusaha keturunan Cina, yang melalui koneksinya dengan para birokrat negara, berhasil memperoleh fasilitas-fasilitas khusus bagi usahanya. Yoshihara sendiri tidak secara a priori menentang campur tangan pemerintah. Tapi, campur tangan pemerintah yang terjadi di asia tenggara sudah terlalu berlebihan, sehingga mematikan dinamika sistem kapitalisme sendiri. Kedua, kapitalisme di asia tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang memadai. Akibatnya tidak terjadi industrialisasi yang mandiri. Padahal, menurut Yoshihara, industrialisasi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk sebuah pembangunan ekonomi yang mandiri. Dia menyatakan, kekuatan ekonomi Jepang sekarang bukan terletak pada keahliannya di bidang perbankan, atau usaha real estate, atau usaha jasa lainnya (semua ini bisa dikerjakan secara sama baiknya oleh pengusaha-pengusaha asia), tapi pada penguasaan teknologinya yang tinggi. Kapitalisme di asia tenggara kebanyakan bergerak di bidang jasa. Inggris adalah negara pertama yang mengembangkan diri berdasarkan prinsip kapitalisme liberal yang diperjuangkan di dalam dan luar negeri. Inggris membangun pabrik tekstik dan pabrik mesin tekstil, dengan modal yang dihimpun dari perorangan, khususnya bangsawan atau para petani pemilik tanah kaya, tanpa bantuan lembaga perbankan dan pemerintah. Campur tangan pemerintah ketika itu hanya akan mengacaukan siapa saja apa yang sudah berjalan dengan baik, paling sedikit bagi kaum bangsawan. Sistem kapitalisme liberal adalah sistem yang memang sangat cocok dalam kondisi dengan swasta dan kewiraswastaan sebagai motornya. Di dunia internasional, Inggris adalah negara pertama yang melaksanakan revolusi industri. Tidak heran kalau Inggris menjadi pembela sistem perdangan bebas internasional, karena sistem ini menguntungkan bagi Inggris. Lalu, Jerman dan Perancis generasi kedua yang melakukan industrialisasi. Yang sama antara Kapitalisme dan Kapitaisme semu di asia tenggara, menurut Arief Budiman, yang sama cumalah bentuk-bentuk dasarnya, yakni bahwa dia didasarkan pada pemilikan pribadi alat-alat produksi, sistem pasar yang dipakai sebagai dasar pertukaran barang dan jasa, serta tenaga kerja menjadi komoditi yang diperjual belikan di pasar. “Mereka yang disebut kapitalis di Barat abad ke-18 atau Jepang, pada pokoknya merupakan “spesies” yang sama dengan mereka yang penulis sebut sebagai kapitalis di asia tenggara,” kata Yoshihara,”mereka menguasai sejumlah besar modal, menggenggam kekuasaan ekonomi, dan dapat bertindak sebagai pelopor modernisasi ekonomi.” Yoshihara membentang dalam bukunya sejarah awal masuknya kapitalisme di Asia Tenggara. Saya fokus pada Kapitalisme semu di Indonesia. Di Indonesa ia dimulai sejak masukanya VOC dan EEC seiring masuknya penjajahan. Pengusaha Belanda dan Inggris (atau modal Barat lainnya) menguasai bisnis melalui perusahaan-perusahaan perkebunan, peleburan timah, perusahaan pengerukan timah, bank, perusahaan dagang, Namun, perang pasifik mengubah dominasi kapitalisme Barat di Indonesia. Indonesia selain menasionalisasi perusahaan Belanda juga membangun perusahaan negara, Jepang mulai melakukan peran di Indonesia tahun 1960-an. Dengan perekonomian hancur di era Soekarno, pemerintahan orde baru tak mempunyai pilihan kecuali menawarkan insentif yang royal kepada investor asing. “Walaupun kapitalisme di asia tenggara diciptakan oleh modal Barat dan didominasi olehnya selama sekitar satu abad, tetapi situasi ini telah berubah secara dramatis dalam beberapa dasawarsa yang lalu,” kata Yoshihara sambil menunjukkan pada kita perkembangan kapitalis Barat, Cina dan Pribumi. Kapitalis Semu di Indonesia, menampak wujud seperti yang disebut Yoshihara pemburu rente dan spekulator. Ia membikin senarainya: Para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente (rent seekers) karena pada pokoknya mereka mencari peluang-peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya. “Rente” di sini didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar dari suatu “kebaikan hati” pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima kepada pemerintah atau secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan (kalau ia tidak membayar sama sekali, maka seluruh nilai pasar adalah rente, atau lebih tepatnya, rente ekonomi). Asia tenggara masa kini mempunyai banyak pemburu rente, tak terkecuali di Indonesia. Yoshiara, membuat kategori-kategori kapitalis pemburu rente yang lain diciptakan berdasarkan cara mereka mengembangkan hubungannya dengan pemerintah: Kapitalis Kraton. Di Indonesia ada keluarga-kelurga keraton, para sultan dan keluarga mereka. Keterlibatan keraton dalam bisnis paling tidak signifikan di Indonesia, karena hanya sedikit sultan yang masih ada, di antara mereka hanya Sultan Yogyakarta, yang memiliki hampir separuh saham Bank Dagang Nasional Indonesia, salah satu bank dagang terbesar di Indonesia, dan memiliki atau memegang saham sejumlah perusahaan yang lain (seperti PT Duta Merlin, sebuah kompleks pertokoan di Jakarta). Keluarga Presiden. Presiden Soeharto melakukan investasi di bisnis pada perusahaan-perusahaan milik liem Sioe Liong, meski sulit dibuktikan, tapi keluarganya terlibat luas dalam bisnis: Probosutedjo, Sudwikatmono, Bernard Ibnu Hardjono, tiga putra presiden juga terjun dalam bisnis. Kapitalis Konco. Ia merupakan usahawan sektor swasta yang memperoleh keuntungan sangat besar dari hubungan eratnya dengan kepala negara. Lie Sioe Liong dan Bob Hasan punya hubungan erat dengan Presiden Soeharto. Hubungan Liem dengan Soeharto bermula sejak akhir 1950an ketika Soeharto memimpin Divisi Diponegoro, Jawa Tengah. Liem memperoleh kepercayaan Soeharto melalui hubungan bisnis, dan sesudah Soeharto berkuasa pada 1965, Liem memperoleh sejumlah monopoli dan menikmati hak-hak istimewa pemerintah. Liem terus membangun kerajaan bisnis terbesar di Indonesia dengan memiliki saham pada perbankan, bajaj, real estate, semen, kendaraan bermotor dan perdagangan. Bob Hasan juga teman baik Soeharto waktu di Divisi Diponegoro. Bob Hasan memperoleh sejumlah konsesi gelondongan kayu dan telah membangun sebuah kelompok bisnis kayu gelondongan dan pengolahan kayu. Ia terjun di bisnis pelayaran, manufaktur, perdagangan dan konstruksi. Kapitalis Birokrat. Pertama, mereka yang memenuhi syarat sebagai kapitalis birokrat pernah memegang atau masih memegang jabatan birokrat yang mereka gunakan untuk akumulasi modal awal mereka. Kedua, kalau mereka tidak lagi memegang jabatan birokratis, mereka mungkin masih mempertahankan hubungan yang erat dengan pemerintah dan memanfaatkannya untuk bisnis mereka. Ketiga, mereka mempunyai bisnis sendiri dan menjalankannya seperti yang dilakukan oleh kapitalis yang lain. Kondisi terakhir mengesampingkan banyak purnawirawan perwira militer di Indonesia dari grup kapitalis birokrat. Sesudah pensiun, untuk menambah uang pensiun mereka, para perwira tinggi militer (jenderal dan lain-lain) sering menjalin hubungan dengan orang Cina dan memperoleh pendapatan yang menarik dengan mendapatkan fasilitas dan pemerintah bagi para mitra Cina mereka. Mereka lebih bertindak sebagai Rentier: mereka dibutuhkan dab dibayar untuk pengaruh mereka terhadap pemerintah. Nama-nama kapitasli birokrat dari pensiunan tentara: Ibnu Sutowo, Soemitro, Andi Sose, dan lainnya. Politisi yang beralih menjadi kapitalis. Tak banyak politisi beralih menjadi kapitalis karena kekuasaan dibatasi. Di Indonesia tentara memainkan peranan sentral dalam pemerintahan, paling tidak dalam periode orde baru. Kapitalis yang beralih menjadi politisi. Di Indonesia, beberapa pengusaha pribumi memasuki dunia politik atau mengabdi pemerintah dalam suatu jabatan yang penting semasa pemerintahan Soekarno, walaupun jumlah mereka lebih sedikit dan kurang penting dibanding dengan tipe pemburu rente yang lain. Kapitalis lain yang berkoneksi dengan pemerintah. Ia mencakup semua kapitalis lain yang mempunyai koneksi dengan pemerintah dan memanfaatkannya untuk bisnis. Pemerintah dapat memberikan suatu hak monopoli, konsesi gelondongan atau pertambangan, atau lisensi yang banyak diincar, memberikan proteksi atas kompetisi asing, bantuan keuangan, dan suatu kontrak yang besar dari pemerintah, mengangkat leveransir khusus, memberikan pertimbangan khusus pada permohonan reklasifikasi hak guna tanah, dan menjual harta pemerintah dengan harga konsesi. Mereka yang mempunyai koneksi dengan para pejabat tinggi pemerintah, siap memanfaatkan hak-hak istimewa ini, karena memperoleh banyak keleluasaan dalam pengambilan keputusan. Di Bab Akhir bukunya, Yoshihara menambahkan lampiran daftar Investor-investor asing, Kapitalis Besar Cina dan Kapitalis Besar Pribumi di Asia Tenggara, khusus di Indonesia nama-nama mereka masih ada yang masih hidup hingga kini, dan ada yang digantikan oleh penerusnya. Lalu apa kaitan, Zulkifli Hasan dengan dalam kategori-kategori kapitalis di atas? Ceritanya begini, kurang dari sebulan menjadi Menteri Kehutanan rezim Presiden SBY, ia menerbitkan SK 673/Menhut-II/2014 tentang kawasan hutan propinsi Riau, yang isinya seluas 1,6 juta kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Saat menyerahkan SK itu bertepatan dengan ulang tahun Propinsi Riau. Ia mengatakan di depan Annas Mamun, Gubernu Riau, bila ada usulan perubahan lagi silakan diajukan ke Kementerian Kehutanan. Annas bergegas membuat perubahan usulan untuk mengeluarkan salah satunya kebun sawit milik Gulat (Dosen Pertanian Unri) dan Edison Marudut (polisi Demokrat Riau) serta perkebunan sawit perusahaan milik Darmadi (Duta Palma Grup). Semua kebun sawit itu berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK 673 termasuk TGHK Riau tahun 1986. Annas Mamun di OTT oleh KPK di Jakarta. Secepat kilat, dua minggu sebelum berakhir, Zulkifli Hasan menerbitkan SK Nomor SK.878/Menhut-II/2014, yang isinya hampir sama dengan SK 673. Hasll temuan Pansus DPRD Riau 2015 dan invesitasi Eyes On The Forest menemukan 104 perusahaan sawit diputihkan (otomatis legal) dalam SK 673/878. Artinya 104 perusahaan itu yang selama ini illegal karena berada dalam kawasan hutan, menjadi legal setelah dikeluarkan dari kawasan hutan berdasarkan SK 673/878 yang diteken Zulkifli Hasan. Ke 104 perusahaan itu terafiliasi dengan Wilmar, First Resources, Astra, Sinarmas Grup, Salim Grup, Provident Agro dan taipan sawit lainnya. Korporasi-korpoarsi sawit itu hidup sejak era Soeharto hingga kini. SK 673/878 juga diprotes Pemerintah Propinsi Riau, tahun 2015 mereka mengajukan ke Ombudsman. Ombudsman pada 2016 menyatakan Zulkifli Hasan telah melakukan mal administrasi PP tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Nah, masuknya Gubernur Riau Annas Mamun karena Zulkifli Hasan. Korporasi sawit berjumlah 104 perusahaan menjadi legal karena Zulkifli Hasan. Mengapa Zulkifli Hasan melegalkan 104 perusahaan itu jelang masa jabatan berakhir? Ujung ceritanya, kita tahu Zulkifli Hasan mencalonkan diri menjadi Anggota DPR RI dari Lampung. Zulkifli Hasan, kini menjadi ketua MPR dan ketua PAN. Semasa menjadi Menteri Kehutanan, dia sangat dekat dengan SBY. Kini, dia juga masih punya kekuasaan di dunia politik. Dan, perbuatannya di Riau, adalah cerminan dia pemburu rente. Yang memburu dengan gagah perkasa, meski rakyat Riau terkena dampak Solastalgia. Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/04/kapitalisme-semu-asia-tenggara/#respond Pencegahan dan Pemulihan bagi Perempuan terhadap Ancaman Kekerasan Seksual dalam Hukum Adat Rejang11/3/2017 Menurut Budi Darma dalam Warisan (1996), “Feminisme mengarahkan fokusnya pada penindasan laki-laki terhadap perempuan. Pengertian laki-laki tidak selamanya individu. Laki-laki berarti tradisi atau lebih luas lagi adalah kebudayaan, yang telah begitu lama didominasi oleh laki-laki. Karena itu feminisme menggempur “adat istiadat” dan hukum yang tidak adil membatasi kebebasan dan kemajuan perempuan. Pencipta adat dan hukum itu tidak lain adalah laki-laki. Karena itu feminisme juga berjuang untuk mengubah peran perempuan, agar perempuan juga ikut dalam menentukan adat istiadat dan hukum.”
Institusi adat dengan berbagai mekanisme hukumnya adalah suatu realitas yang paling dekat dengan rasa keadilan masyarakat. Masyarakat memiliki kapasitas untuk menciptakan aturan hukumnya sendiri dan mengerti konsep keadilan seperti apa yang paling dibutuhkannya. Mereka juga memiliki pengertian tentang keadilan hukum dan keadilan socialnya. Namun tak jarang juga bahwa baik institusi adat maupun lembaga penyelesaian sengketa dalam adat justru mengabaikan hak-hak perempuan yang merupakan salah satu elemen pembentuk hukum tersebut. System kekerabatan yang patriaki dalam sistem social masyarakat akan mempengaruhi hasil keputusan sengketa, sehingga terjadi resistensi perempuan terhadap patriaki. Dalam situasi “netralitas hukum” mereduksi posisi perempuan sebagai pihak yang bersengketa. Sehingga dari perspektif gender, hukum tersebut dilihat sebagai produk kompromi. Dan, biasanya perempuan selalu berada di pihak yang dikalahkan. Kondisi seperti ini jika mengacu pada (Irianto, 2016) bahwa di banyak sistem hukum, bagaimanapun, tidak akan ada netralitas hukum selama posisi perempuan inferior terhadap laki-laki, terutama banyak dijumpai dalam sistem hokum yang mengatas namakan ajaran agama atau adat. Dan pada umumnya, inisiatif perempuan untuk menggunakan proses penyelesaian sengketa atau mekanisme alternative yakni peradilan adat dalam rangka mendapatkan akses kepada keadilan, juga sering tidak didukung oleh masyarakat luas yang secara kultural masih bersifat patriakis (Tong, 1998; Moore, 1998). Permasalahannya adalah, apakah kemudian pilihan perempuan terhadap mekanisme alternatif ini dapat mengakomodir keadilan bagi perempuan dalam menyelesaikan sengketa? Ketiadaan kekuasaan perempuan dalam relasi diantara dirinya dengan fungsionaris adat, tokoh dalam struktur kekerabatan, menghalangi aksesnya kepada keadilan yang subtantif, yakni keadilan yang betul-betul dinikmati secara nyata, bukan hanya ditulis dalam peraturan hukum secara formal. Tulisan ini menggunakan perpektif feminis atau perempuan dalam melihat praktek-praktek peradilan adat sekaligus sebagai kritik terhadap proses peradilan adat Rejang yang mengkomparasikan hokum adat Rejang yang asli (genuine) di Kabupaten Lebong dan hukum adat Rejang yang sudah terkodifikasi dalam bentuk Peraturan Daerah di Kabupaten Rejang Lebong. Kritik ini ini dilakukan karena penulis melihat adanya jurang yang lebar antara hukum di ranah ideal dengan kenyataan dilapangan. Salah satunya banyak oknum hakim adat yang secara tidak sadar bertindak dengan dasar ide yang stereotipikal terkait posisi dan tingkah laku perempuan dalam norma-norma yang maskulin. Sanksi/Denda Adat terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual. Dalam kontek sosiologis, hukum adalah salah satu elemen yang mampu merekontruksi sistem social. Untuk kasus-kasus kekerasaan seksual yang dialami oleh perempuan, dapat secara gamblang dilacak dalam konten dan pratik-praktik hukum serta peradilan adat. Sehingga, praktik hokum adat tersebut mempersepsikan perempuan dan laki-laki bukan hanya dari konteks jenis kelaminnya, melainkan juga aspek gender dalam mekanisme penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Untuk mengetahui tindakan hukum yang akan diambil dalam ancaman kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan, pelacakan dilakukan melalui hukum adat Rejang yang murni yakni Punen Pegong Pakei di Kabupaten Lebong dengan hukum adat Rejang yang telah terkodifikasi yakni Lepeak Ukum Adat Jang di Kabupaten Rejang Lebong. Menurut Salim (65 Th), Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa konten yang terdapat dalam hukum adat Rejang yang melindungi kaum perempuan dari tindak kejahatan, terutama kejahatan seksual. Misalnya dalam prinsip dasar hukum adat Rejang atau yang disebut dengan Punen Pegong Pakei dikenal istilah Cepalo. Cepalo adalah delik atau pelanggaran yang mendapatkan hukuman/ganjaran dalam komunitas adat, misalnya;
Sedangkan dalam buku Lepeak Hukum Adat Jang Kabupaten Rejang Lebong juga terdapat beberapa poin yang secara implisit lebih membahas delik dan sanksi bagi kasus-kasus kekerasan serta ancaman kejahatan yang menimpa perempuan adat Rejang. Misalnya, terdapat poin tentang pemerkosaan, “…memperkosa ini namanya memaksa sesuatu, kehendak terhadap perempuan baik gadis maupun sudah janda yang tidak senonoh (diluar tata susila). Sanksi : uang perkara buah sirih, uang Rajo, 1 ekor kambing + punjung mentah, ayam biring, denda Kuteui 4 Ria (pengapes), tepung setawar…”. Dan terdapat delik yang sama terkait pemerkosaan yakni pemerkosaan yang terjadi di dalam keluarga. Kemudian terdapat juga delik berzina yakni satu, pelanggaran hukum Utang Takep; takep lintang, takep lenyoa, si anjak, si kulo ucuk. Artinya adalah berzina didalam keluarga sendiri, bapak, ibu, anak bujang, denda uang perkara, uang rajo, uang pengapes kuteui, 1 ekor kambing + punjung mentah. Denda: 40 Ria s/d 80 Ria. Alat reneak-renei cukup, gemuk, mis, pelgeak, pe’eak, lidei, niyoa + tepung setawar = mencuci dusun. Khusus untuk kasus berzina ini banyak jenisnya, yaitu berzina di dusun orang yang dalam bahasa Rejang diistilahkan dengan “kerbau berkubang ditengah dusun”. Lalu, berzina sampai melahirkan anak atau zina menga’em. Serta perempuan yang hamil karena zina yang dilakukan lebih dari satu lelaki. Untuk semua delik zina ini dendanya rata-rata sama, yakni 1 ekor kambing dan cuci kampong. Dan delik atau pelanggaran yang terjadi dalam acara pernikahan yang merugikan pihak perempuan seperti keributan, batalnya pernikahan dari satu pihak keluarga, penipuan dalam hal rasan, juga diberikan denda berupa; sirih/iben lengkap, denda Kuteui 1 s/d 4 Ria dan Tepung Tawar. Sanksi atau denda adat di kedua hukum adat ini tentu sangat berbeda, karena Lepeak Hukum Adat Jang ini sudah dikodifikasikan dalam bentuk produk hukum daerah, maka denda adatnya ditetapkan secara jelas dan tegas serta tidak lagi bersifat kompromis tapi materil dan berpedoman dari Undang-Undang Simbur Cahaya serta karangan Pesirah A Sani dan M. Hoesein. Sedangkan di dalam Punen Pegong Pakei, sanksi atau denda tidak memiliki ketetapan sebagaimana Lepeak Hukum Adat Jang, dia muncul berdasarkan kesepakatan, kebiasaan yang ada di masing-masing wilayah serta kondisi pihak yang bersengketa. Teer Har dalam teori Beslissingen-nya (ajaran keputusan), bahwa suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia akan bersifat hukum manakala diputuskan dan dipertahankan oleh petugas hukum. Karena manusia itu melakukan sebuah tindakan yang dianggap salah. Maka dibuatlah hukuman bagi orang yang melakukan tindakan tersebut, dan muncullah sebuah delik (pelanggaran) adat yang adalah bersamaan dengan lahirnya hukum adat. Dan bahwa sebenarnya didalam hukum adat itu yang terpenting adalah jangan pernah membuat sanksi atau denda yang belum ada deliknya. Selain itu, karna hukum adat Rejang yang murni ini memang tidak pernah memiliki aturan yang secara tertulis menjadi panutan atau pedoman dalam memutuskan perkara, maka bentuk denda seperti cuci kampung atau dinikahkan (bagi kasus kekerasan seksual) bisa saja berlaku, tapi tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa dan keluarganya. Namun, setiap perkara yang telah diselesaikan dalam proses peradilan adat oleh Kuteui ini tidak boleh kemudian menimbulkan masalah baru atau masalah turunan, sengketa harus selesai secara damai dalam peradilan adat. Itulah kenapa kebanyakan proses peradilan adat ini memerlukan waktu cukup panjang yakni paling lama adalah 3 bulan. Dan dalam hukum adat Rejang tersebut memang tidak mengenal sanksi yang bersifat materil, berbeda dengan Hukum Adat Rejang di Kabupaten Rejang Lebong tersebut yang secara gamblang menyebutkan jumlah materil yang harus dibayar sebagai bentuk denda. Masyarakat hukum adat Rejang di Desa Tanjung Bajok ini menyatakan bahwa sebenarnya hukuman terberat bagi para pelaku kejahatan adalah dengan ritual tepung tawar. Tepung Tawar ini merupakan salah satu bentuk ritual adat untuk memulihkan kembali kondisi kekacauan yang terjadi di masyarakat. Bentuk dan istilahnya macam-macam untuk setiap daerah Rejang. Ada yang neyebutnya Tepung Setabea ada juga Serawo. Dan menurut Kepala Desa Tanjung Bajok, hal yang paling ia takuti oleh pelaku yang bersengketa adalah kena denda Serawo ini. Biasanya setiap penyelesaian sengketa dalam peradilan adat ia ditutup dengan ritual masak Serawo, dan setiap masyarakat di desa mendapatkan bagian untuk makan Serawo tersebut. Serawo ini memiliki dampak yang sangat serius bagi pelaku juga masyarakat. Ia merupakan denda sosial dan bagian dari cara masyarakat untuk mengetahui dan menerima setiap keputusan peradilan adat. Selain itu juga masyarakat hukum adat Rejang di Lebong ini mengenal istilah Pecuak Bekaping Sumbing Betitip. Yakni tindakan pemulihan untuk mengharmoniskan dan menyeimbangankan kondisi lingkungan masyarakat sampai pada posisi semula dengan cara mengumpulkan seluruh masyarakat dan memberikan informasi yang tepat terhadap perkara. Disinilah sebenarnya peluang proses pemulihan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual. Masyarakat secara umum menerima kembali korban dan bahkan turut menjaganya dari ingatan traumatis terhadap pelaku. Menurut Bambang (46 Th) Desa Tanjung Bajok, kebanyak kasus kekerasan terhadap perempuan, pelaku yang setelah mendapatkan denda Serawo akhirnya memilih untuk meninggalkan desa, karena malu. Berbeda dengan beberapa pasal yang terkandung dalam Lepeak Ukum Adat Jang, yang sangat fokus pada hukuman dan jumlah denda terhadap pelaku ketimbang pemulihan untuk korban. Di dalam Lepeak Ukum Adat Jang sendiri tidak terdapat pasal yang mengandung unsur-unsur pemulihan terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Pasal-pasal terkait kasus kekerasan yang dialami perempuan sebaliknya malah membuat korban untuk kedua kalinya menjadi korban lagi didalam lingkungan masyarakat. Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa sebenarnya hukum adat menempatkan perempuan pada posisi yang setara di mata hukum adat Rejang. Namun ketimpangan kemudian tampak manakala tujuan dari hukum dan peradilan adat Rejang ini kontradiktif dengan sanksi atau adat yang diputuskan untuk pihak-pihak yang bersengketa, khususnya di dalam Lepeak Ukum Adat Jang tersebut. Hukum adat tidak mampu benar-benar memulihkan kondisi sosial yang sebelumnya kacau, menjadi harmonis kembali khususnya untuk perempuan korban kekerasan seksual. Selain pemulihan medis dan psikis, kesatuan hukum yang hidup dalam masyarakat harus mendorong reintegrasi sosial untuk memulihkan kondisi sosial korban kekerasan. Denda seperti cuci kampong, menikah dengan pelaku dan potong kambing sebenarnya tidak sama sekali membantu proses pemulihan korban. Karena pada dasarnya butuh waktu yang panjang untuk memulihkan kondisi traumatis tersebut. Masyarakat harus menerima, menghargai dan mendukung kehadiran kembali korban ke lingkungan sosialnya untuk menjamin perlindungan korban dari pelabelan negative atau sterotip. Dan hal ini terdapat dalam hokum adat Rejang yang belum terkodifikasikan dalam bentuk-bentuk hukum positif di Kabupaten Lebong. Oleh : Pramasty Ayu Kusdinar Tulisan ini juga dapat dibaca di https://serindangbulan.wordpress.com/2017/11/03/pencegahan-dan-pemulihan-bagi-perempuan-terhadap-ancaman-kekerasan-seksual-dalam-hukum-adat-rejang/ *Tulisan ini merupakan potongan dari makalah utuh yang disusun oleh penulis dalam acara Konferensi Pengetahuan Perempuan III Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak, Oktober 2017 Fakultas Hukum Universitas Indonesia " "Saya rasa kami bukan penjahat, karena jika memang iya, pastilah kami dua penjahat paling menyedihkan dan paling tolol sepanjang sejarah.” Kalimat di atas, penutup cerita novel Monster Kepala Seribu karya Laura Santullo, saat Dario anak Sonia Bonet berada di ruang persemayam pribadi—Hakim memberikan kesempatan khusus untuk Sonia dan Dario beserta keluarganya untuk memberikan doa terakhir sebelum di kubur. Di dalam ruang itu, Sonia Bonet menyalakan lilin untuk suaminya. Ia duduk di samping Dario. Namun tak boleh berbicara karena dikawal oleh Polisi. Dokumen administrasi telah lengkap bahkan dijamin oleh seorang spesialis, termasuk bukti lainnya. Namun persetujuan tidak pernah turun. Jawaban yang mereka berikan terus berubah-ubah,”kadang mengulur-ulur, kadang membatasi, tapi pada dasarnya secara sistematis mereka menolak kami mendapatkan layanan asuransi yang semestinya bisa kami gunakan untuk menanggung biaya kesehatan kami. Polis yang terus kami bayar selama lima belas tahun lebih!” kata Sonia Bonet. Sonia Bonet menggunakan semua cara legal untuk mendapatkan persetujuan dari Alta Salud, perusahaan asuransi. Ia berkonsultasi dengan pengacara, mengejar-ngejar agen asuransi, bertemu dengan salah seorang anggota dewan yang punya pengaruh di Badan Perlindungan Konsumen. Badan itu sudah mengesahkan klaim Sonia sebagai konsumen hanya bisa keluarkan surat rekomendasi karena tidak berwenang untuk menindak perusahaan-perusahaan swasta. Tetap juga ditolak oleh Alta Salud karena keluarga Sonia Bonet memiliki rumah. “Memiliki rumah? andai pun kami bisa menjualnya, rumah itu sudah terbebani dua hipotek yang kami gunakan untuk membayar biaya pemeriksaan kesehatan yang Alta Salud menolak untuk menanggungnya karena alasan tak mendasar.” Hampir dua bulan Sonia berjuang untuk kesembuhan suaminya yang terbaring di rumahnya. Suatu malam di rumahnya ia tertidur. Tiba-tiba hempasan Memo terjatuh dari tempat tidur membangunkan Sonia di tengah malam. Memo meringkih memeluk kedua lututnya di atas lantai, dengan mulut kering dan kedua mata terpejam erat. Sonia hendak memindahkan, Memo tak mau. “Bak seekor hewan terluka, tidak bisa mendengar, tidak mengerti apa yang berusaha saya sampaikan kepadanya. Noda pipis melebar di celana piyamanya, saat melihatnya saya tahu bahwa saya tengah menyaksikan saat-saat yang sangat menakutkan ketika dia mulai kehilangan kontrol atas tubuhnya.” Sonia menjerit. Dario dan Monica—adik Memo—bergegas turun dari lantai atas. Mereka mencoba mendirikan Memo dan menyelipkan bantal di bawah kepalanya untuk memberinya rasa nyaman. Mereka menelepon unit gawat darurat. Mobil UGD datang dan memberi obat penenang, tapi deritanya tidak segera mereda. Mereka duduk mengelilinginya. “Kurasa anda tidak tahu, dan kuharap anda tidak akan pernah tahu, bagaimana rasanya melihat seseorang yang anda cintai menggelepat-gelepar akibat siksaan yang tak kunjung berhenti.” Sesuatu mendorongnya. Ia kumpulkan semua berkas. Dan mendatangi Alta Salud. Peristiwa marah-marah pada resepsionis di hari Jumat itu, Sonia Bonet bersama anaknya Dario memulai di luar kehidupannya selama ini yang bahagai bersama suaminya, barangkali, menjadi penjahat. “Baik kadang negara maupun Alta Salud tidak ada yang mau mendengarkan kami, dan birokrasi hanyalah jebakan untuk membuang-buang waktu kami, waktu yang tidak kami miliki,” kata Sonia Bonet. Dari rumah sakit ia mendatangi dokter Villalba, dokter koordinator untuk kasus suami Sonia yang sedang sakit parah. Sonia meminta penjelasan Villalba menolak perawatan suaminya. Villalba mengusir Sonia jika tidak dia akan telepon polisi. Tiba-tiba Sonia mengeluarkan pistol milik suaminya menodongkan ke Villalba. Villalba akhirnya menjelaskan pada Sonia; para dokter koordinator, diberi tugas oleh perusahaan, mereka harus menemukan motif untuk menolak perawatan-perawatan berbiaya mahal. Sakit yang memang sudah diderita sebelumnya, kesalahan dalam permohonan, diagnosa yang tidak konsisten, apa saja yang bisa membuat mereka meminimalkan pengeluaran asuransi. Atas kasus-kasus itu mereka berargumen bahwa prosedur yang diminta tidaklah wajar. Setiap koordinator perlu mengesahkan penolakan dalam jumlah tertentu demi mempertahankan jabatan, dengan begitu mereka mendapatkan imbalan berupa kenaikan gaji, perjalanan liburan sesekali, promosi, hal-hal yang terkait dengan gaya hidup. Bonet mendapat persetujuan dengan ancaman pistol dari Villalba. Namun, Bonet harus mendapat persetujuan dari dokter lainnya. Ia mendatangi tuan Sandoval di club sauna. Bonet musti menembak salah satu kawan Sandoval. Ia mengancam Sandoval untuk menyetujui permohonanya. Di tengah perjalan mereka, Sandoval bercerita. “Alta Salud adalah perusahaan multinasional dengan ribuan pegawai, dan untuk mengurus semua karyawan itu kami butuh perusahaan bekerja dengan baik, perusahaan yang bertanggungjawab. Jika tidak ada laba, modal akan kabur ke tempat lain, pada direktur berhenti bekerja dan semua karyawan di PHK. Bagi mereka tidak penting bagaimana kami memperoleh uang, yang penting hanya dapat uang atau tidak,” kata Sandoval. Sandoval menilai diantaranya terdapat sejumlah tes kecocokan genetika antar anggota keluarga, yang telah dibuat untuk memastikan bahwa transplantasi mungkin dilakukan. Ternyata tes itu belum dilakukan Alta Salud. Perusahaan asuransi menolak mengadakan tes karena menganggapnya tidak relevan, tapi dari uang hasil menggadaikan rumah mereka mendapatkan hasil tes dengan cara-cara lain, mereka juga sudah membayar setengah lusin analisa dan konsultasi ke spesialis yang mendukung mereka. Bonet menjelaskan saudara perempuan Memo telah terbukti sebagai pilihan donor terbaik dan ia siap dioperasi kapanpun diminta. “Jelas nyonya Bonet benar atau setidaknya sebagian. Prosedur yang mereka inginkan untuk suamina punya cakupan yang bisa dipertimbangkan dan kemungkinannya berhasil, tapi Alta Salud bahkan tidak punya keinginan untuk mempertimbangkannya,” kata Sandoval. Sandoval merasa iba pada Bonet. Ia membantunya dengan memberi bukti-bukti pada Bonet: dokumen-dokumen, fotokopi memorandum, surat edaran resmi perusahaan, kontrak internal, semua yang ia butuhkan untuk membuktikan secara terbuka bahwa hal itu dilakukan demi memenuhi laba finansial perusahaan alih-alih memberikan perhatian yang cukup untuk suaminya, dan lebih dari itu bahwa ini bukanlah ketidaksengajaan melainkan bagian dari kebijakan politik perusahaan asuransi.” Bonet mash butuh mendatangi pengacara untuk membuat akta, lalu butuh bertemu seorang perempuan lagi. Saat bertemu dan menodongkan pistol pada Morgan, saat itulah ia dapat kabar dari rumah sakit: ayahnya Dario telah meninggal. Dari jauh, tembakan polisi mengenai Bonet. Drama penangkapan Bonet dan Dario dan petualangan mencari keadilan berakhir sudah. Ah, sungguh asyik cara Santullo menceritakan kejahatan korporasi. Bagi saya, cerita ini bermakna: kejahatan korporasi menjadikan seorang istri dan ibu dari seorang anak rela melakukan kejahatan demi suaminya yang terbaring sakit di rumah sakit. Namun, jauh dari itu kejahatan korporasi juga mendidik warga sesungguhnya melakukan kejahatan. Apa yang akan Dario lakukan kelak? Ayahnya Guillermo–Memo–meninggal di rumah sakit terkena kanker parah yang gara-gara Alta Salud. Meski ceritanya hanya sampai penggalan kalimat pembuka di atas, saya kira, meski hayalan, patut direnungkan perubahan Sonia Bonet: “Pengalaman selama beberapa bulan terakhir menyadarkan saya kalau saya tidak mungkin bisa menggugah orang lain dengan kata-kata, tidak juga dengan permohonan sewajarnya, atau dengan diagnosa medis tersusun rapi. Mereka mendepak saya dari dunia yang rasional, dari kepercayaan kepada masyarakat beradab. Dan seekor binatang buas yang disudutkan tidak akan merintih, dia menggigit.” Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/03/monster-kepala-seribu/#more-2351https://madealikade.wordpress.com/2017/11/03/monster-kepala-seribu/#more-2351 Cukil kayu, atau woodcut, atau xylografi, merupakan teknik cetak kuno yang dikenal manusia. Di Asia, teknik ini berkembang di Cina dan Jepang belasan abad yang lalu. Di Eropa, teknik ini berkembang di tahun 1400-an, sebelum kemudian Gutenberg membuat mesin cetak. Di Indonesia -saya belum mendalami alasannya- gambar yang dicetak dengan teknik ini banyak saya temukan dalam poster-poster propaganda. Yang paling mudah saya ingat adalah poster-poster bikinan komunitas Taring Padi, Yogyakarta.
Teknik cukil kayu ini juga disebut sebut sebagai asal muasal terciptanya komik-komik jepang atau kita kenal dengan manga. Meski kemudian komik yang banyak kita kenal dan baca sekarang dibuat dengan teknik cetak modern, bukan berarti bahwa pembuatan komik dengan teknik cukil kayu ini ditinggalkan sama sekali. Tahun 1918, Frans Masereel di Perancis membuat sesuatu dengan teknik cukil kayu yang disebutnya sebagai wordless novel berjudul 25 Images of Man’s Passions, yang mana benda ini memiliki semua persyaratan untuk disebut sebagai sebuah komik. Ada juga Lynd Ward, membuat wordless novel, juga dengan teknik cukil kayu, berjudul God’s Man, tahun 1929. Nah, bagaimana keadaannya di ranah komik tanah air? Di tengah keberagaman genre dalam kebangkitan kembali komik Indonesia, komik cukil kayu turut mengambil tempat. Berikut saya himpun beberapa komik yang dibuat dengan teknik cukil kayu yang berhasil saya dapatkan: 1. Hidup dan Mati di Tanah Sengketa Komik karya Redi Murti ini diterbitkan oleh Milisi Fotocopy, sebuah kolektif komik di Surabaya. Setebal 64 halaman, komik ini mengangkat kisah muram kehidupan orang orang miskin kota, komunitas Peranakan Tionghoa miskin di salah satu daerah bernama Tambak Bayan, Surabaya. Ilustrasi dengan teknik cukil kayu ini menurut saya membuat kesan yang unik, menyatu dengan tema yang diangkat. Bentuk komik yang memisahkan teks dan gambar di mana satu halaman terdiri dari satu gambar dan narasinya, mengingatkan kita pada model model cergam cina jaman dulu. Saya tidak mengkonfirmasi ke Redi mengenai ini, tapi menurut saya ia memang terpengaruh dari model komik seperti itu. Kesan itu saya tangkap ketika menjelajahi blog pribadinya. 2. McClown Komik ini pernah dipamerkan di acara Retrospektif Komik Indie yang diadakan di Jakarta tahun 2014 oleh Akademi Samali. Tidak seperti komik bikinan Redi di atas, komik karya Dodi Irwandi ini sama sekali tidak menggunakan teks maupun balon kata. Sebuah komik bisu murni. Hanya gambar gambar, setiap halaman terdiri dari satu gambar, yang tersusun membentuk suatu cerita yang utuh. 3. Atom Jardin Atom Jardin adalah karya Yudha Sandy, dari Jogjakarta. Sebenarnya, komik ini dibuat dengan teknik papercut, bukan woodcut, tapi yasudahlah, kumasukkan saja ke dalam daftar ini. Sebagai informasi, komik ini pernah memenangkan Kosasih Award tahun 2015 untuk cerita terbaik dan komik terbaik. “Atom Jardin means The Park of Atom Bomb. A bomb whose radiation exists although its explosion is over. Like a garden, it seems peaceful, quiet, and forgiving, but that might be an illusion. There is both vertical and horizontal conflict in it. There is a systematic conflict without we realize about it. It is not only about us and the ruler but also about us and the other people. A group of people acts like itself is the most pure one or another group acts like a hero”. Itu yang dikatakan Sandy tentang komiknya. Bercerita tentang Jardin dan Stopie di sebuah tempat bernama The Tree Kingdom, komik ini benar benar unik. Berbeda dengan dua komik yang kita bahas sebelumnya, di komik ini panel panelnya tersusun bebas, satu halaman bisa terdiri dari beberapa panel gambar dan teks. Narasinya pun juga unik, dan cukuplah untuk membuat anda mengerenyitkan kening. Selain itu, komik setebal 140 halaman ini menggunakan bahasa Inggris. Itu tadi tiga judul yang berhasil saya temukan dalam jagat komik nasional. Jika anda mengalami kejenuhan akan komik industri, anda perlu sedikit melirik kepada komik komik alternatif ini. Woodcut dan papercut jelas bukan merupakan kebaruan, bahkan di komik, tapi setidaknya bagi saya yang awam, tiga komik itu adalah pemberantas kebosanan yang cukup baik. (Nov 2016) Oleh : Chandra Agusta. Penulis adalah pembaca sedikit komik, kadang-kadang menulis untuk sekuensi.com *) Tulisan ini tidak berpretensi menjadi ilmiah atau apalah, hanya mencoba mengeluarkan apa yang ada di dalam kepala menjadi suatu pewartaan yang mungkin tidak berarti. Sangat terbuka untuk kritik dan masukan *) Foto Atom Jardin diambil dari blognya Yudha Sandy. Foto lain adalah koleksi pribadi *) Bahan bacaan: Wikipedia.com; yudhasandy.wordpress.com; sekuensi.com Sekilas melihat buku berjudul "NUKU" karangan E. Katoppo ini di sebuah toko buku loak "Sarang Buku" di bilangan Kuningan, saya hanya melihat sosok yang tergambar di sampul buku sepintas lebih mirip Pattimura. Cuma sedikit berpose agak miring, hampir mirip Monalisa sudut pengambilan gambarnya... tetapi ternyata bukan... NUKU, si nama tokoh utama buku ini, ternyata adalah pria. Pria pejuang dari Maluku Utara bernama asli Sultan Saidul Jehad Muhamad El Mabus Amirudin Syah Kaicil Paparangan, seorang Sultan Tidore dengan riwayat perjuangan melawan Kompeni Belanda sekitar masa 1780-1805. Sebuah nama yang tidak begitu dikenal....(walaupun dulu pernah ada) bahkan pada bagian pendahuluan buku ini di halaman 19...mempersoalkan..."apa sebabnya Nuku tidak dikenal oleh turunan Indonesia dewasa ini, sungguhpun buku-buku Belanda dalam abad XIX dan XX mengandung cukup bahan berita sejarah mengenai Nuku, misalnya yang paling akhir Encyclopaedie van Ned. Indie, deel VIII, Supplement, blz. 1566 ......". Dan ini adalah buku cetakan kedua, tahun 1984...perkiraan semacam ini menggambarkan sosoknya sudah hilang dari ingatan. Entah sekarang...., pun jika saya tidak menemukannya di toko loak, saya pun tak pernah tahu... Lain hal yang membuat takzim adalah penyematan sebutan kepada begundal satu ini, ya Nuku layaknya penjahat bagi Kompeni Belanda kala itu. Dan ini yang membuat saya tertarik untuk membacanya,... di antara banyaknya sebutan terhadapnya, penyematan sebagai "Aartsrebel" atau "Pemberontak Agung" membawa saya ke zaman ketika saya masih agak lebih muda..., ketika saya tergila-gila dengan sosok Alexander the Great. yang kemudian menginspirasi nama judul blog pertama saya "www.umexthegreat.blogspot.com" (:D)..., Saya tak malu, label "Pemberontak Agung" membangkitkan memori saya tentang sesosok pangeran yang membela rakyat jelata. Bukan pangeran tampan yang mencari putri jelita, tetapi pangeran yang rela "memaksa" dirinya keluar dari istana, dan menjelajah, dan bergumul dengan manusia-manusia lainnya, tanpa kemewahan.....dengan penuh yakin. Walaupun sebenarnya si Alexander juga tidak begitu menjatuhkan dirinya pada "kasta" terendah...toh karena dia masih mampu menunggang kuda, begitu juga dengan Pangeran Diponegoro..........dan Nuku juga dengan kora-koranya..... Ahhh sudahlah, prolog ini terlalu panjang.......... Nuku, segelintir cerita tentang kepahlawanan yang ternyata agak berbeda. Sebutan lainnya sebagai "Aartroover" atau "Bajak Agung" (lagi-lagi Agung....hihihi), tentu saja menggambarkan bagaimana dia mengarungi samudera dengan bahteranya....berjuang melawan Kompeni Belanda. Singkatnya, hikayatnya benar-benar mewakili sosok yang sejati dari bumi maritim......Nuku menjadi representasi perjuangan dari lautan. Jika divisualisasikan, mungkin nampak seperti kisah bajak laut lainnya. Tapi ada yang menarik, keterikatan Nuku dan Irian...lebih tepatnya sebagian besar Kepulauan Raja Ampat..., dan mungkin dari sinilah daratan Papua dianggap menjadi bagian dari Nusantara...karena dulunya bagian dari kekuasaan Kesultanan Tidore. Dari sini cerita bermula rupanya. Terdapatlah sebuah pulau, Pulau Gebe namanya. Pulau idaman banyak suku bangsa; Makassar, Mangindanao, dan Sulu.........tentu pula Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol, dan Tionghoa, karena banyaknya kapal-kapal berlabuh yang berarti banyak transaksi perdagangan terjadi. Pulau ini juga layaknya "jembatan", penghubung antra pulau Halmahera dan Irian; terutama Kepulauan Raja Ampat atau "de Papoesche eilanden" dengan 4 pulau besarnya; Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, dan Pulau Misool. Bernama Raja Ampat karena dahulu di bawah kuasa 4 orang Raja; Raja Waigeo, Raja Salawati, Raja Waigama, dan Raja Misool. Baik Raja Waigama dan Raja Misool bertempat di Pulau Misool juga. Mereka di sebut raja-raja Papua. Dan Nuku yang berkedudukan di Waru (di Seram Besar), selaku Sultan Tidore mengontrol wilayah-wilayah kekuasaannya, termasuk pantai-pantai Irian Barat berikut raja-raja tersebut. Jauh sebelum Nuku menjadi Sultan, sama halnya yang berlaku di tempat-tempat monopoli Belanda lainnya, cengkeh hampir habis diekstirpasi, yang akibatnya adalah kemelaratan. Perjuangan Sultan Tidoree dan raja-raja lain yang di bawah Kesultanan Tidore untuk melawan dominasi Belanda (mungkin karena Tidore sekutu Spanyol, sehingga mereka melawan Belanda, dibandingkan Ternate) dimulai dengan mengontrol harga cengkeh. Belanda pun mengancam Spanyol dengan dalih bahwa Tidore itu bagian dari Ternate yang merupakan bagian dari kekuasaan Belanda. Demikian, Spanyol dilarang bersekutu dengan Tidore jika tak hendak diserang. Dari sini awal mulanya kesultanan Tidore dengan pasukan kora-koranya berperang. Dan menang...tetapi...pergantian raja-raja dimanfaatkan benar oleh Belanda... sehingga mereka bisa masuk dan pelan-pelan mereka mulai menguasai perdagangan rempah-rempah. Nuku, merupakan raja yang terbuang. Kematian ayahnya, dan tahta yang direbut oleh Patra Alam (anak wakil Sultan yang melakukan kontrak dengan Belanda), menyebabkan dirinya menjadi seorang Bajak Agung secara tidak sengaja. Nuku beserta Istri, anak dan pengikutnya, melarikan diri dengan kora-kora. Nuku dengan dukungan (baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi) dari raja-raja lainnya di pantai-pantai Papua Barat, mengatur siasat melawan Patra Alam dan Belanda. Sejak inilah Nuku menjadi Sultan Tidore, seorang "prins-rebel" atau Pangeran Pemberontak. Tidak luput hanya masalah seputaran Tidore, Pada Bab XVIII, dikisahkan bahwa Nuku menyerang Ternate dan Belanda, dan pada akhirnya berhasil merebut Ternate. Tentunya pada saat ini Nuku bersekutu dengan Inggris. Uniknya persekutuan ini murni persekutuan, Nuku sebagai Sultan Tidore tidak mau tunduk pada Inggris. Paska perjanjian perdamaian antara Ternate dan Tidore, Tidore membayar semua dukungan senjata dari Inggris dengan hasil bumi tanpa mau mengadakan perjanjian kontrak dalam bentuk apapun. Terlepas dari semua cerita tentang Nuku sendiri, terdapat beberapa poin menarik:
Setidaknya bila kemudian para pembaca pergi ke pasar malam atau ke pusat permainan semacam Dunia Fantasi, silahkan kunjungi wahana permainan perahu kora-kora. Ceritakanlah kisah Nuku dan kora-kora nya,, dia bukan hanya pahlawan, tetapi jiwa baharinya adalah murni dari negeri maritim. Oleh: Umi Purnamasari Penulis juga mempunyai web blog jurnal www.pejalankaki.weebly.com Hingga 27 Oktober 2017, Relawan Abdon Nababan sudah mengumpulkan 400 ribu dari 1 juta KTP. KTP itu berasal dari 96 posko yang tersebar di 33 Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara. KTP yang sudah terkumpul setara dengan 50 persen lebih dukungan yang ditetapkan KPU Sumut untuk jalur independen 764.578 KTP. Mereka masih punya waktu mengumpulkan satu juta KTP sebelum menyerahkan pada KPU SUMUT untuk verifikasi pada 22 November 2017. Perjuangan mengumpulkan KTP, barangkali, satu diantaranya, hasil blusukan Abdon Nababan di Sumatera Utara. “Kini, 3 bulan sudah Abdon mengelilingi berbagai pelosok Sumatera Utara, dari pintu ke pintu, dari kedai ke kedai, dari kampung ke kampung. Ngobrol, nongkrong, silaturahmi, berada bersama orang-orang dan kampung halaman yang disayangnya. Direstui, ditugasi, dibekali oleh tokoh-tokoh dan orang-orang biasa, tua-muda, laki-perempuan, miskin dan kaya. Sekitar 400 ribu KTP pendukung telah dikumpulkannya, berarti hampir 50% dari target telah tercapai,” tulis Ruwi di linimasa FB Andon Nababan. “Semuanya baik-baik saja. Yang kurang adalah uang. Mari gotong-royong mengumpulkannya.” Pada 30 Juni 2017 di acara Adat Batak Karo untuk Maria Br Sitepu istri Bang Abetnego Tarigan, saya bertemu bang Abdon Nababan. Bang Abdon masih seperti dulu, sejak saya kenal: pakaian sederhana, berkacamata dan ceria berdiskusi. Usai menjadi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sejak 2007, Abdon dipercaya mengisi Dewan AMAN Nasional. Abdon Nababan tidak lepas dari dunia memperjuangkan masyarakat adat di Indonesia sejak 24 tahun lalu. Atas baktinya pada masyarakat adat, penghujung Agustus 2017 di Filipina, Abdon diberi penghargaan Raymon Magsaysay 2017 untuk kategori Community Leadership di seluruh Asia. Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi yang menggantikan Abdon Nababan resmi mendukung Abdon Nababan maju menjadi Gubernur SUMUT. Apakah dukungan resmi AMAN bagian, dari strategi AMAN bakal mendirikan atau menjadi partai politik kelak? Pertanyaan itu saya ajukan setelah membaca Buku Dari Adat ke Politikkarya Nur Iman Subono terbitan Marjin Kiri. Nur Iman Subono, sesudah mengkaji gerakan adat di Bolivia dan Ekuador, menilai gerakan dari adat ke politik di Indonesia,“Kelihatannya jalan untuk masuk ke arena politik elektoral bagi gerakan sosial masyarakat adat (Indonesia) masih jauh dan sejauh ini belum memperlihatkan tanda-tanda akan coba dilakukan,” kata Nur Iman Subono menelaah di samping AMAN, Walhi dan KPA yang pernah mencoba mendirikan Partai Hijau sebagai alternatif atas partai-partai politik oligarkis yang selama ini ada, belum juga menunjukkan wujudnya. Di Bolivia dan Ekuador melalui gerakan sosial organisasi masyarakat adat mendirikan partai politik lalu memenangkan elektoral pemilihan presiden. Perbandingan masyarakat adat di Amerika Latin dan Indonesia dari sisi sejarah hingga kemerdekaan tidak ada yang berbeda: selalu dipinggirkan secara politik, namun diberi ruang saat elektoral. Sebagaimana di Bolivia dan Ekuador, menurut Nur Iman, masyarakat di Indonesia juga berada dalam posisi marjinal secara ekonomi dan subordinat secara sosial politik,”mereka layaknya “orang lain” di negeri sendiri. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia juga demikian, dicirikan dengan penaklukan dan pengambilalihan wilayah-wilayah adat dan wilayah kelola adat, dengan satu asumsi, wilayah itu pada dasasrnya tidak bertuan (doktrin “Terra Nullius”). Peran masyarakat adat sangat berkaitan dengan tanah, sumberdaya alam, hutan dan keberlangsungan lingkungan. Kehidupan mereka harmonis dengan alam. Namun, kolonialisme dan kapitalisme hingga pemerintah telah merusak kehidupan masyarakat adat di Indonesia dengan cara merampas hutan tanah mereka sebagai “hak menguasai negera” lalu diberikan pada korporasi dalam bentuk lisensi, izin dan konsesi. Cerita itu juga terjadi di Amerika Latin, dimulai dari penjajah Spanyol menghabisi sekitar 95 persen populasi masyarakat adat. Setelah kolonialisme, kapitalisme global berkolaborasi dengan pemerintah suatu negara, juga menghancurkan keberadaan masyarakat adat. Di tengah itu, perlawanan masyarakat adat, dari gerakan sosial hingga merebut kekuasaan politik melalui pemilihan elektoral yang resmi. Bagaimana perjuangan dari adat ke politik yang mencengangkan dunia di Amerika Latin? Nur Iman Subono, menarasikan dengan baik dan mudah dipahami. Tahun 1990-2000 an terjadi perubahan politik di Amerika Latin, ketika gerakan masyarakat adat mulai dari Meksiko, Nikaragua, hingga terutama Bolivia dan Ekuador, yang menampilkan diri sebagai subjek kekuatan politik yang menentukan dalam proses-proses politik yang sedang berlangsung, bahkan mereka juga mampu masuk dalam struktur kekuasaan melalui pendirian partai politik berbasis etnik dan politik elektoral. Kajian-kajian ilmu politik selama ini hanya berfokus pada masalah-masalah elit politik, kekuatan bisnis ekonomi, kalangan oligarki, kudeta militer dan kekuatan buruh, instabilitas politik dan krisis ekonomi hingga demokrasi, tanpa memberikan tempat pada peran dan posisi penduduk asli dalam proses-proses politik yang sudah dan sedang berlangsung kecuali sebagai objek politik yang pasif, mudah diatur dan terbelakang. “Namun semuanya berbalik 180 derajat,” kata Nur Iman Subono dalam kata pengantar yang tertarik melihat fenomena yang tidak dipikirkan oleh para pengkaji politik. Dengan mengumpulkan literatur lantas membingkai dengan pendekatan Struktur Politik, Struktur Mobilisasi, Proses Pembingkaian dan Menuju Pendekatan Integrasi Gerakan Sosial, Nur Iman mengajak kita melihat gerakan sosial dari era kolonial hingga kini perjuangan masyarakat adat khususnya di Bolivia dan Ekuador. Nur Iman mengutip dalam Colonial Latin America, menghamparkan bagaimana sejarah masyarakat adat di Amerika Latin bisa dibilang sebagai “sejarah hitam” yang penuh penderitaan, kematian, epidemi, pengusiran, dan bencana. Penaklukan oleh bangsa Eropa, khususnya Spanyol dan Portugis pada abad ke-15 dan ke-16, setelah kedatangan Columbus pertama kali pada 1492, bisa dibilang sebagai malapetaka bagi sekitar 50-100 juta masyarakat adat yang mendiami tempat yang lantas dijuluki sebagai “dunia baru”. Para peneliti modern menyebutnya “malapateka demografi” yang dihadirkan oleh berbagai penyakit baru seperti cacar, campak, tifus, penyakit kotor, dan influensa yang tanpa sengaja dibawa oleh para penjajah Eropa dan memusnahkan sebagian besar masyarakat adat yang ada. Selama kolonialisme Eropa, mereka mengalami dispossession (tercabut hak miliknya), exploitation (penghisapan), dan oppression (penindasan). Nur Iman membagi tiga politik dan masyarakat adat di Amerika Latin: masa kolonialisme, masa kemerdekaan dan kebangkitan gerakan masyarakat adat. Di tiap masa itu pemberontakan masyarakat adat selalu ada, namun berhasil ditumpas. Pun di era kemerdekaan, masyarakat adat tetap berada di bawah timbunan paling bawah dalam struktur masyarakat nasional, dan elit kreollah yang mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi di Amerika Latin. Hanya elitnya saja yang mengalami sirkulasi pergantian, tanpa mengubah struktur masyarakat. Lalu, apa yang baru dari gerakan masyarakat adat di Amerika Latin? Menurut Donna Lee Van Cott adanya transformasi gerakan dari yang tadinya hanya “pihak luar” yang cuma memiliki kapasitas untuk memengaruhi kemudian berkembang menjadi aktor politik kolektif yang efektif dan berkuasa yang dapat mempertahankan kehadirannya baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. “Untuk pertama kalinya pueblos (rakyat jelata) tampil sebagai aktor politik baru, yang masuk dalam politik dengan agenda-agenda perjuangan mereka sendiri,” kata Lucas Savino. Sama seperti organisasi AMAN, gerakan sosial adat di Bolivia dan Ekuador dimulai dari sebuah organisasi untuk memperjuangakan hak adatnya. Conaie di Ekuador dan Cocaleros di Bolivia. Conaie di Ekuador. Konfederasi Nasional Masyarakat Adat Ekuador (Conaie). Ia terbesar di Ekuador berdiri pada 16 November 1986, representasi dari penduduk asli terdiri dari suku Shuar, Achuar, Siona, Secoya, Cofan, Huaorani, Zaparo, Chachi, Tsachila, Awa, Epera, Manta, Wancavilca dan Quichua. Ia juga representasi tiga federasi regional terdiri dari konfederasi masyarakat adat amazon ekuador yang mewakili wilayah timur amozon atau oriente, konfederasi masyarakat Quichua Nasional Ekuador yang mewakili wilayah pegunungan Andes dan koordinasi organisasi-organisasi masyarkat adat dan kulit hitam pesisi ekuador yang mewakili wilayah pantai. Conaie satu-satunya organisasi di seluruh Amerika Latin yang bisa menyatukan semua organisasi penduduk asli sampai ke tingkat regional, nasional bahkan internasional. Conaie pada 1995 mendirikan partai politik Movimiento de Unidad Plurinacional Pachakutik-Nuevo Pais (MUPP-NP) agar bisa terlibat dalam proses elektoral. Cocaleros di Bolivia. Cocaleros (Petani Koka) hanya muncul dan berkembang di dua tempat Los Yungas di departemen La Paz dan El Chapare di departemen Cochabamba. Dua tempat itu markas besar gerakan Cocaleros. Ia sering juga disebut “generasi kedua” gerakan sosial masyarakat adat di Bolivia, karena jauh sebelumnya sudah ada banyak organisasi dan gerakan sosial yang cukup mengemuka di Bolivia: Konfederasi Sindikalis Tunggal Buruh Tani Bolivia dan Konfederasi Masyarakat Adat Bolivia. Namun Cocaleroslah yang paling menarik, karena: Pertama, visi aksi gerakan sosial perlawanan terhadap globalisasi neoliberal dan perjuangan kelas melawan kekuasaan negara. Ia membangun basis strategi kehidupannya di tingkat lokal dalam melakukan perlawanannya terhadap kebijakan negara, sekaligus mengaitkannya dengan gerakan lebih luas dalam melakukan perlawanan terhadap globalisasi dan neoliberal. Kedua, melalui partai politiknya Movimiento Al Socialismo (MAS) dibantu dan beraliansi dengan berbagai pihak, pada akhirnya mampu menjadikan ketuanya Evo Morales dari suku Aymara sebagai presiden pada 2015 dengan perolehan suara sekitar 53,7 persen. Morales adalah presiden pertama di Bolivia, bahkan di Amerika Latin, yang berasal dari penduduk asli. Neoliberalisme berdampak besar pada kaum buruh dan tani (termasuk petani adat), bukan hanya terjadi pemotongan besar-besaran anggaran untuk subsidi pertanian dan akses kredit, tetapi ideologi dan kebijakan neoliberalisme—dalam bentuk privatisasi dan sertifikasi individu—secara langsung mengancam hak adat atas tanah komunal yang merupakan konsep kewilayahan utama penduduk asli. Pada titik inilah, menurut Nur Iman, wacana anti-neoliberalisme menjadi semacam amunisi pencetus atau daya ledak gerakan penduduk asli. Dua organisasi masyarakat adat itu berhasil memenangkan elektoral dengan caranya sendiri. Nur Iman juga menceritakan konflik internal di dalam dua organisasi itu sebelum memutuskan mendirikan partai politik hingga berhasil memenangkan elektoral Presiden. Buku dari Adat ke Politik ini hendak saya narasikan semua di sini, namun lebih seru bila membacanya langsung: emosi anda akan terbawa untuk melakukan perubahan. Persis seperti pertanyaan Nur Iman di atas. Lantas bagaimana dengan gerakan masyarakat adat di Indonesia? Dari Amerika Latin, apakah berdampak pada gerakan masyarakat adat Indonesia? Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2014. Jokowi jadi presiden ketujuh. AMAN mendesak Jokowi segera membentuk Satgas Masyarakat Adat, mendorong UU Masyakarat adat, dan Jokowi memberi sertifikat reforma agraria kepada masyarakat adat. Meski AMAN terus mengkritik Jokowi karena tidak sepenuhnya memenuhi tuntutan AMAN. Itu satu gerakan politik. Lantas, Abdon Nababan Calon Gubernur SUMUT dari jalur independen dan dukungan resmi AMAN kepada Abdon Nababan, akan menuju ke dari adat ke politik? atau barangkali “tanda-tanda yang dicoba masyarakat adat Indonesa”? Yang jelas, Abdon Nababan sedang berjuang di jalur politik elektoral menjadi Gubernur Sumut periode 2018-2023. “Semuanya baik-baik saja. Yang kurang adalah uang. Mari gotong-royong mengumpulkannya.” Oleh : Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/02/dari-adat-ke-politik/#more-2321 ZADIG jadi budak Setok di Mesir. Ia dibeli Setok setelah dihukum penguasa Mesir karena terbukti membunuh Kletofis–meski niatnya membunuh hendak menolong seorang perempuan bernama Missuf yang disiksa oleh Kletofis. Menurut hukum Mesir Zadig harus dihukum menjadi seorang budak. Dua ekor unta Zadig dijual, hasil penjualan masuk kas kota, seluruh emas Zadig mereka bagi-bagikan untuk seluruh penduduk kota. Zadig ditelanjangi di muka umum. Setok saudaragar arab membawa Zadig dengan kaki dirantai menuju ke gurun Arabia. Tiba di tujuan, Setok menagih lima ratus ons perak yang dipinjam oleh seorang Yahudi yang disaksikan dua orang. Namun, dua orang saksi itu meninggal. Si Yahudi bersikeras tidak mau mengembalikan uang Setok. Setok menceritakan pada Zadig. “Di mana Tuan melakukan transaksi dengan si pelanggar hukum itu?” tanya Zadig. “Di atas sebuah batu besar,” jawab Setok,”di dekat Gunung Horeb.” “Bagaimana sifat Yahudi itu?” tanya Zadig lagi. “Licik,”jawab Setok. “Yang hamba ingin tahu adakah dia giat atau tidak, dan berhati-hati atau tidak.” “Diantara semua penunggak hutang, dia adalah yang paling giat.” “Baiklah, izinkan hamba membela Tuan di depan hakim.” Zadig menyebut nama si Yahudi di pengadilan. Pada hakim ia berkata: ”O Telinga Keadilan, hamba datang, atas nama Tuan Hamba, untuk menagih hutang sebesar lima ratus ons perak yang si pengutang tidak mau bayar.” “Kau punya saksi?” kata si hakim. “Tidak, mereka berdua sudah mati, tapi masih ada sebongkah batu besar di mana perak itu dihitung, dan bila yang mulia berkenan, hamba mohon Yang Mulia sudi kiranya bila hamba mengutus orang untuk mengambil batu tersebut. Hamba harap batu itu bisa menjadi saksi. Hamba dan si Pengutang akan menunggu batu tersebut datang; Tuan hamba, Setok, akan membayar orang untuk mengambil batu itu.” “Baiklah,” balas si Hakim, yang kemudian beralih menangani urusan-urusan lain. Setelah beberapa lama, si Yahudi menoleh pada Zadig. “Jadi,” katanya,”apakah batumu belum juga sampai?” Si Yahudi sambil tertawa kecil. “Yang Mulia, ditunggu sampai besok pun mungkin batu itu belum akan sampai; tempat itu berjarak lebih dari enam mil dari sini, dan mungkin dibutuhkan lima belas orang untuk mengangkut batu itu.” “Nah,”kata Zadig,”seperti hamba bilang, batu itu dapat dijadikan saksi, karena pria ini tahu di mana letaknya—dengan begitu, ia telah mengakui bahwa di sanalah perak itu dihitung.” Si Yahudi kebingungan dan terpaksa mengakui semuanya. Hakim memutuskan si Yahudi akan dihukum dengan diikat di batu itu tanpa diberi makan dan minum bila tak membayar hutangnya. Si Yahudi memilih membayar lima ratus ons perak pada Setok. Adakah Zadig di sekitar kita? Cerita Zadig adalah karya Voltaire yang terbit pertama kali 270 tahun di Perancis berjudul Zadig, ou la Destinee: Histoire Orientale. Versi Indonesia berjudul Zadig diterbitkan oleh OAK pada 2015. Dan saya membacanya seharian penuh pada Oktober 2017 di Jakarta. Dalam cerita ini ada sepotong nama Tidore dan Ternate. Dari mana Voltaire tahu nama-nama itu? Padahal lebih dari 270 tahun lalu. Sepenggal nama-nama itu tertera dalam penggalan,”si Pendeta tinggi menggunakan sisa hari itu untuk mandi, lalu ia meminum minuman yang terbuat dari kayu manis dari Sri Lanka dan rempah-rempah dari Tidore dan Ternate, dan menunggu kemunculan bintang Sheat.” Ia cerita seorang Almona, yang hendak menyelamatkan Zadig karena dianggap menghina kepercayaan. Membaca Novel Voltaire dengan 21 petualangan anak muda bernama Zadig, membawa kita pada realita kehidupan yang penuh satire, emosi, jenaka, meski dongeng ala Voltaire. Cerita 270 tahun itu “masih hidup” dan bahkan hadir di tengah-tengah kita karena ia bercerita tentang keadilan dan kasih sayang. Namun, untuk meraih keduanya Zadig melewati kesialan, derita, intrik politik bahkan rencana pembunuhan atas jiwanya atas perintah Raja Babilonia. Cerita petualangan Zadig dimulai di Babilonia, di bawah kekuasaan Raja Moabdar, dengan kesialan pertama dalam hidupnya: Zadig akan menikahi Semira gadis cantik, kaya dan diidamkan di seluruh Babilonia. Zadig mencintai Semira setulus hati. Semira amat mencintai Zadig. Tiba-tiba mereka di datangi orang-orang bersenjatakan pedang dan panah, anak buah Orkan, keponakan Menteri. Orkan marah pada Semira karena tidak memilihnya menjadi pasangan hidup. Penculik itu mengambil paksa Semira dari Zadig. Semira berteriak, dan Zadig bersama dua orang budaknya berhasil mengusir penculik. Semira berdarah dan tak sadarkan diri. “O Zadig, sebelumnya aku mencintaimu sebagai suamiku, tapi kini aku mencintaimu sebagai penyelamat hidup dan kehormatanku.” Luka Zadig lebh parah saat perkelahian dengan penculik. Sebilah panah yang menancap di dekat matanya meninggalkan luka yang dalam. Mata Zadig berair setiap kali melihat Semira. Mata Zadig bengkak bernanah yang membuat wajahnya menakutkan. Semira merasa jijik pada Zadig. Zadig pergi berobat dan sembuh. Ketika dia mengetahui Zemira menikahi Orkan karena tidak suka dengan mata satu Zadig,”betapa kejamnya gadis bangsawan, kini aku harus menikahi seorang gadis dari kalangan warga biasa.” Zadig akhirnya menikah dengan Azora, gadis paling bijak di desanya. Selama sebulan kehidupan mereka bahagia, namun Azora kurang baik budinya. Ujian cinta yang diberikan Zadig pada Azora yang berpura-pura mati, membuktikan Azora tidak mencitai Zadig. Karena kebijakannya, Zadig diangkat menjadi Perdana Menteri Babilonia. Ia perdana menteri termuda di Babilonia. Semua pejabat istana marah. Ia menegakkan hukum di seluruh Babilonia tanpa menonjolkan marwahnya sama sekali. Ia tidak melawan kehendak majelis negara, dan ia memperbolehkan setiap wazir berpendapat sebagaimana mestinya. Ketika mempertimbangkan sebuah urusan, ia memakai pertimbangan berdasar hukum dan bukan sekedar keinginan pribadinya. Ia percaya hukum ada untuk menolong warga, bukan mengancam mereka. Bakat utamanya menemukan kebenaran yang semua manusia coba sembunyikan. Seorang saudagar mati di Hindia dan berwasiat akan mewariskan hartanya kepada dua orang anak laki-laki setelah adik perempuan mereka nikahkan, dan akan mewariskan tiga ribu keping emas pada anak laki-lakinya yang menyayanginya. Si Sulung membangun makan megah untuk ayahnya. Anak kedua menyisihkan sebagian dari warisannya untuk pernikahan adik perempuannya. Kabar itu beredar di masyarakat Babilonia. “Jelas Si Sulunglah yang lebih menyayangi ayahnya, karena si anak kedua lebih menyayangi adiknya, si Sulung yang pantas mendapat tiga ribu keping emas.” Untuk membuktikan siapa yang berhak, Zadig mengundang dua pemuda bersaudara itu satu persatu. “Ayahmu masih hidup; ia sembuh dari penyakitnya dan akan kembali ke Babilonia,” kata Zadig pada Si Sulung.“Ya Tuhan,” balas Si Sulung,”tapi makam yang ku bangun untuknya sangat mahal harganya!” Zadig kemudian mengatakan hal yang sama pada anak kedua. “Ya Tuhan, aku akan memberikan seluruh hartaku pada ayahku, tapi aku tidak akan meminta kembali apa yang telah kuberikan pada adik perempuanku.” “Kau tidak perlu memberikan hartamu pada siapapun,” kata Zadig,”dan kau berhak atas tiga ribu keping emas peninggalan ayahmu: kaulah anak ayahmu yang paling menyayanginya.” Itulah kebijakan seorang Zadig. Masalah lainnya ia selesaikan dengan cara ala Zadig di setiap petualangannya. Ia tak lepas dilanda kesialan. Ia hendak dibunuh oleh Raja karena cemburu Baginda Ratu Astarte mencintai zadig, begitu juga dengan Zadig. Astarte adalah perempuan kesayangannya dan cintanya. Ia hendak dibunuh Raja. Ia melarikan diri ke Mesir. Sejak saat itu ia tak bertemu lagi dengan Astarte, perempuan yang ia cintai sepenuh hati. Petualangan di Mesir, Basra berlanjut dengan kearifan dan kebijakan Zadig hingga ia diangkat jadi penasehat penguasa setempat dan saudagar karena mampu menyelesaikan persoalan sosial. Dan, kesialan berikutnya terus berlanjut: didenda karena dikira melihat seekor anjing lewat; hampir disula karena grifon; hampir disiksa karena menulis sajak yang memuji Baginda Raja; hampir dibunuh karena baginda Ratu mempunyai pita rambut berwarna kuning dan menjadi budak karena seorang pria kejam memukuli kekasihnya,” kata Zadig saat di Mesir. KARANGAN Voltaire mengajarkan kita bahwa untuk membuktikan keburukan butuh kebijakan, kearifan, kesabaran dan punya panduan. Zadig mempercayai kitab Zharatusta. Membuktikan perbuatan buruk dan baik dengan cara Zadig, butuh—seperti kata Voltaire: kecendiakaan dan budi pekerti yang baik, belajar memperbaiki diri, meski kaya mengekang hawa nafsu, tak suka pamer, mengerti kekurangan orang lain, tak pernah menjadi ingin menjadi yang paling benar. Zadig sosok mengherankan: meski cerdas dan dan berwawasan, ia tak pernah menghina atau bahkan sekedar mengejek orang-orang yang melibatkan diri dalam cengkerama-cengkerama tak jelas, basi, dan kacau, dalam kalimat-kalimat lancang penuh fitnah, dalam kesimpuian-kesimpulan bodoh tak berdasar, dalam lelucon-lelucon murahan, dalam pengucapan kata-kata tak berguna yang orang sebut percakapan di Babilonia. Cintalah yang membuat Zadig, barangkali, menjadi bijaksana. Cintanya pada Astarte, menjauhkannya pada hal-hal buruk. Bila kau dicintai oleh seorang wanita cantik,”kau akan selalu menemukan jalan keluar dari masalah-masalahmu,” kita Zarathusta. Kitab yang jadi pedoman Zadig. Kitab Zarathusta mengajarkan Zadig, juga pengalaman Zadig selama bertualang: “Kesempatan berbuat jahat datang seratus kali dalam sehari, tapi kesempatan berbuat baik hanya datang sekali setahun.” “Orang yang tidak mampu menemukan salah dalam dirinya sendiri, biasanya tidak bernasib baik.” “Orang bilang, kesedihan kita akan berkurang apabila kita tidak bersedih sendirian. Orang yang sama-sama bersedih akan saling menghibur, bagaikan dua belukar rapuh yang saling menopang untuk menghadapi kencangan badai.” “Kita tidak bisa menilai sesuatu secara keseluruhan bila kita hanya mengerti bagian-bagian kecil dari sesuatu itu.” Aku suka dialog Zadig dengan Malaikat Jesrad, ketika Zadig merasa kesialan adalah hidupnya. “Apakah dunia ini benar-benar membutuhan kejahatan dan kesedihan? Dan kenapa kesedihan justru lebih sering mengampiri orang-orang baik?” tanya Zadig. “Orang-orang jahat tidak pernah berbahagia: mereka diciptakan hanya untuk menguji orang-orang baik yang amat sedikir jumlahnya, dan tidak akan ada kebaikan yang lahir dari kejahatan.” “Tapi, apa yang terjadi andai hanya ada kebaikan tanpa kejahatan di dunia ini?” tanya Zadig. “Itu tidak mungkin—dunia ini akan menjadi lain apabila itu terjadi. Di dunia seperti itu, rantai peristiwa akan menjadi bagian dari sebuah tatanan yang bijaksana dan sempurna, dan itu hanya bisa ada di loka abadi tempat tinggal Tuhan, tidak bisa dicemari kejahatan. Ia telah menciptakan jutaan dunia yang sama sekali berbeda satu dari yang lain. Keberagaman itu adalah tanda dari kekuatanNya yang tak terbatas. Sebagaimana tidak ada dua helai daun sepenuhnya sama di muka bumi ini, tidak ada dunia yang sepenuhnya sama di alam semesta yang tiada terbatas ini, dan semua yang terjadi di atas duniamu yang hanyalah sebutir pasir dalam luasnya gurun semesta ini sudah ditentukan waktu dan tempatnya oleh Tuhan. Orang-orang berpikir bahwa nyonya rumah kita jatuh ke sungai karena kebetulan, dan bahwa tuan rumah kita terbakar karena kebetulan juga. Tapi tidak ada kebetulan di alam semesta: semua hal yang dialami manusia adalah ujian, hukuman, ganjaran atau pertanda. O Manusia fana! Jangan pernah lagi menentang Dia yang harus kau sembah!” “Aku harus mengetahui nasib Astarte. Aku tidak peduli kesialan macam apa lagi yang akan menimpaku,” kata Zadig. Dan pertemuannya denga Astarte sama sekali tidak terduga. Namun untuk bersatu dengan Astarte, Zadig harus melewati ujian bertarung dan menjawab teka-teki dari Magi Babilonia. Aku mulai dua pertanyaan, yang juga ditanyakan oleh Kepala Magi Kerajaan Babilonia saat memberi teka teki pada Zadig dan Itobad. Yang bisa menjawab teka-teki itu menjadi Raja Babilonia juga menjadi Istri Baginda Ratu Astarte yang cantik. Teka-teki Pertama: Apakah hal yang paling panjang tapi juga paling pendek, paling cepat tapi juga paling lambat, paling terbagi tapi juga paling utuh menghampar, paling disia-siakan tapi juga paling dirindukan, yang tanpanya tidak ada yang bisa kita lakukan, yang membinasakan semua yang sepele tapi memberi hidup pada semua yang hebat? Kedua: Apakah hal yang kita terima begitu saja tanpa kita syukuri, yang kita nikmati tanpa mengetahui bagaimana cara menikmatinya, yang kita bagikan meski kita tidak tahu dari mana asalnya, dan yang meninggalkan kita tanpa terasa? Dua teka-teki itu, juga sesungguhnya gambaran kehidupan Zadig. Dua jawaban itu mempersatukan Zadig dan Astarte. Jawabannya ada pada jelang halaman terakhir petualangan Zadig. CERITA Zadig karya Voltaire yang dicetak 270 tahun lalu di Perancis, terasa hidup dan relevan di dunia millenial saat ini. Ia pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Dan Voltaire, sama seperti kita, mengimpikan, seperti tertera di akhir kalimat: masa kekuasaan Zadig adalah masa paling indah di dunia, karena pemerintahannya di dasari keadilan dan kasih sayang. Ya, Keadilan dan Kasih Sayang! Yang hilang di dunia politik sekitar kita. Aku merenung di tengah beton beton kekuasaan; mahakarya politik. Oligarki beton-beton itu merasuk hingga ke daerah-daerah di Indonesia. Di tengah instrik politik perebutan kekuasaan kita harus belajar pada Zadig. Yang hilang di tengah kehidupan ini: membuktikan baik dan buruk dengan kebijakan dan cinta. Bagaimana seorang Voltaire menciptakan seorang Zadig? Aku tentu tak tahu jawabannya, apalagi cerita itu ia ciptakan 270 tahun lalu. Voltaire, barangkali, tak pernah membayangkan novelnya hadir dan hidup di tengah generasi milenial. Andai saja, kasus si Yahudi terjadi di era milenial, saya membayangkan si Yahudi, akan membantah tuduhan Zadig. “Yang mulia, saya bisa menjawab letak sebuah batu besar di Gubung Horeb berdasarkan panduang google. Yang Mulia juga bisa mengeceknya.” Karena tidak ada “dua alat bukti”, Yang Mulia pasti membebaskan si Yahudi. Untuk seorang sahabat, adakah Zadig di sekitar kita? Oleh: Made Ali Tulisan ini juga bisa dibaca di https://madealikade.wordpress.com/2017/11/01/zadig/#more-2296 |
KontributorKami adalah sekumpulan orang yang terikat hubungan pertemanan yang kebetulan suka membaca. Kami mencintai buku dan pengetahuan di dalamnya untuk kebaikan semesta alam. Arsip
January 2018
Kategori |